Isu mengenai desakan agar Presiden mencopot seorang kepala daerah yang dianggap menimbulkan kegaduhan publik kembali mengemuka dalam beberapa waktu terakhir.
Fenomena ini bukan hal baru dalam politik Indonesia. Setiap kali terjadi kontroversi yang melibatkan kepala daerah, ruang publik segera dipenuhi tuntutan agar Presiden turun tangan dan mengambil tindakan tegas.
Namun, apakah benar Presiden memiliki kewenangan absolut untuk memberhentikan kepala daerah?
Di sinilah sering terjadi kesalahpahaman. Mekanisme pemberhentian kepala daerah bukan semata-mata keputusan politik atau kehendak eksekutif pusat.
Oleh karena itu, penting untuk meninjau kembali kerangka aturan yang mengatur pemberhentian kepala daerah, terutama dalam konteks perlindungan demokrasi lokal dan kepastian hukum.
Pengaturan mengenai pemberhentian kepala daerah terdapat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Pasal 78 menegaskan tiga alasan kepala daerah berhenti: meninggal dunia, mengundurkan diri, atau diberhentikan. Fokus utama muncul ketika membahas kategori yang terakhir: pemberhentian.
Pasal 79 merinci sembilan alasan yang dapat menjadi dasar pemberhentian kepala daerah, mulai dari berakhirnya masa jabatan hingga menerima sanksi pemberhentian.
Menariknya, alasan-alasan tersebut tidak hanya berkaitan dengan tindakan pidana, tetapi juga pelanggaran etika, administrasi, maupun ketidakmampuan menjalankan fungsi pemerintahan secara berkelanjutan.
Beberapa ketentuan yang kerap menjadi sorotan publik antara lain: pelanggaran sumpah jabatan, tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 67 huruf b, melanggar larangan sebagaimana Pasal 76 ayat (1), atau melakukan perbuatan tercela.
Pemaknaan atas kategori-kategori ini tidak bisa dilakukan sembarangan, sebab konsekuensinya sangat besar: hilangnya jabatan politik yang diperoleh melalui proses demokrasi.
Oleh karena itu, UU memberikan prosedur yang ketat agar pemberhentian tidak dijadikan alat politik.
Kewajiban kepala daerah yang jika dilanggar dapat menjadi dasar pemberhentian diatur dalam Pasal 76.
Beberapa contohnya adalah membuat keputusan yang menguntungkan diri sendiri atau kroni, kebijakan yang merugikan kepentingan umum, bepergian ke luar negeri tanpa izin Menteri, hingga meninggalkan tugas atau wilayah kerja melebihi batas waktu yang diizinkan undang-undang.
Di titik ini, tampak bahwa mekanisme pemberhentian tidak hanya berfungsi sebagai instrumen hukum, tetapi juga sebagai perangkat etika untuk menjaga integritas penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Meski dasar hukum pemberhentian cukup jelas, satu prinsip fundamental harus ditegaskan: Presiden tidak bisa secara sepihak memberhentikan kepala daerah. Pemberhentian kepala daerah bukan tindakan administratif biasa; ia adalah hasil dari sebuah mekanisme berlapis yang melibatkan pemerintah daerah, DPRD, dan Mahkamah Agung.
Pasal 80 UU 23/2014 menegaskan, pemberhentian kepala daerah harus berdasarkan keputusan Mahkamah Agung, yang memeriksa dan menilai pendapat DPRD mengenai dugaan pelanggaran yang dilakukan kepala daerah.
Prosesnya pun tidak sederhana. DPRD terlebih dahulu harus menggelar rapat paripurna yang memenuhi syarat kuorum ketat: dihadiri minimal tiga perempat dari jumlah anggota, dan keputusan harus disetujui oleh dua pertiga dari anggota yang hadir.
Ketentuan ini menunjukkan betapa seriusnya tindakan pemberhentian kepala daerah; ia tidak boleh lahir dari dinamika politik sesaat atau tekanan massa, tetapi melalui proses deliberatif yang matang di DPRD sebagai representasi rakyat.
Setelah DPRD menyatakan pendapatnya bahwa kepala daerah melanggar sumpah, kewajiban, atau larangan, barulah dokumen tersebut dikirim ke Mahkamah Agung.
Mahkamah Agung memiliki waktu maksimal 30 hari untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat tersebut.
Putusan MA bersifat final, menegaskan peran lembaga ini sebagai penjaga konstitusionalisme dan kepastian hukum dalam sistem pemerintahan daerah.
Dalam konteks isu aktual di mana muncul desakan agar Presiden “mencopot” kepala daerah tertentu, penting untuk menegaskan bahwa permintaan tersebut tidak sejalan dengan mekanisme konstitusional.
Presiden hanya menjalankan fungsi penerbitan Keputusan Presiden setelah mekanisme DPRD–MA selesai. Artinya, peran Presiden bersifat administratif, bukan substantif.
Jika kepala daerah diberhentikan bukan melalui mekanisme tersebut, maka tindakan itu berpotensi melanggar hukum dan merusak prinsip otonomi daerah serta demokrasi lokal.
Oleh karena itu, opini ini menekankan bahwa di tengah hiruk-pikuk politik dan tekanan publik, kita harus kembali pada kerangka hukum yang telah ditetapkan.
Mahkamah Agung memiliki posisi sentral dalam memastikan bahwa proses pemberhentian kepala daerah berjalan objektif, terukur, dan bebas dari intervensi politik.
Kewenangan MA bukan sekadar formalitas, melainkan pilar penting dalam menjaga marwah otonomi daerah dan stabilitas pemerintahan.
Dalam negara hukum, solusi atas krisis kepemimpinan daerah tidak boleh lahir dari sentimen politik, tetapi dari mekanisme hukum yang adil.
Dengan demikian, keberadaan Mahkamah Agung sebagai pengadil terakhir dalam proses pemberhentian kepala daerah harus dipahami sebagai benteng terakhir untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan menjaga kualitas demokrasi kita.