Sejarah Panjang Munculnya Mahkamah Syar’iyah di Wilayah Nangroe Aceh Darussalam

Peradilan Islam telah lahir di Aceh sejak zaman kerajaan Aceh. Saat itu peradilan Islam dipegang oleh seorang Qadli Malikul Adil yang berdinas di pusat kota kerajaan
Mahkamah Syariyah di Nangroe Aceh Darussalam. Foto : Wikipedia
Mahkamah Syariyah di Nangroe Aceh Darussalam. Foto : Wikipedia

Pengadilan Agama lahir berdasarkan Staatsblad 1882 Nomor 152 dan 153 di Indonesia. Sebagian besar wilayah di Indonesia menggunakan istilah Pengadilan Agama. Namun tahukah kamu bahwa Pengadilan Agama di wilayah Provinsi Nangroe Aceh Darussalam disebut dengan Mahkamah Syar’iyah. 

Belum banyak yang mengetahui hal tersebut, namun ini cukup penting untuk melihat sejarah peradilan agama di wilayah Aceh. Untuk mengetahuinya maka akan diulas dari sisi sejarahnya berdasarkan beberapa sumber.

Masa Kesultanan Islam

Peradilan Islam telah lahir di Aceh sejak zaman kerajaan Aceh. Saat itu peradilan Islam dipegang oleh seorang Qadli Malikul Adil yang berdinas di pusat kota kerajaan. Qadli bisa dipersamakan dengan Mahkamah Agung di era sekarang. Qadli merupakan pengadilan tertinggi di wilayah Kerajaan Aceh. Lalu di daerah-daerah, terdapat Qadli Uleebalang yang memutus perkara di wilayahnya masing. Dimana untuk perkara bandingnya diajukan kepada Qadli Malikul Adil di pusat ibukota.

Qadli Malikul Adil dan Qadli Uleebalang diangkat dari kalangan ulama-ulama yang cakap dan berpengaruh kala itu. 

Diketahui, karena minimnya perkara banding yang diajukan dari Qadli Uleebalang kepada Qadli Malikul Adil. Sehingga Qadli Malikul Adil lebih banyak  memberikan fatwa serta nasihat hukum kepada kerajaan Aceh saat itu.

Masa Kolonial Belanda

Pada masa kolonial Belanda peradilan agama termasuk bagian dari pengadilan adat, dimana untuk tingkat Qadli Uleebalang diketuai oleh Uleebalang itu sendiri. 

Sedangkan untuk tingkat Afdeeling atau Onderafdeeling, ada pengadilan yang bernama Musapat yang diketuai oleh Controleur, yang mana Uleebalang serta pejabat tertentu menjadi anggotanya.

Pada praktik peradilan, jika perkara yang ditangani berkaitan dengan hukum agama, seringkali diserahkan kepada Qadli Uleebalang untuk memutuskannya. Akan tetapi jika ada sangkut pautnya dengan hukum yang lain dari hukum agama, maka akan diketuai Uleebalang dengan didampingi oleh Qadli Uleebalang.

Terkait sidang peradilan Musapat, agar sah dalam pelaksanaannya harus ada satu Ketua, sekurang-kurangnya tiga orang anggota, dan satu orang Ulama Islam. Namun bila bersangkutan dengan urusan pidana, maka harus ada seorang opsir justisi bumi putera.

Masa Kolonial Jepang

Pada masa kolonial Jepang, keadaan peradilan agama tidak banyak mengalami perubahan yang signifikan. Masih tetap menggunakan ketentuan peradilan sebagaimana masa kolonial Belanda. Namun khusus wilayah Aceh, Jepang menerbitkan Undang-Undang yang bernama Atjeh Syu Rei (UU Daerah Aceh) Nomor 12 tanggal Syowa Ni Gatu 15 (15 Februari 1944) mengenai Syukyo Hooin (Mahkamah Agama).

Berdasarkan bunyi pasal 1 Atjeh Syu Rei Nomor 12, ada tiga tingkatan peradilan agama saat itu, diantaranya: 

  • Syukyo Hooin berkedudukan di pusat ibukota kerajaan (Banda Aceh)
  • Seorang Kepala Qadli dengan beberapa anggotanya di tiap-tiap Bunsyu (Kabupaten).
  • Seorang Qadli Son di tiap-tiap Son (Kecamatan).

Syukyo Hooin adalah pengadilan tingkat banding atas putusan kepala Qadli dan Qadli Son. Saat itu tugas Qadli Son mirip tugasnya dengan Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) di era sekarang. 

Sementara Syukyo Hooin terdiri dari anggota-anggota harian dan anggota-anggota biasa. Salah seorang anggota-anggota harian diangkat menjadi Ketua (Lintyo) oleh Atjeh Syu Tyokan (Kepala Karesidenan) berdasarkan rekomendasi dari Ketua Pengadilan Negeri ibukota kerajaan yang dipilih dari para ulama yang cakap dan berpengaruh di dalam daerah Aceh. 

Masa Awal Kemerdekaan RI

Masa awal kemerdekaan, status pengadilan agama di Aceh tidak pasti karena tidak memiliki landasan hukum yang kuat. Namun di beberapa daerah di Sumatera, sejak tanggal 1 Agustus 1946, sebagai salah satu hasil revolusi kemerdekaan telah terbentuk Mahkamah Syar’iyah, seperti di daerah Aceh, Tapanuli, Sumatera Tengah, Jambi, Palembang, dan Lampung. Dimana semua Mahkamah Syar’iyah tersebut diakui sah oleh Wakil Pemerintah Pusat Darurat di Pematang Siantar kala itu.

Pembentukan Mahkamah Syar’iyah Aceh di Karesidenan Aceh saat itu hanya didasarkan kepada Kawat Gubernur Sumatera Nomor 189 tanggal 13 Januari 1947 yang waktu itu dijabat oleh seorang tokoh Aceh yaitu Mr. T. Muhammad Hasan yang disusul dengan kawat Wakil Kepala Jawatan Agama Provinsi Sumatera Nomor 226 / 3 diaps tanggal 22 Februari 1947.

Mengenai kewenangan kala itu Mahkamah Syar’iyah di Aceh didasarkan kepada Kawat Kepala Jawatan Agama Provinsi Sumatera yang ditujukan kepada Jabatan Agama Daerah Aceh di ibukota (Kutaraja) Nomor 896 / 3 / diaps yang intinya bahwa hak Mahkamah Syar’iyah memutus perkara tentang: Nikah, talak, rujuk, nafkah, pembagian pusaka (kewarisan), harta wakaf, hibah, sedekah, Baitul mal, dan sebagainya.

Kemudian, untuk mendapatkan landasan hukum yang kuat atas surat kawat tersebut, Pemerintah Aceh membawa masalah tersebut ke sidang Badan Pekerja Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, lalu Badan Pekerja DPR Aceh telah menguatkan kewenangan tersebut dalam putusannya tanggal 3 Desember 1947 Nomor 35, yang intinya: 

  1. Menguatkan intruksi kepala Jawatan Agama Provinsi Sumatera tentang hak Mahkamah Syar’iyah, yaitu memutuskan perkara tentang: Nikah, talak, rujuk, nafkah, pembahagian pusaka (kewarisan), harta wakaf, hibah, sedekah, Baitul mal, dan sebagainya.
  2. Vonis-vonis yang dijatuhkan oleh Mahkamah Syar’iyah ini dipandang serupa kekuatan vonis Hakim Negeri.
  3. Untuk sementara menunggu ketentuan dari Provinsi maka urusan perihal harta pusaka ditetapkan terus menjadi hak Mahkamah Syar’iyah dan tidak lagi menjadi hak Hakim Rendah atau Hakim Negeri.

Untuk menjalankannya, urusan tersebut diserahkan kepada Kepala Jawatan Agama Daerah Aceh. Diketahui ada tiga tingkatan Mahkamah Syar’iyah Aceh pada masa awal kemerdekaan hingga lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1957 tanggal 10 Agustus 1957, yaitu: 

  • Mahkamah Syar’iyah Daerah Aceh sebagai perngadilan tertinggi dan tingkat terakhir yang berkedudukan di Banda Aceh (Kutaraja/Ibukota)
  • Mahkamah Syar’iyah Kawedanaan sebagai pengadilan tingkat banding sebanyak 20 buah berada di seluruh wilayah Kawedanaan Aceh. 
  • Mahkamah Syar’iyah Kenegerian sebagai pengadilan tingkat pertama sebanayak 106 buah yang berada di setiap daerah Kecamatan wilayah Aceh.

Dalam perjalanannya Mahkamah Syar’iyah baru memperoleh landasan hukum yang kuat setelah ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah di Aceh. 

PP tersebut keluar setelah adanya desakan dari tokoh-tokoh ulama Aceh kepada Pemerintah Pusat (Departemen Agama) di Jakarta yang dituangkan dalam Surat Pernyataan yang ditandatangani 17 (tujuh belas) orang tokoh Ulama Aceh yang bekerja pada kantor-kantor dalam lingkungan Departemen Agama. 

Pasca-lahirnya PP Nomor 29 Tahun 1957, Mahkamah Syar’iyah Kenegerian dihilangkan, sedangkan Mahkamah Syar’iyah Kawedanaan berubah menjadi Mahkamah Syar’iyah tingkat pertama. 

Namun PP tersebut ternyata tidak bertahan lama karena beberapa daerah di Indonesia menginginkan hal yang sama kepada Pemerintah Pusat agar di daerahnya juga dibentuk Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah. 

Pada akhirnya tuntutan daerah lain di luar Jawa dan Madura dipenuhi oleh Pemerintah Pusat dengan pencabutan PP Nomor 29 Tahun 1957 dan diganti dengan PP Nomor 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah di luar jawa dan madura.

Perlu diketahui bahwa sejak lahirnya PP Nomor 45 Tahun 1957 di Aceh hanya tinggal 16 (enam belas) buah Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah yang dikukuhkan dengan Penetapan Menteri Agama RI Nomor 58 /1957 sebagai pelaksana PP Nomor 45 Tahun 1957. 

Ke-16 Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah, yaitu: PA/Masya Kutaraja (sekarang Banda Aceh), PA/Masya Sabang, PA/Masya Sigli, PA/Masya Bireuen, PA/Masya Lhoksukon, PA/Masya Idi, PA/Masya Langsa, PA/Masya Kualasimpang, PA/Masya Takengon, PA/Masya Blangkejeren, PA/Masya Kutacane, PA/Masya Calang, PA/Masya Meulaboh, PA/Masya Sinabang, PA/Masya Tapaktuan, dan PA/Masya Singkil.

Selanjutnya berdasarkan Keputusan Menteri Agama RI Nomor 62/1961, sejak tanggal 25 Juli 1961 dibentuk sebuah cabang Pengadilan Agama/Mahkamah Syar'iyah di Lhokseumawe yang wilayah hukumnya diambil dari sebagian wilayah hukum Pengadilan Agama/Mahkamah Syar'iyah Bireuen. 

Sebelas tahun kemudian tepatnya tanggal 16 Maret 1972 dibentuk pula sebuah lagi cabang Pengadilan Agama/Mahkamah Syar'iyah di Meureudu yang wilayah hukumnya diambil dari sebagian wilayah hukum Pengadilan Agama/Mahkamah Syar'iyah Sigli. Kemudian berdasarkan Keputusan Menteri Agama RI Nomor 18/1975, kedua cabang Pengadilan Agama/Mahkamah Syar'iyah tersebut ditingkatkan statusnya menjadi Pengadilan Agama/Mahkamah Syar'iyah penuh terlepas dari instansi induknya.

Terakhir berdasarkan Keputusan Menteri Agama pula, pada tahun 1984 telah dibentuk satu lagi Pengadilan Agama di Jantho ibukota Kabupaten Aceh Besar yang wilayah hukumnya diambil dari sebagian wilayah hukum Pengadilan Agama/Mahkamah Syar'iyah Banda Aceh. 

Dengan demikian hingga saat ini di seluruh Aceh terdapat 19 buah Mahkamah Syar'iyah tingkat pertama. Sedangkan Pengadilan Negeri hanya ada 18 (delapan belas) buah di seluruh wilayah Aceh, dimana di Meureudu tidak ada Pengadilan Negeri.

Untuk diketahui, bahwa sejak keluarnya Keputusan Menteri Agama RI Nomor 6/1980, maka penyebutan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar'iyah yang ada di Luar Jawa dan Madura dan diluar sebagian Kalimantan Selatan dan Timur, termasuk yang ada di Aceh menjadi Pengadilan Agama (PA) untuk tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama (PTA) untuk tingkat banding.

Lalu muncul pertanyaan: mengapa Pemerintah mengatur tentang Pengadilan Agama/Mahkamah Syar'iyah tidak meliputi Jawa dan Madura. 

Hal ini disebabkan karena di wilayah Jawa dan Madura telah ada dasar hukum yang ditetapkan Pemerintah Hindia Belanda yakni Stbl. 1882 Nomor 152 jo. Stbl 1937 Nomor 160 dan 610. Demikian pula untuk sebagian Kalimantan Selatan dan Timur telah ada aturan yang mengatur tentang Pengadilan Agama yang diberi nama dengan Kerapatan Qadli dan Kerapatan Qadli Besar sejak zaman Hindia Belanda, yakni Stbl. 1937 Nomor 638 dan 639.

Bila dibandingkan dengan Pengadilan Agama yang telah ada di Jawa dan Madura sejak 1882 dan Kerapatan Qadli di Sebagian Kalimantan Selatan dan Timur yang lahir sejak 1937, maka kewenangan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar'iyah di Luar Jawa dan Madura termasuk di Aceh jauh lebih luas. 

Perlu diketahui pula bahwa sejak awal zaman kemerdekaan RI hingga saat ini, Pengadilan Agama tingkat banding yang ada di Aceh telah berganti-ganti sebutannya, mulai dari Mahkamah Syar'iyah Daerah Aceh, Pengadilan Agama/Mahkamah Syar'iyah Provinsi di Banda Aceh, Pengadilan Tinggi Agama Banda Aceh,  Mahkamah Syar'iyah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan terakhir Mahkamah Syar'iyah Aceh. 

Masa Otonomi Khusus Wilayah Aceh

Lahirnya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam ikut melahirkan sejarah baru bagi peradilan agama di Aceh. Karena salah satu lembaga yang harus ada di Nanggroe Aceh Darussalam dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus adalah Peradilan Syari'at Islam yang dilaksanakan oleh Mahkamah Syar'iyah. 

Mahkamah Syar`iyah adalah lembaga Peradilan Syari'at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam sebagai pengembangan dari Peradilan Agama yang diresmikan pada tanggal 4 Maret 2003 M/1 Muharram 1424 H sesuai dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001, Keppres Nomor 11 Tahun 2003 dan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2002.

Karena Mahkamah Syar'iyah adalah pengalihan wujud dari Pengadilan Agama yang telah ada sebelumnya, maka hingga saat ini ada 19 (sembilan belas) Mahkamah Syar'iyah Kabupaten/Kota di seluruh wilayah Aceh dan 1 (satu) Mahkamah Syar'iyah Provinsi selaku pengadilan tingkat banding yang berkedudukan di ibukota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yakni di Banda Aceh. 

Adapun Kekuasaan dan kewenangan Mahkamah Syar'iyah dan Mahkamah Syar'iyah Provinsi adalah kekuasaan dan kewenangan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama ditambah dengan kekuasaan dan kewenangan lain yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dalam bidang ibadah dan syiar Islam yang ditetapkan dalam Qanun.

Kekuasaan dan Kewenangan Pengadilan Agama, sesuai dengan Pasal 49 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo. Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:

  • perkawinan;
  • waris;
  • wasiat;
  • hibah;
  • wakaf;
  • zakat;
  • infaq;
  • shadaqah; dan
  • ekonomi syari'ah.

Selain itu, dalam rangka melaksanakan amanat dari Pasal 25 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2002 maka telah diberikan kewenangan terhadap Mahkamah Syar`iyah untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara pada tingkat pertama dalam bidang lain, yaitu: Al-Ahwal al-Syakhshiyah, Mu'amalah, dan Jinayah.

Kekuasaan dan kewenangan tersebut akan dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan kemampuan kompetensi dan ketersediaan sumber daya manusia dalam kerangka sistem Peradilan Nasional. 

Lahirnya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh tidak merubah status dan kewenangan Mahkamah Syar'iyah di Aceh. Namun demikian Undang-undang tersebut mengamanatkan pula untuk membentuk Qanun tentang hukum acara bagi Mahkamah Syar'iyah di Aceh, baik hukum acara perdata Islam maupun hukum acara jinayah Islam.

Penulis: Adeng Septi Irawan
Editor: Tim MariNews