Di era digital seperti sekarang, interaksi publik tak lagi terbatas pada dunia nyata. Konten di media sosial bisa membawa pengaruh luar biasa, bahkan berujung pada persoalan hukum. Salah satu fenomena yang semakin sering muncul adalah gugatan akibat pencemaran nama baik atau kerugian yang ditimbulkan oleh unggahan konten digital-baik yang dilakukan influencer maupun netizen biasa.
Persoalan ini menjadi kompleks ketika dibawa ke ruang sidang. Pembuktian dalam perkara pencemaran nama baik atau kerugian digital membutuhkan pemahaman yang baik tentang bagaimana konten dibuat, disebarkan, dan dampaknya terhadap reputasi atau kerugian pihak lain. Masalahnya, tidak semua pihak, bahkan hakim sekalipun, memiliki kompetensi digital yang memadai.
Dari sisi hukum, gugatan semacam ini biasanya merujuk pada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), serta ketentuan hukum perdata mengenai perbuatan melawan hukum. Tantangannya, bagaimana membuktikan unsur kesalahan, niat, dan akibat dari konten yang dianggap merugikan? Tidak jarang, opini yang viral di media sosial bisa menyesatkan persepsi publik sebelum fakta hukum terungkap di persidangan.
Di sinilah Mahkamah Agung (MA) memiliki peran penting. Sebagai lembaga yudikatif tertinggi, MA harus memastikan bahwa para hakim memiliki kemampuan dan pemahaman terhadap isu-isu digital yang kian berkembang. Pelatihan berkelanjutan tentang hukum digital, etika media sosial, dan cara mengevaluasi bukti digital menjadi solusi yang mendesak.
Selain itu, pembaruan terhadap pedoman teknis peradilan juga dibutuhkan, agar hakim tidak hanya mengandalkan pendekatan konvensional, tetapi juga mampu menjawab tantangan hukum era digital dengan adil dan bijak.
Ke depan, kita berharap bahwa pengadilan bisa menjadi tempat penyelesaian sengketa digital secara objektif, transparan, dan edukatif. Bagi influencer maupun netizen, penting untuk menyadari kebebasan berekspresi di media sosial juga dibatasi oleh tanggung jawab hukum.
Batang, 20 July 2025
Wakil Ketua Pengadilan Negeri Batang