Ketika awal pemerintahan Islam di bawah kepemimpinan Rasulullah SAW, kekuasaan kehakiman dijalankan sekaligus oleh kekuasaan eksekutif. Ini karena pada masa itu, belum mengenal adanya pemisahan kewenangan, hal tersebut berlanjut pada masa kepemimpinan Khalifah Abu Bakar as-Siddiq.
Barulah pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab dilakukan pemisahan antara kekuasaan eksekutif dengan kekuasaan yudikatif.
Gagasan pemisahan kekuasaan tersebut, didorong beberapa faktor, di antaranya semakin luasnya wilayah kekuasaan Islam, meningkatnya jumlah perkara hukum yang harus ditangani, serta tugas kekhalifahan yang semakin kompleks yang mengharuskannya fokus pada persoalan sosial, politik, ekonomi, dan pemerintahan daerah.
Dengan semakin luasnya wilayah, maka, interaksi warga yang berlainan etnis dan budaya pun semakin meningkat. Meskipun telah ada pemisahan kekuasaan, namun hanya sebatas persengketaan perdata, sedangkan untuk kasus pidana masih di bawah kewenangan khalifah atau gubernur.
Kecerdasan dan kepribadian Umar bin Khattab mendapat pengakuan dari Rasulullah SAW, dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Tirmidzi, Rasulullah SAW menyebutkan, “ikutilah jejak orang yang datang sesudahku: Abu Bakar dan Umar”.
Bahkan, pengakuan pun datang dari dunia barat, Michael H. Hart memasukkan Umar bin Khattab sebagai salah satu 100 tokoh berpengaruh dalam sejarah, yang diakui sebagai contoh pejabat publik yang ideal.
Kendati dunia peradilan di masa Umar bin Khattab masih sangat sederhana, namun pemikirannya yang luas telah memberikan warisan yang patut diteladani bagi dunia peradilan modern saat ini.
Pemikiran-pemikiran Umar bin Khattab tidak diperoleh dari buku-buku ataupun dari pembelajaran formal, namun diperoleh dari bimbingan dan pengajaran langsung dari Rasulullah SAW.
Keteladanan Umar bin Khattab tersebut, penulis kompilasi dari Biografi Umar bin Khattab karya Ali Muhammad Ash-Shalabi.
Dalam biografi tersebut menyebut, Umar bin Khattab pernah menulis surat kepada Abu Musa Al-Asy’ari yang ditunjuk sebagai hakim dan memintanya agar dalam menjalankan tugasnya selalu ikhlas kepada Allah SWT. Umar menyampaikan, “Siapa yang ikhlas dalam memutuskan perkara, walaupun keputusan tersebut merugikan dirinya sendiri, maka Allah akan membalasnya. Allah tidak akan menerima suatu amalan, kecuali jika ikhlas dalam melakukannya. Kamu tidak mungkin mendapatkan pahala, rezeki, dan rahmat dari selain Allah.”
Sebelum memutus suatu perkara, hakim harus terlebih dahulu mempelajari perkara tersebut secara saksama. Hakim tidak boleh memutus suatu perkara sebelum mempelajarinya. Umar berpesan kepada Abu Musa Al-Asy’ari, “Pahamilah suatu perkara dengan saksama ketika ada orang yang mengadukan permasalahan kepadamu," atas pesan tersebut, Abu Musa berkata, “Tidak sepantasnya seorang hakim memutuskan suatu perkara sebelum dia mengetahui yang sebenarnya, seperti dia mengetahui perbedaan antara malam dan siang.”, Umar membenarkan jawaban tersebut.
Selain itu, Umar juga selalu menganjurkan untuk bermusyawarah sebelum hakim mengambil keputusan. Menurut Asy-Sya'bi, "Siapa yang menginginkan untuk mengambil dokumen peradilan, maka ambillah dari putusan Umar bin Khattab. Dia adalah orang yang selalu melakukan musyawarah”. Sistem hukum Indonesia pun sama mewajibkan dalam setiap putusan harus diambil dalam sebuah rapat permusyawaratan hakim.
Dalam suratnya kepada Abu Musa Al-Asy'ari, Umar menyampaikan "Berlakulah sama kepada setiap orang dalam menerapkan keadilan agar orang yang terhormat tidak mengharapkan kezalimanmu dan orang yang lemah tidak putus asa terhadap keadilanmu." Dalam surat yang lain Umar menulis, "Dalam menerapkan keadilan, anggaplah semua orang sama di hadapanmu baik orang yang dekat atau yang jauh”.
Pernyataan itu, sepaham dalam dunia peradilan modern yang dikenal adanya asas imparsial, yakni hakim tidak boleh memihak dalam memeriksa, mengadili, dan dalam memutuskan perkara.
Suatu ketika Ubay bin Kaab berselisih dengan Umar bin Khattab tentang suatu pagar. Mereka berdua kemudian mengangkat Zaid bin Tsabit sebagai penengah. Setelah keduanya sampai di rumah Zaid bin Tsabit, Umar berkata kepadanya, "Kami datang ke sini agar kamu bersedia menjadi penengah dari permasalahan di antara kami”.
Zaid pun kemudian memberikan bantal kepada Umar dan berkata, “Duduklah di sini, wahai Amirul Mukminin.” Akan tetapi, Umar bin Khattab justru berkata kepadanya, “Sejak awal engkau telah berbuat menyeleweng wahai Zaid. Akan tetapi (yang benar), dudukkanlah aku bersama orang yang bersengketa denganku”.
Kisah tersebut menunjukkan, meskipun Umar adalah seorang khalifah, namun seorang hakim tidak boleh mengistimewakan salah seorang dari yang bersengketa meskipun memiliki kedudukan di masyarakat.
Kisah yang lain, suatu ketika Abdullah bin Umar beserta rombongan tiba di Dzul Marwah, kemudian koper mereka dicuri oleh seorang lelaki dari kampung tersebut. Beberapa dari mereka menyuruh mengembalikan kopernya, namun lelaki tersebut, menyatakan bahwa bukan dia yang mengambilnya. Abdullah bin Umar pun kemudian menemui Umar bin Khattab, dan menceritakan kejadian tersebut dengan membawa lelaki yang mereka tuduh mencuri kopernya.
Abdullah berkata, “Wahai Amirul Mukminin, saya berniat untuk mendatangkannya kepadamu dengan keadaan terbelenggu". Namun dijawab oleh Khalifah Umar, "Apakah kamu akan mendatangkannya kepadaku dalam keadaan terbelenggu, sedangkan dia belum terbukti bersalah". Dari Kisah tersebut menunjukkan, Terdakwa harus tetap dianggap bebas sampai tuduhan kepadanya terbukti, jika dipadankan dengan peradilan modern dengan asas presumption of innocence.
Kepribadian Umar bin Khattab yang tegas dan berwawasan luas, patut menjadi teladan bagi seluruh hakim dalam menjalankan tugas dalam memeriksa dan memutus suatu perkara. Menjadikan pelaksanaan tugas peradilan sebagai ladang untuk beribadah memperoleh rida Allah SWT.