“Ignorantia legis non excusat”-ketidaktahuan terhadap hukum, tidak membebaskan seseorang dari pertanggungjawaban hukum. Sebuah adagium dalam dunia hukum yang menjadi pilar dalam sistem hukum positif guna menjamin kepastian dan keberlakuan hukum secara universal.
Lantas dari adagium tersebut muncul pertanyaan kritis mengenai bagaimana seseorang diadili, sedangkan ia awam terhadap nilai-nilai dasar, bukan sekadar mengenai pasal atau aturan, namun juga mengenai makna moral, etika, dan nilai-nilai dasar kemanusiaan yang menjadi fondasi hukum. Selain menyangkut ranah legalitas, pertanyaan tersebut turut menyentuh dimensi etis dan filosofis dari sistem peradilan.
Hukum: Refleksi Nilai, Bukan Sekadar Aturan
Hukum tidaklah lahir dari ruang hampa, namun ia merupakan manifestasi dari nilai-nilai moral, budaya, dan spiritual masyarakat. Pasal demi pasal dalam perundang-undangan mencerminkan pandangan kolektif terhadap nilai benar-salah, adil-tidak adil. Ketika seseorang melanggar hukum, selain dilihat tindakannya, juga dilihat pemahamannya mengenai apakah tindakannya melanggar nilai-nilai yang dijunjung masyarakat dan dijunjung oleh hukum atau tidak.
Pertanyaan selanjutnya adalah, “Bagaimana jika seseorang hidup dalam lingkungan yang tidak mengenal sebuah nilai, baik karena keterbatasan pendidikan, pengaruh sosial yang keliru, atau pun latar budaya yang berbeda? Apakah keadilan dapat terwujud dengan menghukum seseorang yang secara sadar tidak memahami bahwa yang ia lakukan bertentangan dengan nilai?” Di sinilah muncul dilema moral praktik hukum. Pertanyaan tersebut senyatanya pernah muncul dalam praktik penyelesaian beberapa perkara, misalnya saja terkait:
- Anak yang telah lama dibesarkan di lingkungan kriminal, sehingga ia menganggap kekerasan adalah hal biasa;
- Masyarakat adat terpencil yang melanggar tata hukum nasional disebabkan tidak mengenal sistem hukum nasional;
- Pelaku kekerasan dalam rumah tangga yang memiliki riwayat budaya patriarki ekstrim sehingga tidak paham bahwa kekerasan dalam rumah tangga itu salah secara moral dan hukum;
- Orang tua yang menelantarkan anaknya, karena dirinya terdidik oleh ketidak tanggung jawaban orang tua sebelumnya;
Dalam menyelesaikan perkara-perkara tersebut, pengadilan dituntut tidak hanya mengadili tindakan, namun juga “ketidaktahuan nilai” dari pelaku. Peradilan yang adil harus melakukan pendekatan yang tidak sekadar secara legal-formal, namun juga pendekatan secara kontekstual dan humanis.
Keadilan Restoratif dan Pemulihan Nilai
Guna menjawab situasi di atas, sistem peradilan perlu memberi ruang bagi keadilan restoratif yang memulihkan hubungan sosial dan menanamkan kembali nilai dalam masyarakat.
Keadilan restoratif membuka kemungkinan terhadap keterlibatan komunitas dan korban dalam proses penyelesaian perkara, pendidikan nilai untuk pelaku sebagai bagian dari sanksi, dan hukuman retributif yang diganti dengan tindakan pemulihan dan rehabilitasi.
Keadilan restoratif adalah wajah hukum yang mengedepankan hati nurani, membuka ruang maaf, dan menumbuhkan harapan bahwa setiap orang berhak memperbaiki kesalahan. Dengan demikian, hukum tidak hanya menghukum, tetapi juga mendidik dan memperbaiki.
Peran Hakim Menjembatani Norma dan Nilai
Hakim sebagai bagian dari sistem hukum bukan sekadar menerjemahkan pasal, bukan pula sebagai mulut dari aturan itu sendiri (La bouche de la loi), namun hakim seyogianya juga menjaga nilai dan keadilan itu sendiri.
Ketika berhadapan dengan pelaku yang awam nilai, maka hakim perlu mempertimbangkan juga latar belakang sosial dan budaya pelaku, kemampuan kognitif atau kondisi kejiwaan pelaku, dan tingkat kesalahan moral (culpability), bukan hanya kesalahan legal (liability) dari pelaku. Dalam kerangka ini, vonis dalam putusan pengadilan harus mencerminkan adanya proporsionalitas antara perlindungan masyarakat dengan pemulihan pelaku.
Menumbuhkan Sistem Hukum yang Mendidik
“Bagaimana mengadili orang yang awam terhadap nilai?” merupakan pertanyaan yang memberikan tantangan baik kepada Hakim guna melihat hukum bukan sekedar sebagai alat pengendali sosial (a tool of social control), namun juga sebagai langkah menuju peradaban.
Bilamana hukum hanya menghukum tanpa memberi kesempatan memahami, maka hukum akan gagal menjalankan fungsinya sebagai pendidik moral. Bilamana hukum hanya berorientasi pada pembalasan, maka ia akan kehilangan wajah kemanusiaannya. Maka dari itu sistem hukum di Indonesia perlu terus bergerak dari paradigma legalistik menuju paradigma humanistik dan transformatif, di mana keadilan tidak hanya menegakkan aturan, namun juga menumbuhkan nilai-nilai kemanusiaan.