Survei Kepuasan Layanan Peradilan: Mengukur Kinerja, Menyerap Aspirasi

Partisipasi aktif dari semua pihak akan membantu MA memetakan masalah nyata di lapangan, mulai dari gangguan teknis sistem, kurangnya sosialisasi, hingga kendala sumber daya.
Mahkamah Agung Republik Indonesia. Foto: dokumentasi MA
Mahkamah Agung Republik Indonesia. Foto: dokumentasi MA

Di era serba digital, layanan peradilan tidak hanya dinilai dari putusan hakim di ruang sidang. Kini, kualitas pelayanan publik seperti kemudahan mengakses informasi perkara, proses pendaftaran perkara secara daring, hingga integrasi antar-lembaga juga menjadi perhatian utama.

Mahkamah Agung (MA) melalui Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum baru-baru ini mengeluarkan surat resmi yang meminta seluruh Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri untuk mengisi Survei Kepuasan Pengguna atas layanan SIPP, e-Court, dan e-Berpadu, dengan batas waktu hingga 15 Agustus 2025.

Instruksi ini bukan sekadar formalitas tahunan. Survei kepuasan adalah alat ukur penting yang membantu MA mengetahui sejauh mana layanan peradilan telah memenuhi harapan masyarakat. Layanan SIPP (Sistem Informasi Penelusuran Perkara) memudahkan publik memantau proses perkara, e-Court menghadirkan pendaftaran perkara tanpa harus datang ke pengadilan, dan e-Berpadu memfasilitasi integrasi administrasi perkara pidana antar-lembaga.

Kegiatan ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang mewajibkan penyelenggara layanan untuk melakukan survei kepuasan secara berkala. Tujuannya jelas: mengidentifikasi kelemahan, memperbaiki prosedur, dan meningkatkan kualitas pelayanan demi terwujudnya asas peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.

MA berperan sebagai koordinator nasional yang memastikan standar pelayanan di seluruh pengadilan sama, transparan, dan akuntabel. Hakim, meski tugas utamanya memutus perkara, juga turut merasakan manfaat sistem yang lebih efisien—karena alur administrasi yang rapi dan terintegrasi memudahkan proses persidangan. Panitera dan aparatur peradilan lainnya pun menjadi ujung tombak dalam menjalankan layanan ini di lapangan.

Harapannya, survei ini bukan hanya formalitas pengisian link, tetapi benar-benar menjadi cermin untuk introspeksi. Partisipasi aktif dari semua pihak akan membantu MA memetakan masalah nyata di lapangan, mulai dari gangguan teknis sistem, kurangnya sosialisasi, hingga kendala sumber daya. Ke depan, hasil survei bisa menjadi dasar perbaikan layanan berbasis data yang terukur, serta menjadi bukti komitmen peradilan dalam mendengar suara penggunanya.

Dengan langkah seperti ini, sistem peradilan kita bukan hanya terlihat modern di permukaan, tetapi juga benar-benar hadir sebagai pelayanan publik yang responsif, ramah, dan terpercaya.

Penulis: Nur Amalia Abbas
Editor: Tim MariNews