Judex Facti dan Judex Juris Dalam Sistem Peradilan Indonesia

Wewenang kekuasaan kehakiman ini diberikan oleh konstitusi yang terdapat pada Pasal 24 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.
Gedung Mahkamah Agung
Gedung Mahkamah Agung

Mahkamah Agung sebagai salah satu pemegang kekuasaan kehakiman dan puncak dari peradilan di Indonesia, memiliki sistem sendiri, yaitu dengan membaginya menjadi tiga jenis tingkatan yaitu tingkat pertama, tingkat banding dan Mahkamah Agung sebagai tingkat kasasi (pengadilan negara tertinggi).

Wewenang kekuasaan kehakiman ini diberikan oleh konstitusi yang terdapat pada Pasal 24 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.

Dari ketiga jenis tingkatan tersebut, terdapat dua jenis kewenangan untuk mengadili, yaitu kewenangan mengadili dengan memeriksa berdasarkan fakta-fakta yang terjadi pada persidangan (judex facti) dan kewenangan mengadili berdasarkan penerapan hukum yang diterapkan (judex juris) yang dilakukan oleh Mahkamah Agung.

Pada judex facti khususnya tingkat pertama, majelis hakim hanya memeriksa fakta dan di tingkat banding dapat dimaknai, majelis hakim tingkat banding terbatas hanya memeriksa fakta dan penerapan hukum acaranya saja.

Pada saat mengajukan banding, pemohon dapat menyerahkan alasan atau yang disebut dengan memori banding dan nantinya pihak termohon juga akan menyerahkan kontra memori banding terhadap memori banding yang diajukan oleh pemohon. 

Secara umum, pemeriksaan pada judex facti ini adalah menggali fakta-fakta dan bukti yang memiliki keterkaitan dengan perkara yang sedang diadili.

Sedangkan pada judex juris, yaitu Mahkamah Agung memeriksa penerapan hukum dari putusan yang telah di putus dari badan peradilan di bawahnya.

Pemeriksaan Mahkamah Agung ini, terkait dengan penerapan hukum yang diterapkan oleh pengadilan di bawahnya apakah sudah diterapkan sebagaimana mestinya atau tidak, dan pada judex juris ini setiap permohonannya pemohon diwajibkan menyerahkan memori kasasi serta kontra memori kasasi bagi pihak terlawan/termohon.

Batasan Pemeriksaan Hakim Judex Juris

Kewenangan hakim pada tingkat pemeriksaan kasasi dan peninjauan kembali dibatasi dengan menilai hal-hal yang berkaitan dengan penerapan hukum dan sebatas surat-surat semata. 

Jika dipandang perlu untuk kepentingan pemeriksaan, Mahkamah Agung dapat mendengar sendiri keterangan dari para pihak dalam surat panggilan tentang hal apa saja yang ingin diketahui oleh majelis hakim pada judex juris. 

Namun hal tersebut merupakan eksepsional saja atas dasar keperluan yang penting, pemeriksaan langsung oleh majelis hakim pada Mahkamah Agung dapat dilakukan untuk menambah keyakinan hakim terhadap penilaian hasil pemeriksaan perkara sebagai hakim yang mengadili penerapan hukum (judex juris).

Hal ini dilakukan jika hakim judex juris ingin menambah keterangan-keterangan dari para pihak. Judex juris hanya memeriksa interpretasi, konstruksi, dan penerapan hukum dari fakta yang sudah di terapkan oleh majelis hakim tingkat pertama dan tingkat banding.

Judex Juris dalam memeriksa dan mengadili dalam proses mengambil putusannya tetap berdasarkan pada fakta hukum sebagaimana yang terdapat pada berkas perkara.

Bukan sebagai sebuah kewajiban bagi para pihak, penuntut umum, terdakwa untuk hadir dalam sidang pemeriksaan pada tingkat Judex Juris, melainkan judex juris dapat mendelegasikan kepada pengadilan pengaju untuk melakukan pemeriksaan keterangan dari pihak atau saksi dalam sidang yang terbuka untuk umum. 

Hal ini sebagai refleksi dari asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan.

Pembatalan Putusan oleh Hakim Judex Juris

Asas ‘Res Judicata Pro Veritate Habetur’ dalam peradilan memiliki arti, putusan hakim dianggap benar apabila tidak dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi.

Artinya, selama tidak dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi, maka putusan tersebut adalah sah. 

Akan tetapi, putusan dapat dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi(judex juris) apabila dalam putusan tersebut salah dalam penerapan hukumnya sebagaimana terdapat sebagaimana diatur dalam Pasal 255 Ayat 1 KUHAP. 

Sebagai pengadilan tingkat terakhir, Mahkamah Agung memeriksa dan mengadili (penerapan hukum) yang berbeda dengan peradilan tingkat dan pertama dan banding.

Kekeliruan dalam penerapan hukum merupakan wewenang yang dimiliki oleh judex juris (Mahkamah Agung) sebagai koreksi kesalahan putusan pengadilan di bawahnya untuk memperbaiki dan meluruskan kesalahan penerapan hukum, agar aturan hukum yang digunakan sebagai bahan putusan tersebut diterapkan sebagaimana mestinya. 

Biasanya dalam penerapan hukum dalam putusan tersebut sesat dalam hal hukumnya, fakta yang dipertimbangkan benar namun pada penerapan hukumnya salah/keliru. 
Idealnya dalam memutus sebuah perkara, pertimbangan hukum terkait fakta persidangan digunakan sebagai dasar menjatuhkan sebuah putusan. 

Kesimpulan

Adanya judex facti dan judex juris sebagai penyaring/koreksi atas kekeliruan yang terjadi pada suatu putusan yang luput dari ketelitian seorang hakim dalam merumuskan pertimbangan-pertimbangannya. 

Serta mengurangi beban finansial pihak ketika melakukan upaya hukum yang wewenangnya dimiliki oleh judex juris, cukup dengan mendelegasikan kepada pengadilan di bawahnya apabila hakim judex juris berpendapat masih membutuhkan keterangan untuk menambah keyakinan hakim judex juris dalam mempertimbangkan putusan yang akan diputuskannya tersebut. 

Dengan demikian, akan terciptanya putusan yang berkepastian hukum dan berkeadilan hukum, karena sepatutnya dalam setiap putusan pengadilan tidak terdapat kekeliruan sedikitpun.

Referensi

Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman