Hakim memiliki kewajiban untuk menjamin terselenggaranya kepastian hukum. Namun dalam beberapa hal undang-undang tidak menyebutkan secara jelas dan rinci mengenai perkara yang ditanganinya.
Di dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman) menyebutkan bahwa “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.
Kemudian di dalam Pasal 5 UU Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.
Berdasarkan kedua ketentuan di atas, dapat dipahami bahwa hakim wajib memeriksa suatu perkara meskipun hukumnya tidak jelas. Salah satunya melalui penafsiran guna menangani perkara yang ditanganinya tersebut. Salah satu jenis penafsiran yang dibahas dalam tulisan ini adalah “Penafsiran Teleologis”.
Menurut Prof. Soedikno Mertokusumo, penafsiran teleologis atau dikenal juga sebagai penafsiran sosiologis, merupakan metode interpretasi hukum yang berorientasi pada maksud dan tujuan pembentukan suatu undang-undang. Penafsiran ini diperlukan ketika terjadi perubahan sosial yang tidak diikuti dengan perubahan norma hukum tertulis. Sehingga, makna dari suatu ketentuan hukum harus disesuaikan dengan kondisi sosial yang berkembang.
Dalam konteks hukum pidana positif, apabila suatu rumusan delik dianggap kurang jelas, maka hakim dapat melakukan penafsiran teleologis dengan mempertimbangkan tujuan utama pembentukan undang-undang tersebut. Di mana, hakim dapat melihat dari sisi tujuan undang-undang tersebut dibentuk.
Dalam konteks Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika), tujuan dibentuknya UU tersebut, telah diatur dalam Pasal 4, di mana Undang-Undang tentang Narkotika bertujuan; a. menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; b. mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan Narkotika; c. memberantas peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika; dan d. menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahguna dan pecandu narkotika.
Keberlakuan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika) adalah sebagai bagian dari strategi besar pemberantasan peredaran dan penyalahgunaan narkotika (vide Pasal 4 huruf c), dengan sasaran keberlakuannya adalah mengarah pada subjek hukum “pengedar” dan “jaringan pengedar” narkotika dalam lingkup pemberantasan peredaran gelap narkotika, serta pada subjek hukum “penyalah guna”, “korban penyalahgunaan” dan “pecandu” narkotika dalam lingkup pemberantasan penyalahgunaan narkotika.
UU Narkotika tersebut, telah memilah dengan tegas pengaturan di antara keduanya, yakni dengan pasal-pasal yang mengatur tentang pemberantasan peredaran narkotika dan prekursor narkotika di satu sisi. Kemudian, pasal-pasal yang mengatur tentang penyalahguna narkotika dan pecandu narkotika di sisi lainnya (vide Pasal 4 huruf d).
Pola diferensiasi tersebut, sudah jelas ditujukan dalam esensi pemahaman agar terdapat pola penanganan yang tepat terhadap masing-masing subjek hukum tersebut, tidak terkecuali penanganan dalam lingkup penegakan hukumnya. Alih-alih memberantas peredaran dan penyalahgunaan narkotika, kesalahan dalam fase memilah dan mengidentifikasi makna “perbuatan” dan masing-masing dari subjek hukum yang di maksud, justru akan berakibat pada penanganan dan penegakan hukum yang tidak tepat.
Pada akhirnya, malah akan memicu peningkatan intensitas peredaran dan penyalahgunaan narkotika. Seorang pengedar atau seseorang dalam jaringan peredaran narkotika yang ditangani sebagai “penyalahguna”, jelas tidak akan memberikan dampak yang signifikan bagi upaya pemberantasan peredaran narkotika. Selain dapat mencampakkan rasa keadilan, juga tidak akan menimbulkan dampak pembelajaran serta efek jera yang maksimal. Baik bagi si pelaku tindak pidana, maupun bagi masyarakat luas pada umumnya.
Demikian juga dengan seorang penyalahguna atau korban penyalahguna atau pecandu narkotika yang ditangani sebagai “pengedar” atau “bagian dari mata rantai peredaran narkotika”. Hal tersebut hanya akan menempatkan si pelaku dalam probabilitas yang tinggi untuk semkain menjadi “tidak baik” dan bukan tidak mungkin malah akan menyeret si pelaku dalam pusaran tindak pidana peredaran narkotika. Sehingga pada akhirnya esensi pemberantasan tindak peredaran dan penyalahgunaan narkotika itu sendiri menjadi bias dan absurd.
Pola diferensiasi pengaturan pelaku tindak pidana narkotika, khususnya pasal yang sering didakwakan oleh penuntut umum terhadap pelaku tindak pidana narkotika yakni Pasal 114 dan Pasal 112 UU Narkotika. Kedua pasal tersebut, merupakan pasal-pasal yang ditujukan bagi mereka sebagai pelaku tindak pidana narkotika yang terkualifisir sebagai pelaku tindak pidana dalam lingkup peredaran gelap narkotika. Sehingga, perbuatan pelaku harus dibatasi sebagaimana dimaksud dalam kedua ketentuan pasal di atas sebagai “perbuatan dalam mata rantai peredaran narkotika”, “perbuatan dalam lingkup sebagai anggota suatu organisasi kejahatan narkotika”, atau “perbuatan yang bersifat mengorganisasikan suatu tindak pidana narkotika”.
Apabila perbuatan-perbuatan yang terbukti di dalam persidangan tidak sebagaimana termasuk dalam batasan di atas, serta narkotika tersebut ditujukan hanya untuk dipergunakan sendiri oleh pelaku, maka perbuatan tersebut tidak boleh dikualifisir sebagai perbuatan dalam tindak pidana yang dimaksud dalam pasal-pasal (112 dan 114). Melainkan harus dikualifisir sebagai perbuatan penyalahgunaan narkotika untuk tujuan digunakan bagi dirinya sendiri sebagaimana rumusan ketentuan Pasal 127 UU Narkotika.
Definisi penyalahguna yang diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka 15 yaitu “orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum”. Di mana, frasa “menggunakan” dalam pola pendefinisian tersebut, sama sekali tidak boleh dimaknai secara sempit sebagai “memakai atau mengkonsumsi” narkotika semata, karena pemahaman sempit seperti itu dapat mengaburkan esensi atau hakikat dari UU Narkotika itu sendiri.
Seorang penyalahguna narkotika baru dapat “menggunakan” dalam arti sempit “memakai/mengkonsumsi” narkotika, tentunya setelah terlebih dahulu harus melakukan perbuatan-perbuatan lain sebagai cara bagaimana mendapatkan narkotika. Perbuatan-perbuatan lain yang dimaksud seperti “membeli”, “menerima”, “menyimpan”, “menguasai”, “membawa”, atau “memiliki”, karena tidak mungkin seseorang dapat mengkonsumsi narkotika tanpa terlebih dahulu melakukan rangkaian perbuatan di atas.
Kemudian yang patut dipertanyakan adalah, apakah saat penyalahguna baru dalam tahapan melakukan perbuatan-perbuatan dalam lingkup sebagai “cara mendapatkan” narkotika dan kemudian tertangkap tangan sebelum sama sekali mengkonsumsi narkotika, lalu serta merta secara serampangan harus dipersalahkan bukan sebagai penyalahguna, melainkan sebagai pelaku tindak peredaran gelap narkotika? Maka jawabannya adalah tidak.
Oleh karenanya, frasa “menggunakan” dalam definisi tentang penyalahguna dalam keberlakuan Pasal 127 UU Narkotika adalah harus dimaknai secara luas, tidak hanya menggunakan dalam arti “memakai” atau “mengkonsumsi”. Melainkan juga segenap perbuatan lain sebagai cara bagaimana narkotika yang akan dipakai/dikonsumsi tersebut sampai kepada si penyalahguna. Namun dengan syarat limitative bahwasanya perbuatan-perbuatan dimaksud adalah murni ditujukan untuk penggunaan narkotika bagi dirinya sendiri;
Di dalam bab sanksi (pidana), terdapat diferensiasi dalam hal pengaturan maksimum khusus dan minimum khusus maupun diaturnya sanksi berupa tindakan. Berdasarkan ketentuan Pasal 103 KUHP, ketentuan dalam Bab I-VIII Buku I KUHP berlaku pula terhadap UU Narkotika.
UU Narkotika menentukan suatu ketentuan yang sifatnya berlainan dengan ketentuan Bab I-VIII Buku I KUHP, maka ketentuan UU Narkotika yang akan dipergunakan dalam aturan yang khusus. Dalam hal ini, stelsel pidana dalam UU Narkotika mengikuti KUHP. UU Narkotika memberikan ancaman pidana atau jenis pidana (strafsroot) berupa pidana mati, penjara, kurungan, seumur hidup dan denda.
Dari keseluruhan tindak pidana yang diformulasikan dalam UU Narkotika, dapat kita lihat ada pola ancaman pidana dengan model perumusan yang berbeda. Ada pasal yang sanksinya diancam secara alternatif, kumulatif, dan gabungan/campuran. Perumusan pidana dalam UU Narkotika menganut ancaman minimal khusus, maksimum khusus dan tindakan sebagai alternatif sanksinya. Hal ini berarti ketentuan umum pidana penjara dan denda sebgaimana diatur dalam KUHP tidak berlaku.
Di dalam UU Narkotika ada ancaman pidana minimal khusus dan maksimum khusus di dalam perumusan deliknya. Ancaman pidana minimum dan maksimum khusus ini diterapkan pada pidana penjara dan pidana denda. Di mana, masing-masing pasal memiliki batas pidana minimum khusus dan maksimum khusus yang berbeda-beda.
Dalam rumusan delik pada tindak pidana narkotika di dalam Pasal 112 dan 114 terdapat minimum khusus, yang mengandung arti bahwa tindak pidana dari kedua pasal yang termasuk dalam tindak pidana peredaran gelap narkotika, memiliki dampak destruksi yang besar. Sehingga, perumusan sanksi pidananya berat dengan adanya ancaman minimum khusus.
Sedangkan terjadi perbedaan terhadap tindak pidana yang termasuk dalam golongan penyalahguna narkotika dan pecandu narkotika. Rumusan sanksi pidana dari pelaku penyalahguna dan pecandu narkotika selain diatur ancaman pidana maksimum khusus juga diatur sanksi di luar pidana yakni, sanksi tindakan berupa rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial (vide Pasal 127).
Dilihat dari segi sanksi, terdapat diferensiasi yang besar antara rumusan terhadap perbuatan yang termasuk peredaran gelap narkotika yang dirumuskan dengan adanya minimum khusus maupun terhadap perbuatan yang termasuk penyalahguna atau pecandu narkotika yang dirumuskan dengan ancaman pidana maksimum khusus maupun adanya rumusan mengenai tindakan (rehabilitasi). Sehingga, penegak hukum khususnya hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana narkotika tidak hanya melihat dari segi gramatikal (rumusan kata pasal per pasal) semata, melainkan dapat menggunakan kacamata sosiologis/teleologis agar dapat mewujudkan penanganan (penegakan hukum) yang tepat terhadap pelaku tindak pidana narkotika.