Tarik Ulur Perang Tarif Skala Global

Tantangan terbesar bagi hukum internasional bukan lagi sekadar menertibkan perang bersenjata atau menimbang dilema moralnya, tetapi merumuskan kerangka normatif yang mampu menjawab agresi ekonomi, politik, dan hukum yang kini menjadi medan perang utama abad ke-21.
Ilustrasi perang dagang. Foto Freepik.com
Ilustrasi perang dagang. Foto Freepik.com

“War is always judged twice, first with reference to the reasons states have for fighting, secondly with reference to the means they adopt.”

Michael Walzer, (Just and Unjust Wars: A Moral Argument with Historical Illustrations).

Perang adalah situasi yang sangat problematis secara hukum, bila hukum ditarik ke wilayah moral dan bukan legal. Filsuf politik Alexander Moseley (2002:7), yang secara khusus menulis A Philosophy of War, mengatakan: “War is not something that just happens: we actively bring it about and maintain it as a cultural and political institution” – perang tidak terjadi begitu saja: manusia secara aktif menghadirkan dan melanggengkannya sebagai institusi budaya dan politik.

Bagi Moseley, manusia justru melembagakan perang; perang adalah cara manusia menyatakan keberadaannya. Manusia menjadi homo necans, hidup dari membunuh yang lain. Moseley seakan mengangkat kembali gagasan Hobbesian bahwa hidup manusia selalu “solitary, poor, nasty, brutish, and short” (sendirian, menderita, penuh intrik, keji, dan singkat).

Hukum pun mencoba menawarkan jalan tengah untuk menerima perang. Istilah yang paling sering dipergunakan adalah “just war” atau “perang adil”. Filsuf yang cukup dalam membahas tentang perang, Michael Walzer, menyoal secara tajam tawaran konsep perang adil sebagai sebuah desain untuk mengelak dari tanggung jawab moral dari perang sebagai kejahatan (Walzer, 2004:22).

Sederhananya, bagi Walzer istilah “perang adil” adalah sebuah contradictio in terminiis-definisi yang menggugurkan konteksnya sendiri. Sekalipun perang disepakati oleh sekelompok orang atau bahkan rakyat di sebuah negara (bersifat konsensual-consent), Walzer tetap menolak justifikasi perang.

Bagi Walzer, “War is hell whenever men are forced to fight, whenever the limit of consent is breached” (Perang menjadi neraka saat manusia dipaksa untuk berperang, atau batas-batas kesepakatan untuk ambil bagian dalam perang dilampaui) (Walzer, 1977:28).

“Soft War” sebagai Perang Jenis Baru

Pengkaji hukum internasional, Jessica Wolfendale menawarkan tiga prasyarat kondisi untuk menyebut sebuah konflik sebagai perang. Pertama, harus ada dua atau lebih pihak yang terlibat. Kedua, pihak-pihak ini mesti bertikai secara terbuka (dengan persenjataan militer). Ketiga, pihak-pihak tersebut tidak satu pun yang memiliki otoritas untuk mengajudikasi atau memberikan hukuman atau sanksi kepada pihak lain.

Ini berarti, seturut Wolfendale konflik bersenjata dalam sebuah negara dengan pihak pemberontak tidak masuk dalam kategori perang (Wolfendale, 2017:43). Kriteria perang konvensional atau “perang keras” (hard war) semacam ini diperlukan untuk membawa penjahat perang ke Mahkamah Internasional. Namun demikian, tipe perang semacam ini sekarang mulai tergantikan dengan “perang halus” (soft war).

Masih dari wilayah hukum internasional, Michael L. Gross dan Tamar Meisels mengatakan: “soft war is a much broader concept and includes all non-kinetic measures whether persuasive or coercive, including cyber warfare and economic sanctions; media warfare and propaganda, nonviolent resistance and civil disobedience, boycotts and ‘lawfare’” (Perang halus merupakan konsep yang jauh lebih luas dan mencakup seluruh tindakan nonkinetik, baik yang bersifat persuasif maupun koersif. Ini meliputi perang siber dan sanksi ekonomi; perang media dan propaganda; perlawanan non-kekerasan serta pembangkangan sipil; boikot; hingga penggunaan hukum sebagai instrumen konflik (Gross & Meisels, 2017:20).

Dengan semakin terikatnya negara-negara di dunia dalam dimensi perdagangan internasional yang relatif cair (Friedman, 2007), perang halus menjadi semakin relevan, terutama jika organisasi internasional seperti World Trade Organization (WTO) tidak dapat menyelesaikan sengketa yang cukup akut dan berpotensi berkembang menjadi konflik.

Sanksi ekonomi sudah menjadi elemen rutin dalam resolusi konflik antar negara. Penstudi Joy Gordon mencatat, umumnya secara ekonomi penalti yang diberikan dapat berupa penghentian bantuan luar negeri, pemblokiran mata uang, penolakan akses terhadap lembaga keuangan internasional, hingga gangguan terhadap distribusi bantuan kemanusiaan (Gordon, 2017:90).

Pengkaji politik internasional Yoon Heo mengatakan, “perang dagang” terbuka antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok dimulai pada  6 Juli 2018, ketika AS mengenakan tarif bea masuk sebesar 25% terhadap 818 produk yang diimpor ke negara tersebut dengan nilai sekitar 34 milyar dolar (Heo, 2023:6).

Heo lebih lanjut memaparkan, kebijakan ini sejalan dengan politik America First yang dijadikan prinsip utama di periode pertama pemerintahan Trump. Bukan hanya mengenakan tarif untuk mengurangi daya saing produk Tiongkok, Committee on Foreign Investment in the United States (CFIUS – semacam kamar dagang untuk investasi luar negeri) juga memeriksa ulang berbagai investasi AS dengan Tionghoa dan melakukan investigasi terhadap 600 kasus. Ini berarti, kebijakan Presiden Donald Trump di 2025 dengan “perang tarif” globalnya adalah sejenis perang halus jilid dua yang berlanjut setelah pandemi 2020-2021.

Misi Neomerkanilistik Jilid Dua

Sebenarnya, perang tarif adalah “bungkus baru dari barang lama” yang dimulai akhir milenium pertama. Amerika Serikat dan Uni Eropa pernah terlibat dalam ketegangan antara kedua kekuatan ekonomi dunia tersebut (Naftel & Spiwak, 2000). Di satu sisi, melalui WTO, AS berusaha mendikte Eropa untuk tunduk pada perjanjian Basic Telecommunications Agreement (BTA) tertanggal 15 Februari 1997. Di sini, 69 anggota WTO pada waktu itu sepakat untuk meliberalisasi industri telekomunikasi mereka pada waktu itu, termasuk negara-negara anggota Uni Eropa (UE) (Blouin, 2000).

Dalam sengketa AS dan UE, Eropa mengajukan keberatan terhadap AS karena standar ganda negara tersebut yang sebenarnya masih mengedepankan prinsip neo-merkantilistik. Sederhananya, AS menuntut negara lain membuka diri (meliberalisasi) sektor ekonomi mereka, sementara Amerika justru masih memproteksi pasar dari investasi asing, dengan alasan politis. Disposisi ambivalen AS ini kemudian membuat Eropa mengambil kebijakan protektif serupa, yang melemahkan perjanjian WTO.

Kasus FCC v. RCA Communications Inc., 346 US 86, 93–95 (1953) yang terjadi di internal Amerika Serikat dapat menjadi contoh bagaimana perang halus selalu bermula dari kepentingan nasional yang sulit dibawa ke tataran hukum internasional. Di kasus tersebut, perusahaan bernama Radio Corporation of America (RCA) mengendalikan telekomunikasi di Amerika pada dekade 1950-an, sehingga menimbulkan monopoli yang meresahkan pemerintah AS.

Lewat badan pemerintah Federal Communications Commission (FCC – Komisi Komunikasi Federal), pemerintah AS berusaha untuk mematahkan monopoli lewat kebijakan yang membatasi ruang gerak RCA. Perusahaan komunikasi tersebut, kemudian menggugat pemerintah untuk mendapatkan kembali pangsa pasarnya. Mahkamah Agung Amerika Serikat (SCOTUS) membenarkan otoritas FCC, namun memberikan catatan bahwa mengendalikan rivalitas tidak dapat dilakukan sesederhana memangkas skala bisnis sebuah perusahaan.

Bercermin dari kasus ini, tindakan protektif AS masih didasarkan seperti slogan yang diangkat oleh Presiden Trump, “America First”. Alih-alih menciptakan pasar liberal (free trade), kebijakan neo-merkantilistik masih tetap mendominasi kebijakan luar negeri AS.

Perang Tarif Global Neo-Merkantilistik Amerika Serikat

Secara global, 60% dari barang dan jasa ada di pasar global. Ini menunjukkan bahwa sejak seabad lebih yang lalu tahun 1913, pasar global telah meningkat sebesar lebih dari 4.400 persen (Our World in Data, Ortiz-Ospina, 2025). Berbagai negara telah terikat dengan sangat erat dan ketat dalam jejaring perdagangan internasional, dan ini membuat hard war kurang relevan dibandingkan dengan soft war.

Invasi Rusia ke Ukraina dan perang di Gaza memang memberi catatan tentang masih menjadi jalan keluarnya perseteruan bersenjata antar negara, namun tidak boleh dilupakan bahwa “Perang Dunia” sesungguhnya sedang berlangsung sekarang dan saat ini ketika Trump mengumumkan perang halus tarifnya ke semua negara mitra dagang Amerika Serikat.

Langkah ini, mungkin mirip dengan Perang Dunia Kedua, saat satu negara melakukan “agresi” bea masuk yang memengaruhi jalannya perekonomian dunia, terutama saat resesi pasca Covid-19 masih menghantui ekonomi global. 

Pada akhirnya, perang tarif dan bentuk-bentuk lain dari soft war menegaskan bahwa dinamika konflik internasional semakin meninggalkan pola klasik “hard war” yang mengandalkan persenjataan militer. Ketika instrumen ekonomi, regulasi perdagangan, dan arsitektur hukum internasional dimobilisasi sebagai senjata politik, batas antara perang dan perdamaian menjadi semakin kabur.

Strategi neomerkantilistik yang dibungkus jargon liberalisasi justru memperlihatkan paradoks: negara-negara besar menyerukan keterbukaan pasar, sembari mempertahankan proteksi demi kepentingan domestik. Situasi ini, membuat soft war bukan hanya sebuah taktik sementara, melainkan wajah baru dari konflik global berkepanjangan.

Dengan demikian, tantangan terbesar bagi hukum internasional bukan lagi sekadar menertibkan perang bersenjata atau menimbang dilema moralnya, tetapi merumuskan kerangka normatif yang mampu menjawab agresi ekonomi, politik, dan hukum yang kini menjadi medan perang utama abad ke-21.

Penulis: Muhammad Afif
Editor: Tim MariNews