Pemerintah telah mengesahkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2025 (PP 28/2025) pada 5 Juni 2025, yang memperkuat pengawasan terhadap Kapal Ikan Asing (KIA) di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) dan mencabut PP Nomor 5 Tahun 2021.
Regulasi tersebut, memberi perhatian khusus pada kapal yang beroperasi tanpa kelengkapan dokumen Perizinan Berusaha (PB) atau PB Usaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha (PB UMKU). Melalui Bab Pasal 356-362, PP ini menetapkan skema denda administratif bertingkat: mulai Rp100 juta hingga Rp500 juta untuk pelanggaran tidak memenuhi PB/PB UMKU, serta Rp10 juta hingga Rp30 juta bagi pelanggaran tidak membawa dokumen meski sah.
ZEEI, wilayah laut sejauh 200 mil laut dari garis pangkal, adalah jantung kedaulatan laut Indonesia. Namun, praktik illegal fishing oleh kapal asing masih marak, menggunakan modus penyamaran sebagai kapal riset, memasuki wilayah minim patroli, hingga memakai alat tangkap destruktif yang mengancam keberlanjutan ekosistem laut. Pemerintah memandang pelanggaran ini bukan sekadar urusan administratif, melainkan ancaman langsung terhadap sumber daya dan kedaulatan negara.
Meski di atas kertas terlihat tegas, efektivitas PP 28/2025 masih menjadi pertanyaan. Bagi kapal industri asing berskala besar, denda hingga Rp500 juta berpotensi dianggap “biaya operasional” dibanding potensi keuntungan yang diperoleh. Potensi moral hazard juga mengintai, mengingat kewenangan menjatuhkan sanksi administratif tanpa proses pidana memerlukan transparansi penuh dan pengawasan independen agar tidak disalahgunakan.
Tantangan lain adalah tumpang tindih dengan Undang-Undang Perikanan, yang mengatur ancaman pidana hingga 6 tahun penjara dan denda maksimal Rp20 miliar. Kejelasan pedoman menjadi penting untuk menentukan kapan pelanggaran cukup ditangani administratif dan kapan harus diproses pidana. Tanpa kejelasan ini, risiko inkonsistensi atau negosiasi di luar prosedur resmi semakin besar.
Untuk memastikan PP 28/2025 berjalan efektif, diperlukan langkah strategis. Pertama, memperkuat armada pengawasan di titik rawan ZEEI melalui sinergi Kementerian Kelautan dan Perikanan, TNI Angkatan Laut, dan Badan Keamanan Laut. Kedua, mempublikasikan putusan sanksi agar menjadi pembelajaran publik dan menciptakan efek jera bagi calon pelanggar. Ketiga, menerapkan zero tolerance terhadap kapal dengan indikasi eksplorasi atau penangkapan ilegal, dengan menjadikan sanksi administratif sebagai pintu masuk proses pidana bagi pelanggaran berat atau berulang.
PP 28/2025 telah memberikan kerangka hukum yang lebih tegas untuk melindungi kedaulatan laut Indonesia. Namun, keberhasilan menciptakan efek jera sejati bergantung pada integritas aparat, konsistensi penegakan, dan keberanian menggunakan seluruh instrumen hukum yang tersedia. Sebab, perlindungan kedaulatan laut tidak hanya lahir dari bunyi pasal, tetapi dari bukti nyata bahwa setiap pelanggar akan menghadapi konsekuensi yang tegas, transparan, dan tidak dapat dinegosiasikan.
