Heterarki versus Hierarki Internasional

Dinamika tatanan internasional kontemporer sedang bergerak menuju keseimbangan baru antara hierarki dan heterarki.
Ilustrasi tatanan internasional. Foto nusantaranews.co/
Ilustrasi tatanan internasional. Foto nusantaranews.co/

“Sovereignty is the absolute and perpetual power of a commonwealth, which the Latins call maiestas, the Greeks akra exousia, kurion arche, and kurion politeuma, and the Italians segnioria, a word they use for private persons as well as for those who have full control of the state”

Jean Bodin (On Sovereignty).

Dunia internasional adalah bentukan dari cita-cita negara modern yang dimulai dari Perjanjian Westphalia pada 1648. Sebelumnya, di Abad Pertengahan berkembang dua jenis kekuasaan, heterarkis dan hierarkis.

Heterarki sederhananya berarti kekuasaan yang tersebar secara horizontal, dan tidak ada satu pihak yang mencoba untuk mendikte yang lain. Kebalikannya, hierarki kekuasaan bekerja secara vertikal, dari tingkat yang paling rendah hingga ke puncak. Heterarki Abad Pertengahan dapat dilihat pada kecenderungan kerajaan-kerajaan pada masa itu untuk tidak mengintervensi persoalan domestik masing-masing (Whaley, 2012).

Sebaliknya, gereja di Abad Pertengahan masih menjadi institusi kekuasaan yang bekerja lintas batas. Campur tangan masalah dalam negeri dianggap lumrah, terutama saat berkaitan dengan masalah agama. Hukum gereja sebagai bagian dari hierarki tatanan internasional sangat berpengaruh terhadap konstruksi yuridis di kerajaan manapun di Eropa.

Setelah Perjanjian Westphalia, hierarki tampil sebagai pemenang tunggal. Perbedaannya, fondasi vertikal tidak lagi bersifat religius, tetapi sekular (Grotius, 2012). Pakar hukum Phillip Allot (2002) mengusulkan tiga jenjang hierarkis hukum internasional: hukum konstitusi internasional (international constitutional law), hukum publik internasional (international public law), dan hukum bangsa-bangsa (laws of nations).

Aspek heterarkis, meskipun demikian, tidak luruh begitu saja. Secara internal, dalam teori setidaknya setiap negara memiliki kedaulatan penuh atas wilayahnya yang tidak boleh dicampuri oleh siapapun.

Dalam kancah internasional, Inggris dan Prancis, Amerika Serikat, Rusia (termasuk di era Soviet), dan Tiongkok berlomba meraih supremasi hierarkis sebagai negara adikuasa. Dunia pun terbelah ke dalam kutub-kutub (polar), yang menghasilkan tiga varian: monopolar, bipolar, dan multipolar. Negara pemenang menjadi kiblat penciptaan hukum negara-negara lainnya.

Monopolaritas dan Kelahiran Hukum Modern

Hukum tidak dapat dilepaskan dari politik dalam kaitannya dengan pengejawantahan kekuasaan secara koersif. Negara-negara kolonial mengadopsi hukum dari tradisi Anglo-Sakson atau Kontinental terutama karena negara penjajah mereka. Indonesia mungkin tidak akan mengadopsi hukum warisan Belanda jika tidak pernah menjadi negara jajahan. Namun kerajaan seperti Thailand yang tidak pernah dijajah sekalipun karena berperan sebagai negara penyangga (buffer state) dari era kolonialisme akhirnya secara parsial mengadopsi hukum Barat, karena pengaruh keadikuasaan Inggris atau Prancis di Eropa Barat (Huxley, 1996).

Singkatnya, hierarki tatanan internasional berpengaruh mungkin secara langsung, atau dapat pula secara hegemonik terhadap penciptaan hukum di negara modern manapun. Eksistensi hegemoni ini juga sekaligus menunjukkan bahwa kebangkitan heterarki yang pernah berakhir di masa Renesans sulit memiliki ruang gerak hingga saat ini.

Namun demikian, konflik Rusia-Ukraina dan Israel-Iran menunjukkan gejala sebaliknya. Munculnya BRICS (Brazil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan), tidak terkecuali perkembangan selanjutnya ke BRICS+ (setelah bergabungnya Mesir, Etiopia, Iran, Uni Emirat Arab, dan Indonesia) menunjukkan naiknya gejala “Neomedievalisme” (Abad Pertengahan Baru) dari sisi heterarki internasional.

Hierarki monopolaritas yang semakin memudar dan belum definitifnya karakter multipolar tatanan politik global menunjukkan disposisi baru negara-negara yang lebih memilih tatanan heterarkis dan mengembalikan kedaulatan tanpa diintervensi oleh berbagai jenis veto yang sebetulnya hanya menguntungkan satu blok saja (Coning, 2015). Krisis humanitarian di Gaza yang terkesan diperlakukan diskriminatif membuat citra Amerika Serikat semakin luntur.

Filsuf hukum Nico Krisch dan Ezgi Yildiz (2023) mencatat, gerak konstruksi hukum internasional sekarang bersifat polisentris dan dalam tempo yang berbeda-beda. Tekanan dari negara-negara kuat, misalnya tentang poin hak azasi manusia, tidak begitu saja diadopsi oleh negara-negara lain.

Bagi Krisch dan Yildiz, sekalipun tatanan politik berubah sangat cepat, hukum internasional tidak otomatis bergerak dengan kecepatan yang sama-bahkan hingga tidak ada perubahan sama sekali.

Ada lima elemen yang menentukan arah transisi: negara (state actions), negosiasi multilateral (multilateral talks), birokrasi, interpretasi hakim (courts), dan aktor-aktor privat (private actors). Meskipun demikian, ada syarat lain yang harus dipenuhi. Pertama, kuantitas negara yang mendukung perubahan tersebut; kedua, seberapa berbeda perubahan yang diusulkan dari hukum yang ada; ketiga, apakah ada institusi-institusi lain yang terlibat dan berpengaruh terhadap transisi tersebut; terakhir, apakah ada kejadian-kejadian tertentu (seperti krisis, misalnya) yang memengaruhinya.   

Retaliasi terhadap Politik Dumping Tiongkok

Laporan World Trade Organizations-WTO (WT/DS379/AB/R) tertanggal 11 Maret 2011 memaparkan kasus AB-2010-3 antara Amerika Serikat (AS) dengan Tiongkok. Dalam sengketa ini, AS menggugat Tiongkok ke WTO karena kebijakan dumping. Dengan dukungan bank pemerintah, perusahaan Tiongkok mendapatkan pinjaman ringan dari empat bank milik pemerintah mereka yang meningkatkan daya saing ekspor barang ke AS sehingga mematikan industri lokal Amerika Serikat.

Bank-bank di AS sendiri pada dasarnya dimiliki oleh swasta sehingga negara tersebut tidak mungkin mengambil langkah yang sama. Kebijakan subsidi ini dilarang bagi anggota WTO.

Masalahnya, membuktikan ada tidaknya subsidi berdasarkan Pasal 1.1(a)(1)(iv) dari Perjanjian SCM (Subsidies and Countervailing Measures-Subsidi dan Tindak Pengimbangan) cukup sulit. Hingga litigasi ke majelis banding berakhir pada 2019, AS telah mencoba berbagai cara untuk menegaskan keberadaan subsidi, yang akhirnya menjadi perangkat normatif yang baru.

Bagi Krisch dan Yildiz, perubahan seperti kasus Amerika-Tiongkok dari 2011 hingga 2019 menunjukkan, perubahan normatif dalam hukum internasional terjadi karena munculnya kasus tersebut.

Seperti yang dikatakan Krisch dan Yildiz: “Change in international law is rarely the result of the activation of a single pathway. Only where an authority is consolidated and sufficiently focal in a particular context will it alone shift an accepted understanding of legal rules. Otherwise, change will typically be the result of an accumulation of statements produced in the same or different pathways, sometimes in quick succession, at other times over a significant period of time” (Perubahan dalam hukum internasional jarang terjadi melalui jalur tunggal. Hanya dalam kondisi ketika otoritas telah terkonsolidasi dan bisa terfokus dalam konteks tertentu, maka otoritas tersebut mampu secara mandiri mengubah pemahaman yang diterima secara umum mengenai aturan-aturan hukum. Dalam situasi selain itu, perubahan umumnya muncul sebagai hasil dari akumulasi berbagai pernyataan yang dihasilkan melalui jalur-jalur yang sama maupun berbeda, terkadang dalam waktu singkat, atau dalam durasi yang lebih panjang) (Krisch dan Yildiz, 2024:14-15).

Dari kasus ini, terlihat bahwa pendekatan perlakuan khusus negara yang ditempuh Tiongkok berbeda dengan prinsip dasar WTO yang bila ditinjau lebih jauh sebenarnya merupakan ekstensi dari praktik bisnis yang biasa dilakukan AS. Atau dengan kata lain, kapitalisme negara (state capitalism) Tiongkok berbenturan dengan kapitalisme pasar (market capitalism) Amerika Serikat.

Kuatnya pengaruh AS dalam WTO ini adalah contoh dari hierarki internasional yang ditantang oleh kehadiran BRICS, dan selanjutnya BRICS+. Karakter BRICS+ yang beragam sulit untuk dikategorikan sebagai sebentuk oligopoli model baru. Pendekatan yang lebih tepat untuk menggambarkan karakter BRICS+ adalah jejaring dalam ekosistem dari biologi.

Setiap “spesies” ada dalam perkembangan evolutif untuk bereaksi terhadap gerak perekonomian global, tanpa perlu didikte oleh anggota yang lain. Setiap negara berdaulat penuh untuk menentukan langkahnya sendiri (Bodin, 1992) tanpa menjadi bagian dari blok tertentu.

Dengan demikian, dapat dikatakan, dinamika tatanan internasional kontemporer sedang bergerak menuju keseimbangan baru antara hierarki dan heterarki. Di satu sisi, hegemoni historis negara-negara adidaya yang berbasis pada model monopolar maupun bipolar mulai mengalami desentralisasi. Di sisi lain, tumbuhnya berbagai aliansi alternatif, seperti BRICS+, memberikan sinyal bahwa struktur heterarkis memiliki ruang untuk berkembang kembali.

Dalam konteks hukum internasional, polisentrisme, dan multipolaritas mengindikasikan bahwa pembentukan norma-norma baru akan semakin rumit dan bervariasi, sekaligus membuka kemungkinan bagi negara-negara yang sebelumnya berada di posisi marjinal untuk lebih aktif terlibat dalam proses hukum global. Prospek ini tentunya menuntut fleksibilitas dan responsivitas institusi-institusi internasional, sehingga hukum tidak hanya merefleksikan kepentingan segelintir negara kuat, melainkan menjadi representasi adil dari keberagaman aspirasi komunitas global.
                   

Penulis: Muhammad Afif
Editor: Tim MariNews