“Very good conditions are needed to make self-actualizing possible, and those who have known both universally regard self-respect as a higher, more valuable subjective experience than a filled belly.” – Abraham Maslow (Motivation and Personality).
Sanksi ekonomi nasional maupun internasional mungkin memang tidak pernah efektif. “Perang dagang” Amerika Serikat versus Tiongkok di awal tahun 2025 dengan elevasi tarif justru membuat Tiongkok membanjiri pasar dunia dan mengalami surplus sekitar 1,2 trilyun dolar (Bloomberg, 25 September 2025).
Pakar psikologi Abraham Maslow menawarkan sebuah teori tentang perilaku manusia dalam mengambil keputusan. Menurut Maslow, seseorang akan mengarahkan apapun yang ia lakukan untuk memenuhi tahapan-tahapan yang sifatnya ajeg.
Fondasi dari keputusannya adalah kemenyintasan (survival) fisiknya. Seiring dengan pemenuhan kebutuhannya, preferensi seseorang bergerak naik hingga mencapai puncak yang disebut Maslow sebagai “aktualisasi diri” (Maslow, 1954).
Sederhananya, dalam pemikiran Maslow, orang lapar tidak akan berpikir apapun selain mencari makanan untuk bertahan hidup, dan ia akan melakukan berbagai cara untuk mendapatkannya. Kreativitas manusia pun memuncak dalam upaya untuk menyintas ini.
Senjata ekonomi berupa sanksi atau pembekuan sudah biasa dilakukan dalam meredam atau merespons gejolak politik. Di Kanada, misalnya, pada 2022 protes masyarakat tentang wabah Covid-19 direspons pemerintahan Perdana Menteri Justin Trudeau dengan membekukan rekening bank dari organisator demo, dengan tujuan untuk menghentikan donasi dari mereka yang bersimpati terhadap pergerakan massa tersebut (The Guardian, 23 Februari 2022).
Dua tahun sebelumnya, pada saat terjadi gelombang kerusuhan di Hong Kong yang berkaitan dengan ketidakpuasan rakyat terhadap kebijakan pemerintah pusat Tiongkok yang dianggap invasif, Beijing meminta bank-bank untuk membekukan rekening aktivis pro-demokrasi Ted Hui (The Guardian, 22 Juli 2024).
Di tahun 2016 pemerintah Mesir membekukan aset pihak oposisi sebagai langkah politis untuk mengurangi turbulensi yang terjadi saat Abdel Fattah el-Sisi mengambil alih pemerintahan setelah pada gejolak Arab Spring di tahun 2011 terjadi demonstrasi besar-besaran yang menggulingkan Presiden Hosni Mubarak (Al Jazeera, 17 September 2016).
Mencermati Karakteristik Sanksi Ekonomi Internasional
Pakar politik Christian Huber mencatat bahwa efektivitas dari pelaksanaan sanksi internasional hanya berada pada kisaran 6 hingga 56 persen (Huber, 2022).
Lebih lanjut Huber menambahkan bahwa ada tiga kategori untuk menentukan seberapa efektif sebuah sanksi. Pertama adalah faktor-faktor yang berkaitan dengan target sanksi. Tipe negara demokratis biasanya lebih rentan terhadap sanksi karena ada muncul suara-suara keberatan dari pemilih.
Selain negara demokratis, negara yang sudah dalam kondisi ekonomi buruk juga rentan terhadap instrumen ekonomi-politik ini.
Kedua, faktor-faktor yang berkaitan dengan jenis sanksi. Yang biasanya lebih berhasil adalah sanksi yang sangat keras (severe), yang berujung pada turbulensi ekonomi.
Namun demikian, Huber mencatat bahwa belum ada kesepahaman tentang durasi pelaksanaannya.
Terakhir, faktor yang berkaitan dengan negara yang memberikan sanksi. Bila negara yang memberlakukannya melaksanakannya secara ketat, dan dilakukan secara multilateral (beberapa negara sekaligus), maka peluang keberhasilannya cukup tinggi.
Secara umum, sanksi ada di tahapan yang sedikit lebih keras dari kata-kata, namun jauh lebih lembut jika dibandingkan dengan perang. Yang dapat menerapkannya, menurut beberapa pakar ekonomi politik internasional, selalu negara yang situasi politik dan ekonomi lebih kuat.
Tiga alasan utama negara-negara tersebut memberikan sanksi adalah untuk membuktikan ancaman, untuk memberikan peringatan, atau untuk keperluan politik dalam negeri, “to punish, deter, and rehabilitate” (Hufbauer, Schott, Elliott dan Oegg, 2007:7).
Namun demikian, sanksi bisa saja gagal. Garry Clyde Hufbauer dan tim penelitinya mengatakan bahwa “The sanctions imposed may simply be inadequate for the task. The goals may be too elusive; the means too gentle; or cooperation from other countries, when needed, too tepid” (Sanksi yang dijatuhkan mungkin saja tidak memadai untuk mencapai tujuan. Sasarannya bisa terlalu sulit dicapai; cara yang digunakan terlalu lembut; atau kerja sama dari negara lain, ketika dibutuhkan, terlalu lemah) (Hufbauer, Schott, Elliott dan Oegg, 2007:7).
Antara Sanksi atas Iran dan Rusia
Praktik pemberian sanksi yang dapat dijadikan contoh pasang surutnya pemberian sanksi adalah Iran. Pakar ekonomi politik Narges Bajoghli, Vali Nasr, Djavad Salehi-Isfahani, dan Ali Vaez bahkan menengarai bahwa sanksi ekonomi Amerika Serikat (AS) ke Iran adalah sanksi terpanjang yang pernah ada dalam dunia modern.
Sanksi ini mulai diberikan pada tahun 1979 dan memuncak dalam empat periode: 1979-1995, 1996-2006, 2006-2016, dan 2018 hingga saat ini. Singkatnya, Iran adalah negara yang tidak pernah lepas dari sanksi sejak revolusi yang terjadi 46 tahun yang lalu itu.
Bajoghli dan tim penelitinya mencatat bahwa ada empat macam sanksi utama yang diberikan oleh pemerintah AS, yaitu penghentian semua transaksi dengan Iran (country-based), perlakuan tertentu yang mengarah pada individu atau organisasi tertentu pula (list-based), pelemahan sektor perminyakan, perbankan, dan perkapalan (sectoral), dan terakhir, upaya untuk menekan semua sekutu AS untuk mengambil langkah serupa (secondary status) (Bajoghli, Nasr, Salehi-Isfahani, dan Vaez, 2024).
Bila Iran berhadapan dengan sanksi ekonomi terpanjang dalam sejarah negara modern, invasi Rusia ke Ukraina pada 2022 membuat negara itu mendapatkan sederet sanksi dari dunia internasional, terutama AS dan sekutunya.
Pengkaji ekonomi politik Christine Abely mencatat bahwa di sektor perbankan, bank-bank Rusia seperti VTB, Sberbank, Otkritie, Sovcombank, dan Novikombank dibekukan asetnya.
Secara moneter, Rusia tidak lagi dapat mempergunakan dolar untuk transaksi internasionalnya, dan pebisnis atau konglomerat negara itu tidak lagi dapat masuk ke negara-negara pemberi sanksi.
Dari sektor teknologi, berbagai produk inovasi teknologi dilarang masuk ke dan dikembangkan di Rusia. Di bidang energi, Eropa memblokade distribusi energi dari Rusia dan memilih untuk beralih ke sumber energi baru.
Seperti yang terjadi dengan Iran, dalam bidang perdagangan global ada upaya bersama untuk menghambat ekspor dari Rusia (Abely, 2022).
Sisi Paradoksal Legal Amunisi Ekonomi
Sanksi yang diberikan pada Iran dan Rusia direspons dengan inovasi dan resiliensi oleh kedua negara tersebut. Hal ini dapat menjadi catatan penting, seperti kondisi yang dialami Tiongkok di awal tulisan ini, bahwa sanksi ekonomi mungkin tidak akan pernah efektif.
Apa yang terjadi di tingkat internasional dapat juga terjadi di dalam negeri, seperti yang terjadi di Kanada, Hong Kong, dan India. Bila eksistensi hukum ada untuk manusia, berbagai fenomena kegagalan pelaksaan sanksi menjadi kontra-argumen penting bahwa ada sisi ketidakadilan akut yang terselip dalam senjata ekonomi semacam ini.
Dengan kata lain, sekalipun secara formal sanksi ekonomi terlihat legal, namun dari sisi substansi penuh dengan celah dan lubang, terutama dalam kaitannya dengan hak asasi manusia (HAM).
Memberi sanksi pada sebuah negara atas kebijakan sepihak dari elit otoriternya pada hakikatnya tidak berbeda dengan memaksa sebuah kampung kelaparan hanya karena kelalaian sang kepala desa.
Pengkaji hukum internasional, Anton Moiseienko dalam Corruption and Targeted Sanctions (2019) menggarisbawahi tiga persoalan hak asasi manusia dalam sebuah sanksi (Moiseienko, 2019).
Salah satunya adalah tentang hak kepemilikan, sanksi atau blokade ekonomi bertentangan dengan Pasal 8 Ayat 1 dan 2 dari Konvesi Eropa tentang Hak Asasi Manusia (European Convention of Human Rights/ECHR) yang berbunyi “Everyone has the right to respect for his private and family life, his home and his correspondence” (Setiap orang berhak atas penghormatan terhadap kehidupan pribadinya, kehidupan keluarganya, rumahnya, dan akses komunikasi) dan “ There shall be no interference by a public authority with the exercise of this right except such as is in accordance with the law and is necessary in a democratic society in the interests of national security, public safety or the economic well-being of the country, for the prevention of disorder or crime, for the protection of health or morals, or for the protection of the rights and freedoms of others” (Tidak seorang pun boleh diintervensi oleh otoritas publik dalam penerapan hak ini kecuali apabila sesuai dengan hukum dan diperlukan dalam suatu masyarakat demokratis demi kepentingan keamanan nasional, keselamatan umum, atau kesejahteraan ekonomi negara, untuk pencegahan gangguan ketertiban atau tindak pidana, untuk perlindungan kesehatan atau moral, atau untuk perlindungan hak dan kebebasan orang lain) (European Union Agency for Fundamental Rights, 2025).
Dalam kasus Al-Dulimi & Montana Management Inc v Switzerland (Application no. 5809/08, 21 Juni 2016), Khalaf Al-Dulimi yang berkebangsaan Irak dan ditengarai terlibat dengan pemerintahan Saddam Hussein dibekukan asetnya secara sepihak oleh pemerintah Swiss tanpa ada bentuk komunikasi apapun dengan yang bersangkutan.
Sekalipun langkah pemerintah Swiss tersebut dilakukan atas dasar Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), namun tetap saja hak asasi Al-Dulimi, sesuai dengan Pasal 6 Ayat 1 ECHR telah dilanggar.
Pengadilan HAM Eropa memerintahkan pengadilan di Swiss untuk memberikan hak kepada Al-Dulimi untuk menjalani proses pemeriksaan ulang sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam ECHR (Ann-Kathrin Goller, Human Rights Law Centre, 2025).
Pada akhirnya, praktik sanksi ekonomi menyingkap paradoks yang sulit diurai. Di satu sisi, sanksi dipandang sebagai instrumen politik yang sah dalam hukum internasional, berada di antara diplomasi dan perang. Namun di sisi lain, penerapannya kerap menimbulkan luka mendalam pada prinsip keadilan substantif.
Bila hukum dimaksudkan untuk melindungi manusia dan martabatnya, maka pembekuan aset, blokade dagang, atau isolasi finansial yang menjerat populasi luas demi menekan elit tertentu justru menciptakan ketidakadilan struktural baru.
Pertanyaan mendasar bagi filsafat hukum ialah: apakah sebuah tindakan masih dapat disebut legal bila substansinya justru melanggar hak paling elementer? Dari perspektif inilah, sanksi ekonomi lebih tepat dibaca sebagai ujian terhadap integritas hukum itu sendiri, apakah hukum akan tunduk pada kalkulasi kekuasaan, ataukah teguh pada prinsip bahwa manusia, bukan negara, adalah subjek utama yang mesti dihormati.