Tinjauan Yuridis atas Kewajiban Pemeriksaan Calon Tersangka Pasca Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014

Menurut ketentuan Hukum Acara Pidana, pihak yang memiliki kewenangan untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka adalah penyidik.
Ilustrasi tersangka. Foto : freepik.com
Ilustrasi tersangka. Foto : freepik.com

Tersangka merupakan individu yang diduga sebagai pelaku tindak pidana, karena adanya perbuatan atau keadaan tertentu yang didukung oleh bukti permulaan yang memadai. 

Pengaturan mengenai status tersangka tercantum dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), tepatnya Pasal 1 angka 14, menegaskan bahwa tersangka adalah seseorang yang berdasarkan bukti permulaan yang cukup, patut diduga melakukan suatu tindak pidana.

Menurut ketentuan Hukum Acara Pidana, pihak yang memiliki kewenangan untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka adalah penyidik. 

Pasal 1 angka 2 KUHAP mendefinisikan penyidik sebagai pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi kewenangan khusus oleh undang-undang untuk melaksanakan penyidikan. 

Selain itu, dalam perkara tertentu seperti tindak pidana korupsi, kewenangan penyidikan tidak hanya dimiliki oleh Polri, tetapi juga diberikan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Penetapan status tersangka dilakukan berdasarkan adanya bukti permulaan yang menjadi dasar awal bagi penyidik untuk menduga keterlibatan seseorang dalam suatu tindak pidana. 

KUHAP sendiri tidak secara eksplisit merumuskan apa yang dimaksud dengan bukti permulaan, namun istilah tersebut dipahami sebagai indikasi awal adanya tindak pidana yang didukung oleh alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP.

Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No. 21/PUU-XII/2014 menegaskan bahwa bukti permulaan yang cukup setidaknya harus didasarkan pada dua alat bukti yang sah. Adapun alat bukti yang sah menurut Pasal 184 KUHAP meliputi keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.

Oleh karena itu, penetapan seseorang sebagai tersangka wajib dilakukan sesuai prosedur yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan, dan tidak boleh didasarkan semata-mata pada dugaan, tanpa adanya bukti permulaan yang jelas. 

Hal ini, kemudian menimbulkan pertanyaan, apakah sebelum status tersangka ditetapkan, penyidik terlebih dahulu wajib melakukan pemeriksaan terhadap calon tersangka?

KUHAP tidak secara eksplisit atau tegas mengatur mengenai adanya pemeriksaan calon tersangka sebelum penetapan status tersangka. Ketentuan dalam KUHAP hanya memuat aturan mengenai pemeriksaan saksi sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 26, Pasal 112 dan pasal-pasal berikutnya, serta pemeriksaan terhadap tersangka yang baru berlaku, setelah seseorang resmi ditetapkan sebagai tersangka, sebagaimana diatur dalam Pasal 116 dan pasal-pasal selanjutnya.

Istilah pemeriksaan calon tersangka lahir dari Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014. 

Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah menafsirkan bahwa frasa-frasa dalam KUHAP seperti “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” (sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP), harus dipahami sebagai adanya sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah sesuai Pasal 184 KUHAP, yang juga harus disertai dengan pemeriksaan terhadap calon tersangka. 

Pengecualian hanya berlaku pada tindak pidana tertentu, yang memungkinkan penetapan tersangka dilakukan in absentia atau tanpa kehadiran calon tersangka.

Mahkamah Konstitusi menetapkan syarat pemeriksaan calon tersangka dengan sejumlah pertimbangan, antara lain untuk menjamin tegaknya prinsip due process of law (proses hukum yang adil), melindungi hak asasi manusia (HAM), serta mewujudkan kepastian hukum yang berkeadilan. 

MK menegaskan bahwa penetapan status tersangka tidak boleh hanya bertumpu pada bukti tertulis, melainkan calon tersangka harus diberikan kesempatan menyampaikan keterangan terlebih dahulu agar asas audi et alteram partem tetap terjaga. 

Selain itu, mengingat status tersangka membawa dampak serius, seperti stigma sosial maupun pembatasan kebebasan, maka pemeriksaan calon tersangka dipandang sebagai bentuk perlindungan HAM, agar seseorang tidak serta-merta kehilangan haknya tanpa kesempatan membela diri.

Pelaksanaan pemeriksaan calon tersangka masih menimbulkan perbedaan pandangan dalam praktik peradilan. Sebagian berpendapat bahwa pemeriksaan calon tersangka merupakan kewajiban yang bersifat imperatif sebagaimana ditentukan dalam Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014. 

Namun, di sisi lain ada pula yang beranggapan bahwa pemeriksaan tersebut, tidak wajib dilakukan, karena KUHAP tidak mengaturnya secara tegas. 

Bahkan, dalam praktiknya, putusan hakim pun tidak selalu menunjukkan keseragaman pertimbangan, ketika memutus perkara yang berkaitan dengan pemeriksaan calon tersangka.

Salah satu contoh putusan yang menegaskan kewajiban pemeriksaan calon tersangka secara imperatif adalah Putusan Nomor 2/Pid.Pra/2024/PN Kbu. Dalam perkara tersebut, penetapan tersangka dinilai cacat hukum karena sebelumnya tidak pernah dilakukan pemeriksaan terhadap calon tersangka. 

Meskipun yang bersangkutan telah dimintai keterangan sebagai saksi, hal itu dianggap belum cukup untuk memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014. 

Adapun pertimbangan hakim dalam putusan tersebut menyatakan sebagai berikut:

  • Menimbang bahwa pertimbangan hal tersebut, hakim praperadilan berdasarkan pada poin pertimbangan Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014, yang menyertakan pemeriksaan calon tersangka di samping minimum dua alat bukti (Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014, hal 98-99) yakni untuk tujuan transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang, agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka sudah dapat memberikan keterangan yang seimbang dengan minimum dua alat bukti yang telah ditemukan oleh penyidik. Dengan demikian, berdasarkan alasan tersebut di atas, seorang penyidik di dalam menentukan “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP dapat dihindari adanya tindakan sewenang-wenang, terlebih lagi di dalam menentukan bukti permulaan yang cukup, selalu dipergunakan untuk pintu masuk bagi seorang penyidik di dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka; 
  • Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut, maka Hakim berpandangan bahwa tindakan penetapan tersangka yang diterbitkan oleh Termohon atas diri Pemohon, belum memenuhi syarat sebagaimana yang disebutkan dalam Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014, dan oleh karena itu dalil dalam alasan ketiga Pemohon ini patut untuk dinyatakan diterima, karena beralasan menurut hukum;

Sementara itu, mengenai pemeriksaan calon tersangka, terdapat pula putusan lain yang memiliki pertimbangan berbeda. Hal ini dapat dilihat, misalnya, pada Putusan Nomor 1/Pid.Pra/2024/PN Kot, yang dalam pertimbangannya menyatakan:

  • Menimbang, bahwa pertimbangan yang menyertakan keharusan adanya pemeriksaan calon tersangka disamping minimum 2 (dua) alat bukti tersebut, bertujuan untuk memberikan transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum ditetapkan sebagai tersangka sudah dapat memberikan keterangan yang seimbang dengan minimum 2 (dua) alat bukti yang telah ditemukan penyidik;
  • Menimbang, bahwa pasca lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, dalam pelaksanaannya berkaitan dengan pemeriksaan calon tersangka dalam literatur dan undang-undang juga tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang pemeriksaan calon tersangka dan hal tersebut menjadi benturan norma dalam Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, karena ada dalam pertimbangan hukum namun dalam amar putusan tidak disebutkan;
  • Menimbang, bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka diperlukan adanya aturan petunjuk yang jelas agar menjadi sebuah norma yang mengikat, dikarenakan hukum acara pidana bersifat lex scripta dan lex certa, sebagai pelaksana Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014. Sehingga tidak terjadi multitafsir dalam frasa dua alat bukti berserta pemeriksaan calon tersangka, apabila tidak diatur dengan aturan pelaksana, maka berlaku ketentuan yang berlaku umum yaitu pada Pasal 183 dan Pasal 184 KUHAP;
  • Menimbang, bahwa selanjutnya merujuk pada ketentuan yang mengatur tentang tersangka dalam KUHAP, Pasal 1 angka 14 KUHAP menyebutkan “Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”, mengacu pada ketentuan bahwa untuk menjadi tersangka harus ada bukti permulaan dan ada dugaan bahwa orang tersebut sebagai pelaku tindak pidana. Maka, tidak ada satupun ketentuan dalam KUHAP yang mensyaratkan penetapan tersangka harus dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu kepada calon tersangka. Sehingga tidak ada larangan dalam ketentuan KUHAP, untuk menetapkan Tersangka meskipun ia belum diperiksa sebagai calon tersangka, sepanjang telah memenuhi dua bukti permulaan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP;
  • Menimbang, bahwa berkaitan dengan maksud daripada pemeriksaan calon tersangka ialah dalam rangka menegakkan due process of law, yaitu jaminan konstitutional yang memastikan adanya proses hukum yang adil yang memberikan kesempatan kepada seseorang untuk mengetahui proses tersebut dan memiliki kesempatan untuk didengar keterangannya, atau pada intinya mengandung arti proses hukum yang adil. Maka meskipun dalam KUHAP maupun dalam Putusan Mahkamah Konstitusi sendiri tidak menyebutkan adanya konsekuensi hukum (legal consequences), apabila tidak dijalankan pemeriksaan seorang sebagai calon tersangka, namun berkaca pada maksud dan tujuan daripada due process of law itu sendiri, dalam rangka merealisasikan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, dengan memberikan kesempatan atau ruang kepada seorang sebelum adanya penetapan tersangka, supaya dapat memberikan klarifikasi dan keterangan sehubungan dengan kejadian atau peristiwa tindak pidana. Maka setidak-tidaknya hal tersebut, sebagai salah satu bentuk realisasi dan implementasi dari maksud dan tujuan due process of law itu sendiri. Meskipun tidak dapat dipersamakan secara kaidah antara pemeriksaan sebagai saksi dengan pemeriksaan calon tersangka, sebelum adanya penetapan tersangka, namun setidak-setidaknya secara esensi pada maksud dan tujuannya mengandung jalan yang sama, yaitu bertujuan memberikan transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang, agar sebelum ditetapkan sebagai tersangka telah mendapatkan kesempatan dan ruang untuk memberikan keterangan yang seimbang dengan minimum dua alat bukti, sehingga tercipta proses hukum yang berkeadilan.

Dari dua putusan yang telah diuraikan, terlihat bahwa masih terdapat perbedaan pandangan di kalangan hakim mengenai pemeriksaan calon tersangka. Kehadiran Perma No. 4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan, khususnya Pasal 2 ayat (2) yang menegaskan pemeriksaan praperadilan terkait sah atau tidaknya penetapan tersangka hanya menilai aspek formil yaitu adanya sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah tanpa memasuki materi perkara, belum sepenuhnya mampu menciptakan keseragaman putusan hakim terkait penerapan pemeriksaan calon tersangka sebagaimana dimaksud dalam Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014. Mengingat dinamika tersebut, penting bagi pembuat kebijakan untuk segera merumuskan regulasi atau pedoman yang secara tegas, mengatur mengenai pemeriksaan calon tersangka, sehingga dapat tercapai keseragaman putusan serta kepastian hukum.

Akan tetapi, selama belum terdapat regulasi maupun pedoman yang secara tegas mengatur mengenai mekanisme pemeriksaan calon tersangka, maka persoalan ini sepenuhnya masih berada dalam ruang diskresi hakim untuk menilai dan memutus perkara berdasarkan kewenangan konstitusionalnya. Hal ini, menimbulkan konsekuensi praktik peradilan dapat menunjukkan ragam pertimbangan hukum yang berbeda-beda, sehingga berpotensi menimbulkan inkonsistensi putusan. Oleh karena itu, penting kiranya isu ini terus menjadi bahan kajian dan diskursus hukum, baik di ranah akademik maupun praktisi, guna mendorong lahirnya regulasi yang lebih komprehensif dan menjamin keseragaman praktik peradilan. 

Pada akhirnya, penulis berharap uraian dalam tulisan ini, dapat memberikan kontribusi positif bagi pengembangan ilmu hukum acara pidana, memperkaya pemahaman para pembaca, serta menjadi stimulus bagi diskusi yang konstruktif dan membangun demi terwujudnya kepastian hukum, keadilan, dan perlindungan hak asasi manusia dalam proses penegakan hukum di Indonesia.

Penulis: Murdian
Editor: Tim MariNews