Pada dini hari 15 April 1912, dunia dikejutkan oleh tenggelamnya Royal Mail Ship (RMS) Titanic, kapal penumpang terbesar dan termewah pada masanya.
Kapal yang dijuluki The Unsinkable Ship itu karam di Samudera Atlantik Utara setelah menabrak gunung es dalam pelayaran perdananya pada 10 April 1912 dari Southampton Inggris, menuju New York.
Tragedi ini menewaskan lebih dari 1.500 orang dari 2.224 penumpang dan awak kapal, menjadikannya salah satu bencana pelayaran paling mengerikan dalam sejarah.
Namun, tenggelamnya Titanic menjadi titik balik dalam sejarah hukum maritim internasional.
Dari reruntuhan Titanic lahir gagasan pembentukan regulasi internasional tentang keselamatan pelayaran yang kemudian terwujud dalam International Convention for the Safety of Life at Sea (SOLAS).
Sebelum 1912, hukum keselamatan pelayaran masih bersifat parsial dan tidak terstandardisasi secara internasional.
Inggris di kala itu mengatur jumlah sekoci berdasarkan tonase kapal, bukan jumlah penumpang. Akibatnya, Titanic membawa 20 sekoci yang hanya cukup untuk separuh penumpang saat itu.
Selain itu, tidak ada kewajiban untuk latihan evakuasi yang menyebabkan banyak penumpang tidak mengetahui prosedur keselamatan, serta tidak terdapat standar internasional mengenai pengawasan komunikasi radio sehingga berakibat fatal karena sinyal SOS Titanic tidak diterima tepat waktu oleh kapal terdekat akibat absennya pengawasan radio 24 jam.
Sebagai respons atas tragedi tersebut, pada Januari 1914 digelar Konferensi Internasional tentang Keselamatan Jiwa di Laut (International Conference on Safety of Life at Sea) di London.
Konferensi ini menghasilkan SOLAS 1914, instrumen hukum internasional pertama yang secara komprehensif mengatur keselamatan pelayaran.
Beberapa ketentuan pokok dalam SOLAS 1914 antara lain:
- Kewajiban membawa sekoci yang cukup untuk seluruh penumpang dan awak kapal;
- Kewajiban latihan evakuasi rutin (muster drill) meruapakan latihan berkumpul di muster station dalam situasi darurat;
- Keharusan adanya pengawasan radio 24 jam serta kewajiban kapal dilengkapi peralatan komunikasi darurat; dan
- Inspeksi internasional untuk memastikan kapal memenuhi standar keselamatan sebelum berlayar.
Meskipun SOLAS 1914 belum pernah diimplementasikan karena saat itu hanya diratifikasi oleh 5 negara dan tertunda akibat pecahnya Perang Dunia I, namun prinsip-prinsip yang terkandung didalamnya menjadi fondasi bagi pembaruan hukum keselamatan pelayaran modern.
Seiring perkembangan teknologi dan tragedi maritim lainnya, SOLAS diperbarui beberapa kali yakni pada 1929, 1948, 1960 hingga SOLAS 1974 yang dianggap paling penting.
Keunggulan SOLAS 1974 adalah diterapkannya tacit acceptance procedure, bahwa suatu amandemen akan mulai berlaku (enter into force) pada tanggal tertentu, kecuali dalam kurun waktu sebelum enter into force, ada penolakan dari sejumlah tertentu negara anggota.
Dengan pemberlakuan prosedur ini, membuat SOLAS adaptif terhadap perkembangan teknologi keselamatan pelayaran sehingga mengalami beberapa kali amandemen termasuk lahirnya Protocol 1988 yang menyelaraskan aturan survey dan sertifikasi kapal dengan konvensi internasional lain seperti MARPOL 1973/78.
Relevansi SOLAS tidak hanya terletak pada aspek teknis (peralatan keselamatan, radio, navigasi modern, pencegahan kebakaran), tetapi juga pada lahirnya mekanisme inspeksi dan sertifikasi internasional, konstruksi dan stabilitas, pengelolaan lalu lintas maritim dan kewajiban melindungi penumpang.
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di Asia Tenggara dengan luas laut sekitar 6 juta km², memiliki kepentingan vital terhadap keselamatan pelayaran.
Oleh karena itu, Indonesia meratifikasi SOLAS 1974 melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 65 Tahun 1980 yang diundangkan pada 9 Desember 1980.
Ratifikasi ini bukan sekadar formalitas, tetapi komitmen Indonesia untuk mengadopsi standar keselamatan pelayaran internasional.
Pascaratifikasi tersebut, lahir berbagai regulasi nasional yang merefleksikan pelaksanaan SOLAS 1974 jo Protocol 1988 seperti Undang-undang Nomor 21 tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, Peraturan Menteri Perhubungan terkait sertifikasi kapal, kelaiklautan, penyediaan alat penyelamat (sekoci, jaket pelampung), kewajiban penggunaan Global Maritime Distress and Safety System (GMDSS), serta penerapan ISM Code dan ISPS Code di Pelabuhan Indonesia.
Dengan ratifikasi SOLAS 1974 jo. Protocol 1988, Indonesia meneguhkan diri untuk taat pada hukum laut internasional yang selaras dengan prinsip UNCLOS 1982 tentang negara kepulauan (archipelagic state).
Tenggelamnya Titanic menjadi bukti bahwa tragedi dapat menjadi katalis lahirnya hukum. Titanic telah karam, namun warisannya hidup dalam pembentukan hukum keselamatan pelayaran internasional.
Pesannya jelas bahwa setiap nyawa di laut adalah tak ternilai dan wajib dilindungi hukum.