Maraknya laporan perdagangan orang (TPPO) terhadap warga negara Indonesia yang dipekerjakan atau dieksploitasi di luar negeri, terutama di Cina, menunjukkan bahwa persoalan ini belum tuntas di negeri sendiri.
Meski Indonesia telah meratifikasi berbagai konvensi internasional dan punya undang-undang anti TPPO, praktik ini terus terjadi dan menghadirkan tantangan serius bagi penegakan hukum, perlindungan warga, dan citra Indonesia di mata dunia.
Kisah pilu ini bukan sekadar laporan media. Ada WNI yang dijanjikan pekerjaan menjanjikan, dikirim ke luar negeri, lalu dipaksa bekerja dalam kondisi buruk, digaji rendah atau bahkan tidak dibayar, serta dibelenggu utang yang tak masuk akal.
Dalam beberapa kasus, upaya pulang terhambat karena dokumen ditahan atau identitas disita.
Semua ini bukan hanya soal pelanggaran HAM, tetapi juga kejahatan transnasional yang merusak kepercayaan publik terhadap sistem perlindungan warga negara.
Secara undang-undang, Indonesia memiliki dasar kuat menindak TPPO, yaitu UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. UU ini mengatur berbagai bentuk eksploitasi, dari pekerjaan paksa, perbudakan, sampai eksploitasi seksual.
Tapi dalam praktiknya, ketika kasus WNI di luar negeri seperti di Cina muncul, penanganannya sering terhambat oleh aspek yurisdiksi, koordinasi antar lembaga, dan keterbatasan bukti lintas batas negara.
Peran pengadilan, khususnya hakim, menjadi sangat penting ketika kasus TPPO WNI yang tinggal diluar negeri dibawa ke ranah pidana dalam negeri.
Hakim harus mampu menilai fakta-fakta yang bisa sangat terselubung: kontrak kerja yang kabur, dokumen yang diubah, saksi yang sulit dijangkau. Pengetahuan tentang hukum internasional, kerja sama antar negara, dan standar perlindungan korban menjadi keahlian krusial.
Mahkamah Agung (MA), melalui pedoman teknis atau putusan yurisprudensi, dapat memberi arahan agar hakim di seluruh Indonesia menerapkan standar yang sama dan tidak goyah oleh tekanan politik atau diplomasi.
Ke depan, ada beberapa langkah strategis yang harus ditempuh:
- Perkuat kerja sama diplomatik dan perjanjian ekstradisi agar WNI korban di luar negeri bisa mudah diadvokasi, dipulangkan, dan penanganan kasus bisa berjalan.
- Bangun satu pusat data nasional TPPO lintas negara, agar semua lembaga—Polri, Kejaksaan, Kemenlu—terhubung dan dapat melacak korban atau pelaku.
- Tingkatkan kapasitas hakim dan aparat penegak hukum dalam isu kejahatan lintas negara, termasuk aset digital, jalur perbankan antarnegara, dan perlindungan saksi asing.
- Tegakkan hukuman berat terhadap pelaku TPPO, agar menjadi efek jera baik bagi pelaku domestik maupun jaringan internasional.
TPPO WNI di Cina bukan hanya soal “kasus asing”, melainkan cerminan sejauh mana negara benar-benar mampu melindungi warga negaranya.
Jika hukum dan lembaga tidak bergerak cepat, maka warga kecil akan terus menjadi korban janji palsu yang berakhir petaka.