Transformasi digital dalam layanan publik menjadi arah utama reformasi birokrasi di Indonesia. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mengambil langkah besar dengan menerapkan kebijakan Sertipikat Tanah Elektronik sebagai bentuk modernisasi pelayanan pertanahan.
Beleid ini menandai perubahan mendasar dari sistem berbasis dokumen fisik menuju sistem digital yang lebih efisien, aman, dan transparan.
Langkah tersebut sejalan dengan visi Terwujudnya Penataan Ruang dan Pengelolaan Pertanahan yang Terpercaya dan Berstandar Dunia, yang mendukung cita-cita Indonesia berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berlandaskan gotong royong.
ATR/BPN menargetkan layanan pertanahan yang berkeadilan, produktif, serta berkelanjutan dengan menjamin kepastian hukum hak atas tanah bagi seluruh masyarakat.
Dorongan perubahan ini semakin kuat setelah Presiden ke-7 pada Rapat Terbatas 3 Agustus 2020 menegaskan perlunya transformasi struktural dari sistem manual menuju sistem digital (Setkab 3/8/2020).
Transformasi tersebut tidak hanya mengubah cara kerja birokrasi, tetapi juga pola interaksi masyarakat dalam bertransaksi, belajar, dan mengakses layanan publik.
Berbagai Tantangan
Tantangan dalam administrasi pertanahan bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di banyak negara. Data Bank Dunia menunjukkan sekitar 70 persen penduduk dunia belum memiliki akses terhadap layanan administrasi pertanahan yang mudah dan terjangkau.
Salah satu penyebabnya adalah lambatnya peralihan dari sistem berbasis kertas menuju sistem digital. Padahal, digitalisasi terbukti mampu meningkatkan keamanan data, mempercepat proses layanan, dan memperkecil potensi penyimpangan.
Di Indonesia, persoalan birokrasi pertanahan selama ini menjadi sorotan publik. Data Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan sektor agraria termasuk dalam empat sektor terkorup setelah sumber daya alam, transportasi, dan perdagangan (CNBC 24/03/2023).
Kompleksitas administrasi serta meningkatnya jumlah dokumen tanah memperberat sistem pelayanan manual. Sementara itu, target ambisius sebesar 1,5 juta bidang Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) pada tahun 2025 menuntut inovasi besar agar penumpukan sertipikat dapat ditekan (ATR/BPN 6/3/2025).
Sekretaris Jenderal Kementerian ATR/BPN pada acara monitoring dan evaluasi implementasi penerbitan dokumen elektronik tahun 2024 memaparkan hingga September 2023, ditemukan 657.966 bidang tanah kategori K1 (sudah clean and clear) yang mengalami keterlambatan penerbitan sertipikat, di mana 38 persen di antaranya terhambat karena tahapan manual seperti penjahitan, paraf, tanda tangan, dan unggah dokumen.
Jika seluruh proses tersebut dialihkan ke sistem elektronik, kemandekan penerbitan dapat berkurang hingga 30 persen. Kondisi ini memperlihatkan pentingnya digitalisasi untuk meningkatkan efisiensi dan akurasi pelayanan.
Mengapa Sertipikat Tanah Elektronik?
Berbagai kasus mafia tanah yang mencuat dalam beberapa tahun terakhir juga memperkuat urgensi pembenahan sistem pertanahan. Banyak kasus menunjukkan adanya penyalahgunaan kewenangan yang memanfaatkan kelemahan sistem manual.
Sertipikat tanah elektronik diharapkan menjadi solusi untuk menutup celah manipulasi, memperkuat akuntabilitas, serta meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem administrasi pertanahan nasional.
Negara-negara lain seperti Australia, Filipina, Malaysia, dan Jepang telah lebih dahulu menerapkan sistem sertipikat tanah elektronik.
Dokumen tersebut dikelola secara digital namun tetap memiliki versi cetak dengan keamanan tinggi menggunakan secure paper. Praktik-praktik ini menjadi acuan bagi Indonesia untuk mengembangkan sistem sejenis yang sesuai dengan kerangka hukum nasional.
Refleksi dan Arah Transformasi
Transformasi digital di ATR/BPN telah dirancang melalui peta jalan jangka panjang menuju institusi berstandar dunia. Sejak 2019, layanan pertanahan mulai diarahkan ke sistem elektronik dengan peluncuran Hak Tanggungan Elektronik (HT-el) dan Layanan Informasi Elektronik. Tahun 2023 menjadi tonggak penting dengan diperkenalkannya Buku Tanah Elektronik sebagai dasar digitalisasi dokumen pertanahan.
Pada 2024, seluruh kantor pertanahan di Indonesia mulai mengimplementasikan sistem sertipikat elektronik. Data per Juli 2025 mencatat lebih dari 5 juta sertipikat elektronik dan 5 juta buku tanah elektronik telah diterbitkan, dengan lebih dari 20 juta dokumen dalam proses digitalisasi.
Transformasi ini mengarah pada penyelenggaraan layanan publik yang sepenuhnya digital, di mana seluruh data dan dokumen tervalidasi secara elektronik (disampaikan Sekretaris Direktorat Jenderal Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah ATR/BPN pada Diskusi Reboan PTUN Bandung, 16/7/2025).
Kebijakan sertipikat tanah elektronik memiliki dasar hukum yang kuat. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) mengakui informasi dan dokumen elektronik sebagai alat bukti hukum yang sah.
PP Nomor 71 Tahun 2019 mempertegas penyelenggaraan sistem elektronik, sementara Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja beserta peraturan turunannya memberikan legitimasi terhadap sertipikat elektronik sebagai bukti hak yang memiliki kekuatan hukum yang sama dengan dokumen tertulis.
Selain itu, berbagai regulasi teknis seperti Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 3 Tahun 2023 mengatur penerbitan dokumen elektronik dalam kegiatan pendaftaran tanah.
Ketentuan ini memastikan bahwa Buku Tanah Elektronik dan Sertipikat Tanah Elektronik dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah, termasuk di pengadilan.
Desain dan Fitur Keamanan
Desain sertipikat tanah elektronik disusun dengan prinsip sederhana, aman, informatif, dan akuntabel. Format sertipikat dibuat lebih ringkas dan mudah dipahami, berisi informasi mengenai hak, letak bidang tanah, luas, nama pemegang hak, serta kode QR yang dapat diakses melalui aplikasi Sentuh Tanahku.
Blanko sertipikat menggunakan secure paper dengan spesifikasi keamanan tinggi yang disediakan oleh Peruri.
Fitur keamanan pada dokumen digital mencakup tanda tangan elektronik untuk mengautentikasi identitas penerbit dan pemegang sertipikat, serta enkripsi data untuk menjaga integritas dokumen agar tidak dapat diubah tanpa jejak.
Setiap sertipikat memiliki edisi tersendiri yang diperbarui setiap kali terjadi perubahan atau pemeliharaan data. Edisi terbaru otomatis menggantikan versi lama, sehingga mencegah duplikasi dan menjamin validitas data.
Selain itu, sertipikat elektronik dilengkapi dengan sistem verifikasi digital. Melalui pemindaian QR code, masyarakat dapat langsung memeriksa keaslian sertipikat dan status kepemilikan tanah secara real time.
Fitur ini juga membantu mencegah praktik pemalsuan atau penerbitan ganda yang sering menjadi sumber sengketa.
Dalam konteks hukum acara, keberlakuan sertipikat tanah elektronik sudah diakui sepenuhnya. Berdasarkan ketentuan UU ITE dan peraturan Menteri ATR/BPN, informasi elektronik maupun hasil cetaknya dapat dijadikan alat bukti hukum yang sah di pengadilan.
Buku Tanah Elektronik yang dicetak untuk kepentingan pembuktian tidak memerlukan tanda tangan manual karena telah diautentikasi oleh sistem melalui segel elektronik.
Seluruh riwayat pendaftaran tanah terekam secara otomatis pada sistem, sehingga data kepemilikan dapat ditelusuri secara transparan dan akurat.
Penerapan sertipikat elektronik tidak hanya sekadar inovasi teknologi, tetapi juga wujud nyata reformasi birokrasi di bidang pertanahan.
Beberapa pandangan mengaminkan digitalisasi administrasi pertanahan memungkinkan kepastian hukum melalui sistem pendaftaran tanah berbasis stelsel positif, yang menjamin bahwa data yang tersimpan adalah bukti sah kepemilikan.
Kantor pertanahan kini bertransformasi menjadi pusat informasi digital yang terintegrasi dan berperan sebagai penyedia layanan publik modern.
Penerapan sistem elektronik juga membuka peluang optimalisasi penerimaan negara. Layanan informasi pertanahan yang dikelola secara transparan dapat menjadi basis sumber pendapatan non-pajak sekaligus memperkuat konsep self-financing lembaga.
Selain itu, kecepatan dan kemudahan layanan akan meningkatkan daya saing ekonomi nasional, memperbaiki peringkat kemudahan berusaha (EoDB), serta menarik investasi di sektor properti dan infrastruktur.
Lebih jauh, transformasi digital di bidang pertanahan berkontribusi pada pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals).
Penataan ruang yang berbasis data dan digitalisasi kepemilikan tanah mendukung perencanaan pembangunan yang inklusif dan berwawasan lingkungan.
Dengan sistem yang terintegrasi, perencanaan tata ruang dapat dioptimalkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang adil dan berkelanjutan.
Penutup
Kebijakan sertipikat tanah elektronik mencerminkan komitmen negara untuk menghadirkan birokrasi yang modern, transparan, dan akuntabel.
Dengan lebih dari 5 juta sertipikat dan buku tanah elektronik yang telah terbit hingga pertengahan 2025, Indonesia berada di jalur yang tepat menuju layanan pertanahan digital sepenuhnya.
Transformasi ini tidak hanya memperkuat kepastian hukum hak atas tanah, tetapi juga mempercepat pelayanan publik, menutup ruang penyimpangan, serta membangun kepercayaan masyarakat terhadap negara.
Administrasi pertanahan Indonesia kini melangkah menuju era “maju dan modern” di mana hak kepemilikan tanah warga dijamin oleh sistem digital yang aman, mudah diakses, dan berstandar dunia.