Tren Quiet Quitting dan Bagaimana ASN Menyikapinya

Fenomena quiet quitting bisa jadi merupakan bentuk perlawanan terhadap tren “hustle culture” yang sempat mendunia seiring banyaknya kisah orang-orang gila kerja yang sukses di berbagai bidang di belahan dunia.
Ilustrasi belakangan ini sedang marak tren quiet quitting menghinggapi para karyawan atau pekerja. Foto linkedin.com/pulse/5-signs-quiet-quitting-how-employers-can-prevent-fernandez/
Ilustrasi belakangan ini sedang marak tren quiet quitting menghinggapi para karyawan atau pekerja. Foto linkedin.com/pulse/5-signs-quiet-quitting-how-employers-can-prevent-fernandez/

Belakangan ini sedang marak tren quiet quitting menghinggapi para karyawan atau pekerja. Jika kita cermati khususnya di media sosial, ada banyak Gen Z dan Milenial yang saat ini telah membagikan pembahasan mengenai ini.

Quiet quitting sendiri adalah fenomena di mana seorang karyawan berperilaku “seadanya” dalam melakukan pekerjaan dengan target batas minimum dan tidak mengusahakan lebih banyak waktu, tenaga, atau antusiasme dari yang benar-benar diperlukan.

Fenomena quiet quitting bisa jadi merupakan bentuk perlawanan terhadap tren “hustle culture” yang sempat mendunia seiring banyaknya kisah orang-orang gila kerja yang sukses di berbagai bidang di belahan dunia. Meraih kesuksesan dengan menerapkan “hustle culture” ternyata tidak semudah yang dibayangkan, justru akhirnya menimbulkan berbagai keluhan baik fisik maupun mental. Sehingga kemudian muncul skepticism yang berujung pada munculnya tren quiet quitting.

Lalu bagaimana seharusnya seorang ASN (Aparatur Sipil Negara) menyikapi tren tersebut?

Kemunculan Tren Quiet Quitting

Sejak ramainya peralihan dunia ke era disruptif, serta semakin maraknya penggunaan media sosial, munculah berbagai kisah-kisah sukses dari berbagai orang di berbagai bidang yang dibagikan dan menginspirasi akhirnya banyak orang.

Kita mungkin juga pernah membaca sekilas kisah sukses orang-orang seperti Bill Gates, Warren Buffett, Jeff Bezos, Jack Ma, Mark Zuckerberg, dan yang lainnya. Kisah-kisah tersebut kemudian memicu orang-orang untuk lebih giat bekerja dan akhirnya memunculkan trend “hustle culture” atau gila kerja (workaholic) demi meraih kesuksesan.

Namun faktanya, sekedar gila kerja saja tidak mudah untuk mendatangkan kesuksesan. Sehingga muncul skepticism terhadap hustle culture bahwa untuk meraih kesuksesan besar tidak semudah sekedar gila kerja saja. Apalagi setelah terungkap adanya privilege yang dimiliki oleh sebagian orang sukses tersebut semakin membuat orang ragu. Alhasil, sukses tak dapat diraih, yang ada fenomena hustle culture justru menimbulkan gangguan pada kesehatan fisik dan mental banyak orang.

Pandemi Covid-19 yang menuntut orang untuk tetap bekerja dari rumah, semakin mengaburkan batas-batas antara dunia pekerjaan dan kehidupan pribadi. Apalagi jika diiringi peningkatan beban kerja melebihi yang seharusnya. Kurangnya apresiasi terhadap pekerjaan yang diselesaikan, juga membuat sebagian orang akhirnya merasa kurang dihargai. Kondisi-kondisi inilah yang kemudian memicu munculnya sikap quiet quitting, bekerja “seadanya” tanpa keinginan untuk memberikan lebih banyak waktu, tenaga, atau antusiasme dalam pekerjaan.

Dilansir dari website djkn.kemenkeu.go.id, berikut ini merupakan tanda-tanda seseorang yang mulai melakukan perilaku quiet quitting:

1. Tidak bersedia melakukan pekerjaan di luar pekerjaan utama;

2. Pulang kerja tepat waktu dan menghindari overtime;

3. Bekerja sesuai porsinya;

4. Tidak mau berurusan dengan pekerjaan atau menjawab pertanyaan seputar kewajiban kerja di waktu libur;

5. Hilang minat untuk menjadi karyawan berprestasi di perusahaan;

6. Pasif saat meeting atau diskusi tertentu terkait pekerjaan; dan

7. Jarang mengikuti acara  yang diselenggarakan perusahaan.

Bagaimana Seorang ASN Menyikapi Tren Quiet Quitting

Fenomena quiet quitting muncul dan menjadi populer di media sosial pada 2022. Popularitas quiet quitting meningkat setelah kemunculan video Tiktok dari Bryan Creely, seorang Career Coach. Jauh sebelum itu, pada 2009, seorang ekonom Amerika yang bernama Mark Bolger pernah membahasnya pada Texas A&M Economic Symposium. Ia menggambarkan kondisi demotivasi kerja para buruh di Amerika Selatan yang tidak lagi melihat kesamaan visi dengan sistem ekonomi dan manajemen yang dijalankan oleh perusahaan. Kondisi yang mirip juga merebak di China pada medio 2011 dengan istilah “Tang Ping” yang berarti berbaring datar.

Fenomena ketidakpuasan kerja dan demotivasi kerja tersebut muncul sebagai bentuk protes para pekerja muda atas kondisi mereka yang merasa jenuh dengan tuntutan jam kerja yang tinggi. Kondisi tersebut membuat mereka merasa tidak menemukan work-life balance. Sebab, pimpinan perusahaan meminta lebih dari apa yang sudah menjadi kesepakatan kerja mereka. Di sisi lain, mereka tidak ingin keluar dari pekerjaannya karena masih membutuhkan gaji, tetapi tidak mau untuk bekerja lebih keras lagi.

Dari gambaran di atas, dapat dipahami bahwa tren quiet quitting awalnya muncul di kalangan para pekerja perusahaan, yang sifatnya oportunistik, sehingga segalanya selalu dihitung berdasarkan untung rugi, you get what you give. Setiap menit yang diberikan, dan setiap hasil pekerjaan, selalu dinilai dengan upah berupa materi. Pandangan ini tidak sepenuhnya salah, sebab itu adalah hak setiap pekerja untuk mendapatkan upah atas setiap pekerjaan yang dilakukan. Namun, tepatkah apabila seorang ASN menjadi seorang quiet quitting?

Ada perbedaan mendasar antara menjadi seorang karyawan perusahaan dengan menjadi seorang ASN. Menjadi seorang ASN, selayaknya tidak semata-mata dilandasi motivasi untuk mencari uang. Namun lebih dari itu, seorang ASN sepatutnya juga memiliki motivasi pengabdian. Core business suatu perusahaan sudah barang tentu adalah mencari keuntungan dalam bentuk materi. Namun, core business lembaga negara maupun lembaga pemerintahan, adalah pelayanan kepada masyarakat. Maka sudah sepatutnya pula, ASN yang menjalankan roda instansi negara maupun pemerintah juga berorientasi pada pelayanan masyarakat tersebut.

Ada nilai lebih dari menjadi seorang ASN, yang tidak ada pada karyawan perusahaan. Nilai lebih tersebut tidak berbentuk materi berupa uang, tapi berbentuk kepuasan psikologis dan spiritual karena dapat membantu melayani masyarakat. Hal inilah yang menjadi nilai dasar serta komitmen dan integritas moral untuk bertanggung jawab pada pelayanan publik yang terkandung dalam prinsip-prinsip seorang ASN. Sehingga sudah sepatutnya seorang ASN menghindari diri untuk menjadi seorang quiet quitting.

Apa yang Harus Dilakukan?

Tren quiet quitting muncul akibat ketidakpuasan karyawan atau pekerja terhadap apa yang ia dapatkan dari hasil pekerjaannya, baik dalam bentuk kompensasi maupun pengakuan oleh atasan terhadap kinerjanya. Meskipun quiet quitting tidak sepenuhnya salah, namun dapat berdampak negatif terhadap penurunan kinerja organisasi atau lembaga. Oleh sebab itu, untuk menghindari merebaknya tren quiet quitting di kalangan ASN, ada beberapa langkah-langkah yang menurut penulis harus dilakukan.

Yang harus dilakukan oleh seorang ASN:

1. Memperbaiki niat untuk bekerja

Seperti yang penulis uraikan sebelumnya, menjadi seorang ASN tidak sekedar menjadi seorang pekerja/karyawan yang mendapatkan upah atas apa yang dikerjakannya. Menjadi seorang ASN memiliki nilai lebih pada pengabdian kepada Negara dan pelayanan kepada masyarakat.

Oleh sebab itu, kepuasan kerja seorang ASN tidak hanya diukur dari gaji yang didapatkan, apresiasi atasan yang diperoleh, atau promosi yang diraih, namun juga kepuasan psikologis dan spiritual karena mampu melayani masyarakat.

2. Mengambil sikap tengah antara hustle culture dan quiet quitting

Menjadi seseorang yang gila kerja (workaholic) dan menerapkan hustle culture, dapat berdampak buruk pada kesehatan fisik dan mental. Terlebih jika ternyata tidak mendapatkan kompensasi materi dan penghargaan yang diharapkan.

Di sisi lain, menjadi seorang quiet quitting mungkin dapat meningkatkan work-life balance, sehingga menemukan makna kebahagian dalam kehidupan pribadi. Namun, pilihan menjadi seorang quiet quitting juga dapat berdampak buruk terhadap penurunan produktivitas dan kinerja baik pribadi maupun lembaga tempat bekerja.

Oleh sebab itu, menjadi seorang ASN harus mampu memposisikan diri di tengah-tengah antara hustle culture dan quiet quitting. Sehingga work-life balance masih dapat diraih, tanpa mengorbankan produktivitas dan kinerja pribadi maupun lembaga.

3. Memaksimalkan jam kerja yang ditetapkan

Pilihan menjadi seorang ASN menimbulkan konsekuensi untuk terikat dengan jam kerja. Jika ingin mendapatkan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, maka harus bijak dalam mengalokasikan waktu untuk masing-masing kepentingan tersebut.

Gunakan waktu yang tersedia saat jam kerja untuk menyelesaikan pekerjaan. Penulis tahu betul, bahwa beban kerja ASN sangat jarang melebihi jam kerja yang seharusnya. Sering kali banyak waktu tersisa di jam kerja setelah menyelesaikan pekerjaan di hari yang sama.

Oleh sebab itu, gunakan waktu luang tersisa di jam kerja untuk mengerjakan tugas-tugas tambahan yang dapat berdampak positif bagi peningkatan kapasitas, kompetensi, serta produktivitas pribadi yang juga akan meningkatkan kinerja lembaga. 

4. Menyampaikan keluhan pekerjaan kepada atasan

Penulis seringkali membaca serta menyaksikan keluhan yang dibagikan para ASN melalui media sosial, baik dalam bentuk tulisan, atau video yang dikemas secara serius ataupun dengan nuansa satir. Tindakan tersebut tidak sepenuhnya salah, sebab ASN juga manusia yang perlu untuk melepaskan segala tekanan atau rasa stress melalui berbagai media.

Namun, tindakan tersebut senyatanya tidak memberikan solusi konkret. Alangkah lebih baik jika setiap keluhan yang berkaitan dengan pekerjaan disampaikan kepada atasan untuk dipecahkan bersama. Tentu dengan catatan, atasan/pimpinan lembaganya harus mampu berpikiran terbuka dan menyikapinya secara konstruktif.

Yang harus dilakukan oleh Pimpinan Lembaga

1. Rutin mengapresiasi kinerja pegawainya

Fenomena quiet quitting muncul salah satunya karena ada ketidakpuasan terhadap minimnya pengakuan atasan terhadap kinerja pegawai. Manusia membutuhkan pujian dan pengakuan untuk memberikan perasaan positif dan validasi yang menjadi kebutuhan dasar manusia.

Oleh sebab itu, tidak ada salahnya bagi seorang pimpinan lembaga untuk rutin memberikan apresiasi terhadap kerja dan kinerja pegawainya, yang akan berdampak positif dalam mengembangkan rasa percaya diri dan mempererat hubungan sosial di dalam organisasi/lembaga yang dipimpinnya.

2. Memahami dan memberikan solusi atas kesulitan yang dialami pegawainya

Dalam konsep performance management, ada banyak tahap yang harus dilakukan untuk meningkatkan kinerja pegawai. Salah satu yang penting yaitu adanya keterlibatan pegawainya dalam mengukur dan memberikan umpan balik atas setiap performa yang diberikannya.

Jika ada kesulitan yang dialami, baik yang bersifat internal maupun eksternal, maka sudah seharusnya pimpinan lembaga turut memahami dan memberikan solusi. Komunikasi dua arah antara pimpinan dan pegawai akan memperkuat hubungan pekerjaan dan memupuk sense of belonging terhadap pencapaian visi lembaga.

3. Membangun rasa percaya antara pimpinan dan pegawai

Ketika seseorang diberikan tugas untuk mengerjakan sesuatu, tentu ia akan butuh untuk diberikan kepercayaan dalam menyelesaikan pekerjaan tersebut. Perasaan positif dan kepercayaan diri akan berdampak signifikan terhadap penyelesaian pekerjaan. Tentu tanpa mengabaikan pengawasan pimpinan terhadap kinerja pegawainya. Namun pengawasan tersebut dapat dilakukan melalui monitoring dan evaluasi yang dilaksanakan setelah pekerjaan selesai.

4. Menerapkan sistem meritokrasi

Fenomena quiet quitting muncul salah satunya akibat tidak terpenuhinya ekspektasi pegawai terhadap peningkatan kompensasi yang didapatkan. Kompensasi yang dimaksud bisa dalam bentuk materi ataupun promosi.

Dengan menerapkan sistem meritokrasi yang terukur, akan memotivasi setiap pegawai untuk memberikan kinerja terbaiknya, karena ia tahu akan ada dampak yang didapatkan apabila ia bekerja dengan maksimal. Jangan sampai pilihan untuk bekerja “sekuatnya” dan bekerja “seadanya” memberikan dampak yang sama.

5. Selalu melakukan evaluasi kebijakan dan meminta masukan dari pegawai

Dalam konsep performance management, diperlukan adanya evaluasi terhadap setiap kebijakan yang diambil. Evaluasi dilakukan dengan melibatkan pegawai untuk memberikan feedback positif dan konstruktif.

Seperti yang penulis ungkapkan sebelumnya, komunikasi dua arah antara pimpinan dan pegawai akan memperkuat hubungan pekerjaan dan memupuk sense of belonging terhadap pencapaian visi lembaga. Fungsikan jabatan pimpinan sebagai leader, yang me-lead pegawainya, bukan sebagai bos dengan karakter bossy. Perbedaan antara leader dan bos salah satunya ada pada pola komunikasi, di mana leader cenderung menerapkan komunikasi dua arah, dan sebaliknya bos cenderung menerapkan komunikasi satu arah.

Salah satu pakar yang bernama Pattie Ehsaie mengungkapkan, seseorang yang menjadi quiet quitting cenderung tidak akan pernah berhasil di tempat kerjanya. Sebab kemajuan akan diberikan kepada pegawai yang kinerjanya menjamin pula adanya kemajuan bagi lembaga. Oleh sebab itu, penting bagi seorang ASN untuk terus maksimal dalam bekerja dan menghindari pola pikir quiet quitting.

Penulis: Ahmad Rafuan
Editor: Tim MariNews