Hakim Agung Nani Indrawati Ungkap Hal yang Perlu Diwaspadai Hakim dalam Menangani Perkara SLAPP

Anti-SLAPP telah diatur dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Hakim Agung Kamar Perdata Mahkamah Agung Dr. Nani Indrawati, S.H., M.Hum., selaku narasumber dalam kuliah umum di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera pada Rabu (4/6/2025). Foto YouTube Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera.
Hakim Agung Kamar Perdata Mahkamah Agung Dr. Nani Indrawati, S.H., M.Hum., selaku narasumber dalam kuliah umum di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera pada Rabu (4/6/2025). Foto YouTube Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera.

MARINews, Jakarta-Indonesia belum mempunyai suatu undang-undang khusus yang mengatur tentang anti-SLAPP (anti Strategic Lawsuit against Public Participation). Sedangkan per-Juni 2021, sudah ada 31 dari 50 negara bagian di Amerika Serikat yang telah mengatur mengenai anti-SLAPP dalam undang-undangnya.

Hal tersebut disampaikan Hakim Agung Kamar Perdata Mahkamah Agung Dr. Nani Indrawati, S.H., M.Hum., selaku narasumber dalam kuliah umum di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera pada Rabu (4/6).

Kuliah umum bertajuk “Perkembangan Anti-SLAPP dan Pengaturannya dalam Sistem Hukum Indonesia” tersebut, digelar secara daring dengan dimoderatori oleh Marsya Mutmainah Handayani, S.H., LL.M. yang merupakan peneliti Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) dan pengajar STH Indonesia Jentera. 

Dikutip dari kanal YouTube STH Indonesia Jentera, kuliah umum ini merupakan kelas penutup mata kuliah Hukum Lingkungan dan Sumber Daya Alam di STH Indonesia Jentera Tahun Akademik 2024-2025. Kuliah umum yang dimulai pada pukul 16.00 WIB tersebut, membahas anti-SLAPP, sebuah perlindungan hukum terhadap masyarakat yang berpartisipasi dalam memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. 

Nani Indrawati selanjutnya membuka pemaparannya dengan menyebutkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup yang bersifat mengikat, tidak hanya internal untuk para hakim dan internal Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya. Namun, PERMA 1 Tahun 2023 tersebut juga mengikat kepada pihak eksternal dalam hal ini para pihak berperkara dan pihak-pihak terkait lainnya.

PERMA Nomor 1 Tahun 2023, lanjut Nani Indrawati, antara lain mengatur hukum acara pemeriksaan perkara yang terindikasi SLAPP, baik dalam perkara pidana maupun perkara perdata yang memberikan petunjuk untuk hakim, sehingga dapat menjadi payung hukum untuk hakim dalam memeriksa perkara yang diindikasikan SLAPP.

PERMA tersebut merupakan suatu bentuk diskresi yang diberikan oleh negara kepada Mahkamah Agung, untuk membuat suatu peraturan yang belum lengkap atau tidak diatur dalam suatu undang-undang. Dalam hal ini mengenai hukum acara sebagaimana disebutkan dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Apa itu anti-SLAPP?

Berbicara mengenai anti-SLAPP, hal tersebut telah diatur dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Nani Indrawati menyebutkan, pasal itu menjamin perlindungan masyarakat yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, sehingga tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.

“Di Indonesia, SLAPP ini berada dalam dua domain yaitu, domain perdata dan pidana. Dalam PERMA 1 Tahun 2023 disebutkan juga (red: domain) TUN. Namun, hingga saat ini belum ada perkara SLAPP yang ada di peradilan TUN.” jelas Nani Indrawati.

Ketua Umum Badan Perhimpunan Hakim Perempuan Indonesia (BPHPI) itu, kemudian menambahkan, apabila dibandingkan dengan negara-negara lain seperti Amerika Serikat, Kanada dan Australia, SLAPP hanya dikenal di domain perdata. Berbeda halnya dengan di Indonesia dan Thailand yang mengenal SLAPP dalam domain pidana.

Selanjutnya, Nani Indrawati mengutarakan alasan di balik SLAPP yang membuat lengah para hakim dan para penegak hukum yang lain. Hal ini disebabkan, karena SLAPP menggunakan mekanisme peradilan untuk menyerang target/korban dengan maksud untuk membungkam atau mengintimidasi masyarakat atau aktivis lingkungan hidup yang melaksanakan partisipasi masyarakat untuk memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat yang dijamin oleh konstitusi sebagai hak asasi manusia.

“Mengapa menggunakan mekanisme peradilan? Karena SLAPP ini tidak mudah dideteksi apalagi di awal berkas masuk. Berkas ini masuk, tidak dapat dideteksi bahwa apa yang digugat oleh penggugat maupun dalam perkara pidana. Apa yang menjadi dakwaan penuntut umum ini, tidak terang benderang, merupakan bagian dari lingkungan hidup.” ungkap Nani Indrawati yang pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Palangka Raya tersebut.

Dalam perkara pidana, ia mengungkapkan, lebih mudah dideteksi jika Wakil Ketua Pengadilan Negeri, yang biasanya membagi perkara pidana, membaca berkas perkara di dalam BAP keterangan tersangka. 

“Pasti diuraikan dalam BAP itu, jika tersangka/terdakwa melakukannya karena sedang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat,” ujarnya.

Oleh karena itu, lanjut Nani Indrawati, Mahkamah Agung mempunyai suatu kebijakan, perkara lingkungan hidup hanya dapat ditangani oleh hakim yang telah bersertifikasi lingkungan. Kecuali, di pengadilan itu tidak ada satupun hakim yang bersertifikasi lingkungan. Tujuannya, agar hakim lebih mudah mendeteksi kasus yang terindikasi SLAPP.

Hal ini menurutnya, karena hakim kerap hanya berfokus pada pemeriksaan mengenai hal yang didalilkan oleh penggugat yaitu hal yang dilanggar oleh tergugat atau pada pasal yang didakwakan oleh penuntut umum dalam perkara pidana.

“Tanpa melihat ada benang merah, bahwa apa yang telah dilakukan oleh tergugat/terdakwa itu adalah bentuk perjuangan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.” imbuh Nani Indrawati di tengah pemaparannya.

Anti-SLAPP di Berbagai Negara dan Hal yang Perlu Diwaspadai oleh Hakim

Selanjutnya, Nani Indrawati menjelaskan perkembangan pada beberapa negara yang mengatur secara detail, baik dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup atau dalam undang-undang hukum acara perdatanya. Pada Indonesia, Thailand dan Filipina, anti-SLAPP diatur khusus pada perkara lingkungan hidup. 

Marsya Mutmainah Handayani kemudian menyambung apa yang Hakim Agung Kamar Perdata tersebut sampaikan, bahwa saat ini, sejumlah 38 negara bagian di Amerika Serikat telah mengatur mengenai anti-SLAPP dalam undang-undangnya.

“Sedangkan di negara asal SLAPP itu sendiri yaitu di Amerika, SLAPP tidak hanya untuk masalah lingkungan hidup saja, tetapi termasuk masalah HAM, bisnis, persaingan usaha dan sebagainya, yang kemudian jika ada perlawanan maka disidangkan dengan prosedur SLAPP tadi.” ungkap Hakim Agung yang dilantik pada Agustus 2022 itu.

Ia kemudian mengingatkan, pihak yang mengeklaim sebagai pejuang lingkungan hidup,  tidak secara serta merta mendapat perlindungan. Mengapa? Nani Indrawati menjabarkan, harus diwaspadai bahwa yang mengeklaim dirinya sebagai pejuang lingkungan dapat dimungkinkan mempunyai motivasi yang lain. Misalnya, untuk keperluan mendapatkan uang. Begitu juga, jika ditunggangi oleh pelaku usaha pesaing yang menggunakan LSM lingkungan hidup atau orang perorangan karena ada maksud-maksud tertentu.

Nani Indrawati kemudian menjelaskan pedoman yang termuat dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2023, dalam hal terdakwa dan/atau penasihat hukum dapat membuktikan terdakwa adalah pejuang atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, setelah mendengar tanggapan dari penuntut umum,hakim mengambil putusan akhir yang amarnya menyatakan penuntutan penuntut umum tidak dapat diterima tanpa harus memeriksa pokok perkara.

Selanjutnya, apabila dalam pemeriksaan pokok perkara ternyata terbukti bahwa dakwaan penuntut umum merupakan pelanggaran terhadap Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dakwaan tidak dapat diterima.

“Dalam hal setelah memeriksa pokok perkara, hakim menyimpulkan bahwa perbuatan yang didakwakan penuntut umum terbukti, tetapi terdakwa terbukti pula sebagai pejuang hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, hakim menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum.” jelas Hakim Agung itu.

Pada akhir pemaparannya, Nani Indrawati mengungkapkan, meskipun Mahkamah Agung telah mengatur hukum acara anti-SLAPP dalam sebuah Peraturan Mahkamah Agung, namun undang-undang yang mengatur hal tersebut tetap diperlukan.

“Sangat berharap, Komisi III DPR RI memasukkan ketentuan anti-SLAPP tersebut dalam RUU Hukum Acara Perdata dan Pidana atau melakukan amandemen terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.” tutup Nani Indrawati pada akhir pemaparannya.

Kuliah umum yang berlangsung hampir selama 120 menit tersebut kemudian ditutup dengan sesi tanya jawab dari para peserta kepada narasumber. Para peserta kuliah umum aktif berinteraksi dengan Nani Indrawati mengenai implementasi anti-SLAPP dalam proses peradilan di Indonesia.

Penulis: Nadia Yurisa Adila
Editor: Tim MariNews
Copy