Catatan Penting Pelatihan Financial Counter Terrorism Academic Curriculum Edition for Judges from South East Asia

Beberapa Catatan Penting dalam Pelatihan Financial Counter Terrorism Academic Curriculum (FIN TJ CTAC) Edition for Judges from South East Asia
Hakim Ranto Sabungan Silalahi, Hakim PN. Jakarta Utara sebagai Pembicara mewakili Mahkamah Agung Republik Indonesia. Foto : Dokumentasi penulis
Hakim Ranto Sabungan Silalahi, Hakim PN. Jakarta Utara sebagai Pembicara mewakili Mahkamah Agung Republik Indonesia. Foto : Dokumentasi penulis

Pada 15–19 September 2025, tiga Hakim mewakili Mahkamah Agung Republik Indonesia mengikuti pelatihan offline terkait Pendanaan Teroris yang diselenggarakan oleh Lembaga Internasional IIJ (The International Institute for Justice and the Rule of Law), yang berpusat di Negara Malta, dan salah satu kantor cabangnya berada di Manila, Filipina.

Tiga hakim itu, yaitu Dr. Hj. Syofia Marlianti Tambunan, S.H., M.H. (Hakim PN Jakarta Timur), Riya Novita, S.H., M.H. (Hakim PN Jakarta Barat), dan Ranto Sabungan S., S.H., M.H., LLM (Hakim PN Jakarta Utara).

Ranto Sabungan S. mewakili delegasi dari Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagai pembicara dan moderator dalam beberapa sesi dari hari pertama sampai dengan hari terakhir.

Pembicara lainnya ialah Ms. Kirsty Brimelow, KC (Senior Barrister dari Negara Inggris dan kadang menjadi part-time Crown Court Judge).

Rangkaian acara menjadi seru dan penuh warna dengan difasilitasi oleh Mr. Naoufel Gaied, Director IIJ Academic Unit; Ms. Rachel Simon Rushby, pernah menjadi praktisi hukum di Negara Inggris dan saat ini sebagai peneliti di IIJ yang berpusat di Negara Malta; serta Ms. Prima Quinsayas, mantan Penuntut Umum di Negara Filipina yang saat ini menjadi anggota akademik IIJ.

Beberapa catatan menarik untuk dibahas sebagai bahan perbandingan hukum dan untuk kemajuan Lembaga Peradilan Negara Indonesia yang akan Penulis uraikan sebagai berikut.

Terdapat lima yurisdiksi yang mengikuti Pelatihan Financial Counter-Terrorism Academic Curriculum (FIN TJ CTAC) Edition for Judges from South East Asia (Pelatihan Pendanaan Counter Teroris Kurikulum Akademik untuk Hakim-Hakim Asia Tenggara), yang terdiri dari dua peserta (Kamboja), empat peserta (Thailand), tujuh peserta (Filipina), tiga peserta (Malaysia), dan tiga peserta (Indonesia).

Tiap yurisdiksi memiliki keunikannya masing-masing di dalam penegakan hukum terhadap pendanaan teroris yang secara garis besar dipaparkan sebagai berikut:

Kamboja

Termasuk negara dengan sistem Civil Law Eropa Kontinental yang diwariskan sebagai bekas negara jajahan Prancis.

Lembaga Peradilan Kamboja termasuk negara yang menerapkan prinsip Inquisitorial, atau hakim yang aktif di dalam pembuktian perkara.

Di dalam persidangan perkara pidana untuk tingkat pertama dikenal dua tahapan, yaitu pertama Hakim Investigative (untuk tahap investigasi)/Investigative Judge dan kedua, Hakim persidangan yang menyidangkan kasus setelah dari tahap investigasi)/Trial Judge.

Ketika hakim bertugas sebagai Investigative Judge, yang bersangkutan tidak akan bertindak sebagai Trial Judge untuk perkara tersebut.

Dalam sistem hukum Kamboja, sepanjang terkait Hak Asasi Manusia, apa pun konvensi hukum internasional akan otomatis dianggap berlaku dalam sistem hukum nasional Kamboja.

Sistem hukum Kamboja mengenal instrumen plea bargain, artinya hakim tidak perlu menyidangkan dari awal sampai akhir untuk membuktikan perkara yang bersangkutan sepanjang terdakwa mengaku bersalah.

Lembaga peradilan Kamboja memiliki sejumlah catatan penting dalam penanganan tindak pidana pendanaan teroris yang didukung oleh kerangka hukum nasional dan internasional.

Sejak 27 Juni 2020, Kamboja memberlakukan Undang-Undang tentang Anti Pencucian Uang dan Pemberantasan Pendanaan Teroris (Law on Anti-Money Laundering and Combating the Financing of Terrorism/AML-CFT Law 2020).

Regulasi ini diterapkan bersama Undang-Undang Pemberantasan Teroris Tahun 2007 yang telah lebih dahulu mengkriminalisasi tindak terorisme, termasuk pendanaan teroris, pengaturan ekstradisi, pembekuan aset, serta penyitaan. Selain itu, Undang-Undang Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Perkara Pidana Tahun 2020 juga menjadi dasar kerja sama dengan lembaga peradilan asing dalam penyidikan kasus terorisme.

Peraturan perundang-undangan Kamboja turut mengakomodasi ketentuan internasional, termasuk Resolusi Dewan Keamanan PBB dan berbagai konvensi PBB, khususnya yang berkaitan dengan kewajiban pembekuan dan penyitaan aset teroris.

Dalam implementasinya, Unit Intelijen Keuangan Kamboja atau Cambodian Financial Intelligence Unit (CAFIU) berperan sebagai aktor utama yang memimpin upaya nasional dalam penanggulangan pendanaan teroris, sementara Kementerian Kehakiman berfungsi sebagai otoritas pusat untuk permintaan bantuan hukum timbal balik.

Proses penyidikan banyak didukung oleh analisis intelijen keuangan yang bersifat rahasia dari CAFIU, yang menjadi sumber utama alat bukti dalam berbagai perkara di pengadilan.

Meski demikian, penanganan tindak pidana pendanaan teroris di Kamboja masih menghadapi sejumlah tantangan.

Sistem keuangan yang masih didominasi transaksi tunai, ditambah dengan penggunaan mata uang dolar Amerika Serikat yang luas, memudahkan perpindahan dana melalui kurir. Banyak perkara bergantung pada penyitaan uang tunai dan kesaksian terkait transfer dana tidak resmi.

Selain itu, sektor kasino dan perumahan kerap muncul dalam perkara pencucian uang, meskipun tidak selalu berkaitan langsung dengan pendanaan teroris, tetap membuka peluang penyamaran aset. Kondisi ini menyulitkan hakim dalam mengidentifikasi asal-usul kekayaan terdakwa. Risiko serupa juga ditemukan pada sektor organisasi nirlaba yang berpotensi disalahgunakan melalui kedok kegiatan keagamaan atau sosial.

Tantangan lainnya muncul dari perkembangan aset virtual dan sistem pembayaran elektronik yang semakin marak. Teknologi ini meningkatkan kompleksitas pelacakan transaksi, terutama yang berbasis blockchain.

Aspek lintas batas negara juga menjadi perhatian serius, mengingat banyak kasus pendanaan teroris melibatkan jaringan internasional seperti Jemaah Islamiyah dan Cambodian Freedom Fighters (CFF), sehingga memerlukan kerja sama hukum internasional dan penetapan pengadilan terkait penyitaan aset lintas yurisdiksi.

Beberapa kasus menonjol mencerminkan dinamika tersebut. Pada 2003, pengadilan menangani perkara sel Jemaah Islamiyah yang melibatkan sebuah sekolah Islam lokal di Phnom Penh, di mana dana amal pendidikan disalahgunakan sebagai kedok pendanaan teroris.

Sementara itu, kasus Cambodian Freedom Fighters pada 2000 menunjukkan pola pendanaan lintas negara, ketika diaspora Kamboja di Amerika Serikat menggalang dana untuk serangan bersenjata di Phnom Penh.

Pengadilan di Amerika Serikat kemudian menjatuhkan hukuman kepada pimpinan kelompok tersebut, menegaskan pertanggungjawaban pidana atas pendanaan teroris lintas batas negara.

Thailand

Lembaga peradilan Thailand beroperasi dalam sistem hukum Civil Law Eropa Kontinental dan menerapkan prinsip adversarial, di mana hakim bersikap pasif dalam proses pembuktian dan para pihak yang bersengketa memegang peran utama dalam menghadirkan bukti.

Sistem hukum Thailand juga mengenal instrumen plea bargain, yang memungkinkan hakim tidak perlu memeriksa perkara dari awal hingga akhir apabila terdakwa telah mengakui kesalahannya. Mekanisme ini dinilai dapat mempercepat penyelesaian perkara pidana, termasuk kasus-kasus yang berkaitan dengan pendanaan teroris.

Dalam penegakan hukum terkait tindak pidana pendanaan teroris, Thailand mengandalkan sejumlah kerangka peraturan perundang-undangan, antara lain Undang-Undang Anti Terorisme, Undang-Undang Anti Pencucian Uang Tahun 1999, serta Undang-Undang Penanggulangan Pendanaan Teroris dan Pengembangan Senjata Pemusnah Massal Tahun 2016.

Regulasi tersebut menjadi dasar hukum utama dalam menindak kejahatan keuangan yang berkaitan dengan terorisme. Peran sentral dijalankan oleh Kantor Anti Pencucian Uang (AMLO) sebagai unit intelijen keuangan yang bertugas mengumpulkan dan menganalisis data intelijen, termasuk melalui optimalisasi laporan transaksi mencurigakan atau Suspicious Transaction Reports (STRs).

Sementara itu, Bank Negara Thailand berperan menetapkan kebijakan dan regulasi bagi institusi keuangan serta memastikan kepatuhan sektor keuangan terhadap rezim anti pencucian uang dan pemberantasan pendanaan teroris.

Meski demikian, upaya penanggulangan pendanaan teroris di Thailand menghadapi berbagai tantangan. Pendanaan teroris kerap berkaitan erat dengan tindak pidana asal seperti penyelundupan narkotika dan menggunakan metode pemindahan dana yang semakin canggih.

Pemanfaatan sistem transfer dana tidak resmi, organisasi nirlaba, serta transaksi lintas batas negara turut mendukung aktivitas kejahatan tersebut. Aparat penegak hukum juga dihadapkan pada kesulitan memahami penggunaan platform keuangan digital untuk penggalangan dan transfer dana, termasuk sistem pembayaran daring, platform crowdfunding, dan media sosial.

Selain itu, meningkatnya penggunaan mata uang kripto untuk menyamarkan transaksi menambah kompleksitas dalam pelacakan dan pengaturan instrumen keuangan yang bersifat terdesentralisasi.

Aspek lintas batas negara menjadi perhatian khusus karena pelacakan arus dana yang melintasi yurisdiksi membutuhkan kerja sama internasional dan pertukaran informasi yang intensif. Tantangan ini semakin relevan di sejumlah provinsi perbatasan selatan Thailand yang kerap mengalami tindak kekerasan.

Salah satu perkara yang mencerminkan kompleksitas tersebut adalah kasus pendanaan teroris yang ditangani lembaga peradilan Thailand dengan nomor perkara 3637/2565 pada tahun 2022. Kasus ini menyoroti dugaan pencucian uang yang berpotensi terkait dengan pendanaan teroris serta menegaskan pentingnya interpretasi hakim dalam memahami kompleksitas kejahatan keuangan.

Dalam perkara tersebut, terungkap sejumlah transaksi keuangan yang rumit, termasuk penarikan dana melalui mesin ATM dan berbagai transfer, yang menunjukkan tantangan pembuktian hubungan antara aktivitas keuangan dan pendanaan teroris di Thailand.

Filipina Termasuk negara dengan sistem Hybrid, hal mana dikarenakan negara Filipina sangat dipengaruhi sebagai bekas koloni dari Spanyol (mewariskan hukum materiil), kemudian terakhir dijajah oleh negara Amerika Serikat (mewariskan hukum acara).

Negara Philipina juga menganut asas adversarial. Para pihaklah yang membuktikan.

Oleh karenanya, Filipina termasuk negara yang menganut doktrin stare decisis (mengikuti putusan hakim yang mengikat di atasnya), yang merupakan tipikal negara dengan sistem hukum Common Law.

Hal unik dari Filipina ialah terkait hak tersangka sampai dengan terdakwa yang diatur di dalam Konstitusi Negara.

Ketika menyidangkan perkara pidana, misalnya pendanaan teroris, apabila terdakwanya adalah suatu korporasi, maka untuk pemidanaan berupa pembubaran korporasi tersebut yang menyidangkan adalah pengadilan khusus yang menyidangkan perkara niaga.

Lembaga peradilan Filipina memiliki sejumlah catatan penting dalam penanganan tindak pidana pendanaan teroris yang didukung oleh kerangka hukum yang relatif komprehensif.

Dari sisi regulasi, Filipina memberlakukan Republic Act Nomor 10168 atau Terrorism Financing Prevention and Suppression Act of 2012 (TFPSA) yang secara khusus mengatur pencegahan dan penindakan pendanaan teroris.

Regulasi ini kemudian diperkuat dengan Republic Act Nomor 11479 tentang Anti Terorisme yang disahkan pada 3 Juli 2020, sekaligus menggantikan Human Security Act Tahun 2007, guna menyesuaikan kebijakan nasional dengan dinamika ancaman terorisme yang semakin kompleks.

Dalam pelaksanaannya, Dewan Anti Pencucian Uang Filipina atau Anti-Money Laundering Council (AMLC) berperan sebagai aktor utama dengan kewenangan menerbitkan perintah pembekuan aset dalam rangka pemberantasan tindak pidana terorisme dan pendanaannya.

Upaya ini didukung oleh optimalisasi laporan transaksi mencurigakan atau Suspicious Transaction Reports (STRs) sebagai sumber utama analisis intelijen keuangan. Selain itu, Bank Sentral Filipina (Bangko Sentral ng Pilipinas) telah menerbitkan regulasi terkait Virtual Asset Service Providers (VASPs) guna memitigasi potensi risiko penyalahgunaan mata uang kripto dalam pendanaan teroris.

Meski demikian, penanggulangan pendanaan teroris di Filipina masih menghadapi berbagai tantangan. Sektor bisnis jasa keuangan atau money service business kerap disalahgunakan melalui praktik layering, penggunaan pass-through account, serta pemanfaatan straw senders untuk menyamarkan aliran dana.

Risiko serupa juga ditemukan pada sektor kasino dan judi daring, serta meningkatnya penggunaan mata uang kripto sebagai sarana pendanaan yang sulit dilacak. Di samping itu, lembaga nirlaba tetap menjadi sektor rentan yang berpotensi disalahgunakan untuk menyalurkan dana kepada kelompok teroris.

Aspek lintas batas negara turut memperumit penanganan perkara, khususnya melalui penyalahgunaan uang tunai dan mata uang dalam transaksi lintas yurisdiksi. Sejumlah kasus konkret mencerminkan tantangan tersebut, antara lain perkara Norkisa Omar Asnalul (NOA) yang dijerat Pasal 7 Undang-Undang Tahun 2012 terkait pendanaan teroris, serta kasus Myrna Ajilul Mabanza (MAM) yang terbukti menyediakan informasi pembayaran keuangan untuk pendanaan teroris dari Malaysia kepada kelompok Abu Sayyaf.

Kasus-kasus ini menegaskan pentingnya kerja sama internasional dan penguatan pengawasan keuangan dalam menekan pendanaan terorisme di Filipina.

Malaysia

Lembaga peradilan Malaysia beroperasi dalam tradisi hukum Common Law sebagai warisan sistem hukum Inggris, dengan penerapan doktrin stare decisis yang mewajibkan pengadilan mengikuti putusan hakim yang lebih tinggi.

Dalam hukum acara pidana, Malaysia juga mengenal mekanisme plea bargain, sementara proses persidangan menganut asas adversarial, di mana pembuktian sepenuhnya menjadi tanggung jawab para pihak yang berperkara.

Kerangka ini turut memengaruhi penanganan perkara tindak pidana pendanaan teroris di pengadilan Malaysia.

Dalam aspek regulasi, penegakan hukum pendanaan teroris di Malaysia didasarkan pada Undang-Undang Anti Pencucian Uang, Anti Pendanaan Teroris, dan Hasil dari Kegiatan Melawan Hukum Tahun 2001 atau The Anti-Money Laundering, Anti-Terrorism Financing and Proceeds of Unlawful Activities Act 2001 (AMLA).

Selain itu, ketentuan pidana khusus juga diatur dalam Pasal 130N Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Malaysia yang secara tegas mengkriminalisasi perbuatan terkait pendanaan terorisme.

Dalam implementasinya, Bank Sentral Malaysia (Central Bank of Malaysia) memegang peran penting dengan menerima dan menganalisis Laporan Transaksi Mencurigakan (Suspicious Transaction Reports/STRs) dari lembaga keuangan apabila ditemukan indikasi aktivitas keuangan yang mencurigakan.

Meski telah memiliki perangkat hukum yang memadai, penanggulangan pendanaan teroris di Malaysia masih menghadapi sejumlah tantangan.

Nilai dana atau aset yang digunakan dalam pendanaan teroris kerap relatif kecil dan tersebar, namun dimanfaatkan berulang kali melalui berbagai sektor yang sah sehingga sulit terdeteksi.

Kondisi ini diperparah dengan beragamnya sektor yang berpotensi disalahgunakan untuk tujuan pendanaan teroris.

Dari sisi lintas batas negara, posisi Malaysia sebagai pusat perdagangan dan perantara keuangan yang strategis menjadikannya rentan dimanfaatkan sebagai hub atau transit dalam aktivitas keuangan berisiko tinggi.

Sifat pendanaan teroris yang melintasi yurisdiksi negara juga menimbulkan tantangan tersendiri dalam proses identifikasi dan pembuktian.

Sejumlah kasus konkret mencerminkan dinamika tersebut. Dalam perkara Penuntut Umum melawan Danny Jedi pada tahun 2018, terdakwa yang merupakan saudara dari pimpinan milisi di Suriah mengaku bersalah karena menerima setoran dana ke rekening Maybank miliknya setelah mendapat instruksi melalui aplikasi WhatsApp.

Dana tersebut kemudian disalurkan kepada sejumlah pihak di Irak melalui jasa Western Union, dengan imbalan antara 100 hingga 300 Ringgit Malaysia per transaksi.

Total dana yang diterima terdakwa mencapai 12.300 Ringgit Malaysia.

Pada tingkat pertama, terdakwa dijatuhi hukuman empat tahun penjara, namun setelah Penuntut Umum mengajukan banding, Mahkamah Banding meningkatkan hukuman menjadi delapan tahun.

Kasus serupa juga terjadi dalam perkara Penuntut Umum melawan Firdaus Asren pada tahun 2019, di mana terdakwa didakwa atas enam pelanggaran Pasal 130N dan mengaku bersalah.

Pengadilan tingkat pertama menjatuhkan hukuman delapan tahun penjara, yang kemudian diperberat menjadi sepuluh tahun oleh Mahkamah Banding setelah Penuntut Umum mengajukan banding.

Termasuk negara dengan tradisi Common Law, oleh karena bekas jajahan dari Negara Inggris yang menganut doktrin stare decisis (mengikuti putusan hakim yang mengikat di atasnya).

Dalam hukum acara pidana yang berlaku, dikenal pula mekanisme plea bargain. Persidangan pidana menganut asas adversarial, artinya para pihak yang bersengketa saja yang membuktikan.

Di dalam pelatihan terdapat beberapa aspek hukum yang menarik dibahas dan didiskusikan, seperti kejahatan di Metaverse, serta pengamanan terhadap hakim dalam melaksanakan tugas di beberapa yurisdiksi peserta.

Pada intinya, terkait persidangan pendanaan teroris, para peserta diharapkan dapat meningkatkan pemahaman tentang:

  1. Tren terkini dan tantangan terkait pendanaan teroris, termasuk mata uang kripto dan perkembangan teknologi;
  2. Standar internasional dan praktik terbaik, termasuk yang telah dikembangkan oleh FATF (Financial Action Task Force);
  3. Kesadaran akan pertimbangan hak asasi manusia, terutama penggunaan teknik investigasi khusus, penerimaan, dan pembukaan barang bukti;
  4. Penerapan prosedur manajemen perkara yang efisien untuk mengurangi keterlambatan perkara;
  5. Meningkatkan hubungan dan kerja sama internasional.
Makan Malam bersama seluruh peserta dan penyelenggara IIJ. Foto : Dokumentasi penulis

Pada setiap sesi terdapat diskusi yang menarik dan di beberapa sesi terdapat presentasi dari tiap negara.

Malam sebelum penutupan, seluruh peserta dan panitia menikmati makanan seafood khas Indonesia.

Bahkan setelah selesai santap malam bersama, para peserta menyanyi dan menari bersama, menambah keceriaan dan keakraban di malam itu.

Pada 19 September 2025, dilaksanakan acara Penutupan di mana dihadiri oleh pihak Kementerian Luar Negeri RI dan pihak IIJ sebagai penyelenggara, di mana para peserta resmi dinyatakan lulus dan menjadi Alumni IIJ.

Hakim Ranto Sabungan Silalahi memberikan pidato closing remarks. Foto : Dokumentasi penulis

Last but not least, Penulis dan segenap delegasi mengucapkan Terima Kasih kepada Yang Mulia Bapak Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia beserta pimpinan Mahkamah Agung atas amanah penugasan berikut dukungan yang telah diberikan dalam pelatihan ini.

Pelajaran yang didapat, selain memperdalam pemahaman aspek hukum internasional yang terkait tindak pidana pendanaan teroris dan pencucian uang, pelatihan ini diharapkan dapat memperkuat hubungan dan kerja sama para hakim yang mewakili beberapa negara ASEAN, dan pada gilirannya diharapkan memperkuat kerja sama antarnegara di kawasan ASEAN.