Yurisprudensi: Motor Pembaruan Hukum Administrasi di Indonesia

Yurisprudensi hadir sebagai instrumen penting dalam membangun hukum administrasi negara yang dinamis. Di Indonesia, ia bukan hanya pengisi kekosongan hukum, tetapi juga sarana menjaga kepastian dan kesatuan hukum.
Ilustrasi yurisprudensi  diambil dari Google
Ilustrasi yurisprudensi diambil dari Google

Yurisprudensi dalam hukum administrasi negara memiliki peran penting sebagai sumber hukum yang mampu membentuk dan mengembangkan sistem peradilan.

Prancis mencatat sejarah penting dalam perkembangan hukum administrasi melalui putusan Tribunal des Conflits pada 8 Februari 1873, yang dikenal sebagai Arret Blanco. Putusan ini muncul dari perkara ganti rugi akibat kecelakaan yang melibatkan kendaraan dinas pemerintah saat menjalankan tugas kedinasan.

Dalam putusan bersejarah tersebut, ditegaskan bahwa sengketa tidak menjadi kewenangan peradilan perdata, melainkan peradilan administrasi. Lebih jauh, pemerintah dinyatakan bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan, sebuah prinsip yang kemudian dikenal sebagai responsabilité de la puissance publique.

Arret Blanco bukan sekadar penyelesaian kasus biasa, melainkan tonggak penentu dalam membedakan kewenangan mengadili antara peradilan perdata dan peradilan administrasi. Dari sinilah lahir tradisi Droit Administratif yang hingga kini menjadi dasar kuat sistem hukum administrasi di Prancis.

Berbeda dengan tradisi Civil Law, negara Common Law seperti Inggris yang tumbuh tanpa kodifikasi membangun Administrative Law melalui judge made law dan judicial precedents.
Pandangan awal Dicey yang menolak Droit Administratif akhirnya bergeser. Puncaknya terlihat pada 1971 saat Lord Denning dalam perkara Breen v. A.E.U. membuka ruang bagi pengakuan prinsip hukum administrasi.

Sejak saat itu, peradilan di Inggris kian mengambil peran penting dalam merumuskan kaidah hukum administrasi, meski sistem peradilannya tidak memisahkan antara peradilan administrasi dan peradilan umum sebagaimana berlaku di Prancis.

Pengalaman berbagai negara tersebut menunjukkan bahwa yurisprudensi memiliki posisi strategis dalam membentuk hukum administrasi. Begitupun di Indonesia sejak berdirinya PTUN pada 14 Januari 1991, sengketa tata usaha negara ditangani oleh lembaga khusus yang terpisah dari peradilan umum, dengan Mahkamah Agung sebagai puncak peradilan dan penjaga kesatuan hukum.

Putusan-putusan Mahkamah Agung telah menjadi pengisi kekosongan hukum sekaligus pendorong lahirnya kaidah baru dalam hukum administrasi negara. Misalnya, perluasan tenggang waktu pengajuan gugatan bagi pihak ketiga, penerapan penangguhan keputusan tata usaha negara demi melindungi kepentingan masyarakat, mengedepankan keadilan substantif.

Selain itu, penerimaan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB) mulai diperkuat melalui yurisprudensi, sehingga asas kecermatan, kepastian hukum, dan kesamaan perlakuan dapat menjadi tolok ukur keabsahan keputusan pejabat negara.

Tidak jarang pula yurisprudensi menjadi penentu dalam sengketa kewenangan mengadili antara peradilan umum dan peradilan TUN. Karena itu, peran Mahkamah Agung sangat krusial untuk memberikan garis tegas melalui putusan yang konsisten agar tidak terjadi perbedaan tafsir antarperadilan.

Seiring perjalanan waktu, jumlah putusan Mahkamah Agung terus bertambah dan semakin memberi corak pada perkembangan hukum administrasi Indonesia. Putusan-putusan ini membuktikan bahwa hakim bukan sekedar corong undang-undang, tetapi juga pembentuk hukum yang mampu menentukan arah perkembangan hukum ke depan.

Yurisprudensi hadir sebagai instrumen penting dalam membangun hukum administrasi negara yang dinamis. Di Indonesia, ia bukan hanya pengisi kekosongan hukum, tetapi juga sarana menjaga kepastian dan kesatuan hukum.

Penulis: Karissa Fidelia
Editor: Tim MariNews