Namanya ditakuti para koruptor perampok uang negara dan dihormati seluruh rakyat Indonesia. Bahkan tidak sedikit mahasiswa fakultas hukum mengidolai dan bermimpi menjadi seorang hakim yang tegas serta berani seperti dirinya.
Beliau adalah Dr. Artidjo Alkostar, S.H., LLM., seorang pendekar hukum berdarah Madura. Mantan Hakim Agung sekaligus Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung RI ini, telah berpulang empat tahun lalu di usia 72 tahun, tepatnya pada 28 Februari 2021.
Wafatnya Artidjo Alkostar ditangisi rakyat, begitupun cerita hidupnya layak untuk dipelajari dan dipedomani praktisi hukum, akademisi dan aktivis antikorupsi.
Sosok sederhana tersebut lahir di Situbondo, Jawa Timur pada 22 Mei 1948. Menempuh pendidikan jenjang sarjana di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia dan lulus pada 1976. Selain itu, meraih gelar Master of Law pada Northwestern University, Chicago Amerika Serikat pada 2002 dan memperoleh gelar Doktor Ilmu Hukum dari Undip, Semarang pada 2007.
Setelah memperoleh gelar sarjana, Artidjo Alkostar sempat menjadi dosen di almamaternya pada 1976. Mimpinya sejak kecil menjadi penegak hukum yang memberikan keadilan di tengah-tengah masyarakat, membawanya menjadi pekerja dan pengabdi bantuan hukum di LBH Yogyakarta pada 1981.
Selanjutnya dipercaya memimpin LBH Yogyakarta sebagai wakil direktur, sejak 1981 sampai dengan 1983. Loyalitas dan totalitasnya sebagai pengacara pro bono, membuat dirinya dipercaya menjadi Direktur LBH Yogyakarta masa khidmat 1983 sampai dengan 1989.
Sepak terjangnya sebagai pengacara pro bono, tidak luput membawanya dari advokasi sosial dan melindungi hak asasi manusia. Mendalami penegakan HAM, menjadikan Artidjo Alkostar sebagai peneliti Human Rights Watch Wilayah Asia, di New York Amerika Serikat selama dua tahun.
Selama menjadi advokat dan aktivis HAM, Artidjo Alkostar ikut menangani kasus atau menjadi pembela perkara yang menarik perhatian masyarakat seperti penindakan terhadap organisasi Komando Jihad pada 1980, kekerasan dan pembunuhan terhadap massa prokemerdekaan Timor Leste (dahulu Provinsi Timor Timur) di pemakaman Santa Cruz Dili pada 1991, serta peristiwa penculikan dan penembakan misterius kepada masyarakat yang dituduh sebagai gali atau preman di Yogyakarta.
Pada 2000, Artidjo Alkostar terpilih sebagai salah seorang Hakim Agung RI. Dalam karirnya sebagai Hakim Agung, Artidjo Alkostar telah menyelesaikan 19.708 perkara. Adapun untuk perkara korupsi telah diadilinya sejumlah 842 perkara, yang mana tidak sedikit koruptor hukumannya diperberat oleh Artidjo Alkostar.
Di balik sosoknya yang bersahaja, pribadinya ditakuti oleh koruptor. Ambil contoh Artidjo Alkostar dengan didampingi oleh Prof. Dr. Krisna Harahap, S.H., M.H. dan Dr. H. Surachmin, S.H., M.H. adalah Majelis Hakim Perkara Kasasi Nomor 336 K/Pid.Sus/2015 yang telah menolak permohonan kasasi Akil Mochtar, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi RI. Sehingga Akil Mochtar tetap divonis seumur hidup oleh Majelis Hakim Tingkat Kasasi yang diketuai Artidjo Alkostar tersebut, sebagaimana putusan pengadilan tipikor tingkat pertama dan banding.
Artidjo Alkostar bersama M.S. Lumme, S.H. dan Prof. Dr. Krisna Harahap, S.H., M.H. pernah menambah serta meninggikan vonis terhadap Anas Urbaningrum, Ketua Umum Partai Demokrat. Hukuman terhadap Anas Urbaningrum menjadi 14 tahun penjara sebagaimana Putusan Nomor 1261 K/Pid.Sus/2015. Sebelumnya oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat, Anas Urbaningrum dinyatakan melakukan tindak pidana korupsi dan dihukum selama 8 tahun penjara.
Selain itu, Artidjo Alkostar pernah bersama-sama dengan Prof. Dr. Mohammad Askin, S.H. dan M.S. Lumme, S.H. meningkatkan hukuman penjara mantan anggota DPR RI sekaligus Presiden Partai Keadilan Sejahtera, Luthfi Hasan Ishaaq, pada pemeriksaan tingkat Kasasi. Sebelumnya Luthfi Hasan dihukum penjara selama 16 tahun karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi dalam pengadaan kuota impor daging sapi serta pencucian uang. Kemudian Majelis Hakim tingkat Kasasi yang dipimpin Artidjo Alkostar menghukumnya menjadi 18 tahun penjara sebagaimana Putusan Kasasi Nomor 1195 K/Pid.Sus/2014.
Saat hari terakhir menjelang purnabakti sebagai hakim, Artidjo Alkostar memberikan tiga wejangan kepada para hakim di Indonesia yakni pertama, hakim wajib memiliki pengetahuan yang luas dan dapat memberikan pertimbangan hukum yang baik dalam menjatuhkan putusan. Kedua, hakim wajib memiliki keahlian dan kemampuan teknis menerapkan hukum dan pesan ketiga, hakim wajib menjaga integritas baik saat bertugas atau di luar kedinasan.
Purnabakti menjadi Hakim Agung, Artidjo Alkostar sempat menjadi Dewan Penasihat Lembaga Anti Rasuah (KPK RI) untuk masa bakti 2019-2023. Dapat kita saksikan bersama, di penghujung karirnya masyarakat masih dapat melihat dedikasinya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dan penegakan hukum di Indonesia.
Semoga semakin banyak pendekar hukum, khususnya hakim yang lahir dari semangat Artidjo Alkostar, guna memberikan rasa keadilan di tengah-tengah masyarakat Indonesia.