MARINews, Jakarta-Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia kembali menggelar bimbingan teknis (bimtek) secara daring mengenai penanganan kelompok rentan berhadapan dengan hukum pada Jumat, (8 /8). Kegiatan ini diikuti oleh seluruh tenaga teknis di lingkungan Peradilan Agama MA RI.
Materi utama bimtek disampaikan oleh Ketua Kamar Agama Mahkamah Agung RI periode 2017–2024 Prof. Dr. H. Amran Suadi, S.H., M.Hum., M.M. Tema yang diangkat adalah pedoman mengadili perkara kaum rentan dalam perkara perdata, yang sangat relevan bagi para hakim dan tenaga teknis di Pengadilan Agama.
Dia menyebut, Pengadilan Agama sering bersinggungan langsung dengan kelompok rentan seperti perempuan, anak, dan penyandang disabilitas. Sengketa hukum keluarga, seperti gugatan cerai gugat akibat kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan sengketa hak asuh anak, memerlukan perhatian khusus dari para hakim.
Untuk itu, penguasaan teknis hukum acara yang berpedoman pada Hak Asasi Manusia (HAM) menjadi sangat penting dengan mengedepankan prinsip utama: kesetaraan, non-diskriminasi, persamaan di hadapan hukum, dan penghargaan harkat serta martabat manusia dalam persidangan.
Prof. Amran menegaskan, kelompok rentan harus mendapatkan perlakuan khusus selama proses persidangan. Berdasarkan Undang-Undang HAM, kelompok rentan adalah individu atau komunitas dengan karakteristik khusus, seperti keterbatasan fisik, kondisi sosial yang kurang menguntungkan, atau hambatan ekonomi, sehingga rentan mengalami diskriminasi, eksploitasi, kekerasan, atau pengabaian hak. Negara wajib memberikan perlakuan khusus dan menjamin akses keadilan yang adil dan bermartabat bagi mereka.
“Majelis Hakim di Pengadilan Agama tidak boleh memeriksa perkara yang bersinggungan dengan kelompok rentan dengan menggunakan komunikasi yang kurang bijak, bias gender, atau budaya patriarki. Komunikasi persidangan harus menjunjung tinggi nilai-nilai HAM, khususnya prinsip kesetaraan dan nondiskriminasi,” tegas Prof. Amran.
Selain itu, Prof. Amran menyoroti pentingnya hakim memperhatikan dampak hukum perceraian secara menyeluruh. Hakim tidak cukup hanya memberikan keadilan prosedural, tetapi harus mengupayakan keadilan substantif. Hakim memiliki kewenangan ex officio untuk memutuskan hal-hal yang lebih adil, seperti kewajiban nafkah anak dari ayah kandung, serta melalui Surat Edaran Mahkamah Agung, dapat mengabulkan nafkah selama masa iddah dan mut’ah bagi istri korban KDRT, khususnya bila istri terbukti tidak nusyuz, walaupun perceraian diajukan melalui cerai gugat.
Ke depan, diharapkan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama MA RI terus menyelenggarakan bimtek daring dengan tema-tema relevan dan aktual, guna meningkatkan kemampuan teknis hukum para tenaga teknis di lingkungan peradilan agama.