Sejak Maret 2025 Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung RI menyelenggarakan bimbingan teknis (bimtek) mengenai kaum rentan di Pengadilan Agama secara daring melalui Aplikasi Sipintar Badilag.net. yang terbagi dalam beberapa zona wilayah.
Acara itu, sampai kini (setidakya hingga akhir Agustus 2025), masih berlangsung. Adapun tujuannya, pada pokoknya guna meningkatkan pemahaman dan keterampilan tenaga teknis peradilan dalam memberikan pelayanan yang prima dan adil bagi kelompok rentan, seperti penyandang disabilitas.
Di balik palu keadilan yang dijatuhkan di ruang sidang, tersembunyi harapan banyak orang-terutama mereka yang tak punya kuasa: perempuan yang ditinggal tanpa nafkah, anak-anak dari perkawinan tak tercatat, atau janda tua yang berjuang menegakkan hak warisnya. Mereka-yang berikut oleh aturan distigmakan sebagai kaum rentan ini-sering datang ke Pengadilan Agama bukan sekadar untuk mencari keadilan, tetapi sering hanya sekadar untuk menyelamatkan hidup mereka dari keterpurukan.
Dalam konteks ini, hakim peradilan agama bukan hanya penegak hukum formal. Mereka adalah pelayan keadilan yang membawa amanat kemanusiaan dan nilai-nilai spiritual. Karena itu, peran mereka tidak bisa dipandang sebatas pada proses memeriksa dan memutus perkara, tetapi juga bagaimana menjamin bahwa kelompok rentan mendapatkan keadilan yang substantif dan bermartabat.
Mengapa Kaum Rentan Perlu Perlindungan Khusus?
Perempuan dan anak adalah dua kelompok yang paling sering muncul dalam perkara-perkara di Pengadilan Agama. Mereka kerap menjadi korban dari perkawinan yang tidak dicatat, perceraian sepihak, atau penelantaran rumah tangga. Seringkali, ketimpangan relasi kuasa dan ketidaktahuan hukum membuat mereka berada di posisi yang lemah dalam proses peradilan.
Misalnya, seorang ibu rumah tangga yang tidak memiliki akta nikah resmi tidak hanya kehilangan hak atas harta bersama, tetapi juga kesulitan dalam mengurus akta kelahiran anaknya. Anak-anak hasil perkawinan siri pun terancam tidak mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara secara penuh.
Dalam kasus-kasus semacam ini, jika hakim hanya berpegang pada teks hukum secara kaku tanpa mempertimbangkan konteks sosial dan kerentanan para pihak, maka keadilan bisa menjadi semu. Sebaliknya, jika hakim mampu menghadirkan empati dan mengutamakan prinsip perlindungan terhadap yang lemah, maka Pengadilan Agama akan menjadi benteng terakhir bagi kaum rentan.
Landasan Hukum dan Etis
Perlindungan terhadap kelompok rentan sejatinya sudah mendapat dasar legitimasi dalam berbagai aturan.seperti Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan UU Nomor 50 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM), Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo. UU 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Secara khusus Mahkamah Agung juga telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 3 Tahun 2017.
Lebih lanjut, Mahkamah Agung juga menekankan pentingnya prinsip access to justice, terutama bagi kelompok marjinal. Bahkan, dalam konteks internasional, prinsip perlindungan kelompok rentan telah menjadi bagian dari norma universal Hak Asasi Manusia (HAM).
Namun di atas semua itu, peradilan agama juga bertumpu pada nilai-nilai keislaman yang menjunjung tinggi keadilan, kasih sayang, dan keberpihakan terhadap yang lemah. Bukankah Nabi Muhammad SAW sendiri dikenal sebagai pembela kaum dhuafa, termasuk perempuan dan anak-anak? Dengan demikian, dalam konteks perlindungan kaum rentan, menegakkan aturan-aturan tersebut adalah ‘wajib’, pada saat yang sama, dalam konteks tugas Hakim Agama, memberi nafas spiritual terhadap pasal-pasal aturan, juga menjadi tugas moral yang tidak boleh diabaikan.
Hakim yang Progresif, Peradilan yang Berkeadilan
Untuk menjawab tantangan ini, dibutuhkan hakim yang tidak hanya cerdas dalam menafsirkan hukum, tetapi juga peka terhadap realitas sosial. Hakim yang mampu menggali nilai-nilai maqashid syariah-tujuan luhur hukum Islam-yang menempatkan perlindungan jiwa, akal, keturunan, dan harta sebagai prioritas.
Di sinilah urgensi peran hakim peradilan agama sebagai agen perubahan sosial. Dengan sikap adil dan keberpihakan yang etis, hakim dapat mengubah ruang sidang menjadi tempat pemulihan bagi yang lemah, bukan hanya ajang legal formalitas. Dalam konteks ini, jargon “hakim di mata hukum dan ulama di mata masyarakat” menemukan tantangannya.
Sebab, ulama yang mendapat predikat sebagai pewaris nabi, salah satu karakter dasar yang harus dipunyai adalah sebagai penebar kasih kepada yang lemah. Atau, meminjam istilah Gus Mus, ulama adalah “alladzina yandhurunal ummah bi ‘ainir rahmah.”
Kini, kita hidup di zaman di mana hukum tidak boleh berhenti pada bunyi pasal. Ia harus hidup dan berdetak bersama denyut nadi masyarakat, terutama mereka yang paling lemah. Dalam semangat inilah, para hakim peradilan agama dituntut untuk hadir bukan sebagai “robot pengadilan”, tetapi sebagai figur yang menghadirkan wajah “welas asih” Tuhan di ruang sidang. Marah-marah saat menyidangkan perkara, merupakan sifat tercela yang haram hadir di ruang sidang. Terlebih, jika sedang berhadapan dengan kaum rentan.
Pada saat yang sama, dalam diri hakim juga harus terpateri, bahwa keadilan sejati adalah ketika yang kuat tidak bisa semena-mena, dan yang lemah tidak merasa sendirian. Dalam konteks ini kita perlu mengingat apa yang dikatakan Gustav Radbruch (ahli hukum Jerman) 1878-1949: “Das oberste Ziel des Rechts ist die Gerechtigkeit, und die Gerechtigkeit muss die Schwachen vor ungerechter Macht schützen.“ ("Tujuan utama hukum adalah keadilan, dan keadilan harus melindungi yang lemah dari kekuatan yang tidak adil.") Dan di tengah tantangan dunia yang makin kompleks, kaum rentan sangat berharap-hakim peradilan agama tidak tinggal diam.
Ke depan, putusan para hakim peradilan agama harus benar-benar dirasakan mampu memberikan hak-hak para kaum rentan. Bukankah Aristoteles,( 384 SM – 322 SM ) pernah mengatakan: "Justice is giving to each what is due to him." (Keadilan adalah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya). Semoga.