Ketua Mahkamah Agung Menjadi Keynote Speaker pada Konferensi Nasional Hukum Acara Perdata VIII, Ini Poin Pentingnya

Konferensi nasional yang turut dihadiri oleh para guru besar, dosen, akademisi, dan praktisi ini, merupakan agenda tahunan yang bertujuan sebagai ruang ilmiah untuk membahas isu-isu aktual di bidang hukum acara perdata
Ketua Mahkamah Agung dalam Konferensi Nasional Hukum Acara Perdata VIII | Foto: Tangkapan Layar YouTube HukumID Channel
Ketua Mahkamah Agung dalam Konferensi Nasional Hukum Acara Perdata VIII | Foto: Tangkapan Layar YouTube HukumID Channel

MARINews, Jakarta – Transformasi hukum di tengah derasnya perubahan, bukan lagi sebuah pilihan, melainkan suatu keharusan. Hukum acara perdata, harus terus beradaptasi, sebab era digital menuntut cara baru dalam berhukum.

Demikian pesan penting yang disampaikan Ketua Mahkamah Agung, Prof. Dr. H. Sunarto, S.H., M.H., dalam Konferensi Nasional Hukum Acara Perdata VIII dan Upgrading Hukum Acara Perdata di Universitas Kristen Indonesia, pada Rabu (19/11).

Konferensi nasional yang turut dihadiri oleh para guru besar, dosen, akademisi, dan praktisi ini, merupakan agenda tahunan yang bertujuan sebagai ruang ilmiah untuk membahas isu-isu aktual di bidang hukum acara perdata.

Ketua Mahkamah Agung yang bertindak sebagai Keynote Speaker (pembicara utama) konferensi itu meyakini, forum ilmiah dimaksud dapat menghasilkan rekomendasi yang penting bagi kemajuan hukum acara perdata yang akan datang.

Prof. Sunarto mengucapkan selamat dan mengapresiasi atas terselenggaranya konferensi nasional oleh Asosiasi Dosen Hukum Acara Perdata dan Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia.

Ia berpandangan, konferensi yang diselenggarakan merupakan sebuah upaya dalam merespon perkembangan global lintas batas dan adanya pembahasan terhadap rancangan undang-undang hukum acara perdata yang masih bergulir di parlemen.

Transformasi Hukum dan Peradilan oleh Mahkamah Agung

Selanjutnya, Prof. Sunarto dalam keynote speech yang bertema “Transformasi Hukum Penyelesaian Sengketa dan Cara Berhukum di Era Digital”, memaparkan materi khusus mengenai perspektif kewenangan Mahkamah Agung dalam menjalankan agenda transformasi hukum.

Pertama, hal ini tercermin pada partisipasi Mahkamah Agung dalam Singapore Declaration pada 12th Council of ASEAN Chief Justice (CACJ) Meeting, yang diselenggarakan pada 15 November 2025.

Kedua, penyederhanaan prosedur autentifikasi putusan dan dokumen protokol termasuk code to communication.

Ketiga, peningkatan penggunaan teknologi peradilan dan video conference, case management and court technology, dan video conference hearings.

Keempat, penguatan kerja sama dalam penyelesaian perkara perdata lintas batas, yang mencakup Communication and Cooperation between ASEAN Courts in Cross-border Insolvency Proceedings, termasuk insolvensi sengketa anak lintas negara dan perlindungan konsumen.

Kelima, komitmen untuk meningkatkan kapasitas hakim perdata melalui Judicial Education and Training, Cross-Border Disputes.

Ketua Mahkamah Agung kelima belas itu menuturkan, sebelum adanya Singapore Declaration, komitmen serupa juga telah dituangkan dalam Bangkok Declaration dalam pertemuan Council of ASEAN Chief Justice (CACJ), yang menggunakan International Framework for Court Excellence (IFCE).

Ia menambahkan, IFCE sebagai instrumen self-assessment, berfungsi untuk menilai kualitas administrasi, tata kelola dan penerapan prinsip keadilan sebagai bagian dari transformasi peradilan modern.

Dalam IFCE, imbuh Prof. Sunarto, terdapat tujuh area peradilan unggul yang relevan dengan pembaruan hukum acara perdata, antara lain: Kepemimpinan Pengadilan (Court Leadership), Manajemen Peradilan yang Strategis (Strategic Court Management), Sumber Daya Kerja Pengadilan (Court Workforce).

Selanjutnya, Infrastruktur, Persidangan, dan Proses Pengadilan (Court Infrastructure, Proceedings and Processes), Partisipasi Pengguna Pengadilan (Court User Engagement), Layanan Pengadilan yang Terjangkau dan Mudah Diakses (Affordable and Accessible Court Services) dan Keyakinan & Kepercayaan Publik (Public Trust and Confidence).

Kontribusi Mahkamah Agung dalam Pembaruan Hukum Acara Perdata

Dalam pemaparannya, pria yang pernah menjabat sebagai Ketua Kamar Pengawasan Mahkamah Agung itu, turut menyinggung pengaturan terkait pengakuan putusan asing.

Hal ini, tambah Prof. Sunarto, sebagimana dalam Pasal 436 Reglement op de Rechtsvordering (Rv) yang secara eksplisit menyatakan, putusan pengadilan asing tidak dapat dilaksanakan (non-executable) di Indonesia.

“Namun, dalam praktik hukum perdata internasional menunjukkan, pengadilan Indonesia masih dapat memberikan pengakuan terbatas berdasarkan asas timbal balik atau resiprositas,” tandasnya.

Prof. Sunarto menjelaskan, pengadilan Indonesia kerap menerapkan konsep silent recognition, yaitu menerima putusan pengadilan asing yang telah berkekuatan hukum tetap sebagai fakta atau alat bukti dalam persidangan di Indonesia.

Selain itu, juga dapat mempertimbangkan fakta-fakta dan kesimpulan hukum dalam putusan asing tersebut.

“Karena Indonesia belum terikat oleh konvensi internasional mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan asing, maka setiap putusan pengadilan asing pada prinsipnya harus melalui proses re-litigasi di Indonesia,” papar pria kelahiran Sumenep itu.

Mahkamah Agung, sebut Prof. Sunarto, turut mendorong pembaharuan hukum acara perdata melalui doktrin para Hakim Agung yang dirumuskan dalam rapat pleno kamar perdata.

Ia menjelaskan, doktrin merupakan salah satu sumber hukum formal yang berupa pendapat para ahli. Dengan keilmuan dan pengalaman yang dimiliki, tambah Prof. Sunarto, Hakim Agung dapat dipandang sebagai ahli hukum.

Selanjutnya, Ketua Mahkamah Agung menjabarkan, pendapat Hakim Agung dalam rumusan pleno kamar berkedudukan sebagai doktrin yang dapat dijadikan rujukan, untuk kemudian ditetapkan oleh Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) dan memuat kaidah hukum terbaru terkait dengan hukum acara.

“Sejak penerapan sistem kamar, Mahkamah Agung telah menyelenggarakan 14 kali rapat pleno kamar tahunan dan telah menghasilkan 552 rumusan hukum,” ujar Prof. Sunarto.

Mahkamah Agung turut melakukan pembaruan hukum acara perdata melalui Peraturan Mahkamah Agung (PERMA), di antaranya yaitu:

1. PERMA Nomor 2 Tahun 2015 juncto PERMA Nomor 4 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana;

2. PERMA Nomor 1 Tahun 2019 juncto PERMA Nomor 7 Tahun 2022 tentang Administrasi Perkara tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan secara Elektronik;

3. PERMA Nomor 6 Tahun 2022 tentang tentang Administrasi Pengajuan Upaya Hukum dan Persidangan Kasasi dan Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung Secara Elektronik.

“Pembaruan itu, memberikan peranan besar terhadap penguatan hukum acara perdata, sebagai dampak langsung dari perkembangan revolusi industri 5.0, untuk memberikan pelayanan keadilan yang semakin baik”, tandas Ketua Mahkamah Agung.

 

 

 

Penulis: Nadia Yurisa Adila
Editor: Tim MariNews