Dualisme Kewenangan Mengadili Perkara Pengangkatan Anak Beragama Islam

Sinkronisasi pedoman teknis dengan hukum positif, harus segera dilakukan guna menghindari dualisme kewenangan dan penafsiran yang kontradiktif di masa mendatang.
Ilustrasi perlindungan anak . Foto depositphotos.com/
Ilustrasi perlindungan anak . Foto depositphotos.com/

Badan peradilan sebagai subsistem dari sistem kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 24 ayat (1) Perubahan Ketiga diadakan dalam rangka untuk menegakkan hukum dan keadilan. Badan peradilan yang dimaksud terdiri dari 4 (empat) lingkungan peradilan, yaitu lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara. 

Keseluruhan lingkungan badan peradilan tersebut berada di bawah Mahkamah Agung sebagai puncak peradilan tertinggi di dalam Negara Republik Indonesia (vide Pasal 24 ayat (2) perubahan ketiga).

Di samping adanya empat lingkungan badan-badan peradilan di bawah Mahkamah Agung, juga terdapat pengadilan khusus yang mempunyai kewenangan memeriksa, mengadili dan memutus perkara tertentu, yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan, sebagaimana ditentukan Pasal 1 angka 8 juncto Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.  

Konsekuensi yuridis adanya empat lingkungan peradilan dan pengadilan khusus, adalah pembagian ruang lingkup kewenangan (kompetensi) pada badan peradilan tersebut. 
Kompetensi badan peradilan adalah kekuasaan atau kewenangan dari suatu badan peradilan untuk mengadili atau memeriksa suatu perkara tertentu. Kewenangan atau kompetensi badan peradilan berdasarkan pada doktrin di Indonesia dibedakan menjadi dua macam yaitu, kewenangan mengadili secara absolut (atribusi kekuasaan) dan kewenangan mengadili secara relatif (distribusi kekuasaan). 

Kewenangan mengadili berdasarkan pembagian kekuasaan (atribusi kekuasaan) antar badan peradilan, telah diatur Undang-undang No 48 Tahun 2009 Tentang kekuasaan kehakiman. Adapun Kewenangan masing-masing badan Peradilan tersebut antara lain:

1. Kompetensi absolut peradilan umum adalah memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dan perdata sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (UU No. 49 Tahun 2009 juncto UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum) 

2. Kompetensi absolut peradilan militer adalah memeriksa dan memutus perkara pidana dan sengketa tata usaha angkatan bersenjata bagi kalangan militer (UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer).

3. Kompetensi absolut peradilan agama adalah memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara perdata antara orang-orang yang beragama Islam sesuai dengan peraturan perundang-undangan (UU No. 50 Tahun 2009 juncto UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama).

4. Kompetensi absolut peradilan tata usaha negara adalah memeriksa dan memutus perkara gugatan terhadap pejabat administrasi negara, akibat penetapan tertulis yang dibuatnya merugikan seseorang atau badan hukum perdata (Undang-Undang No.51 Tahun 2009 juncto Undang-Undang No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara).

Berkenaan dengan kompetensi absolut, tidak jarang ditemui titik singgung antarbadan peradilan satu dengan lainnya. Terdapatnya titik singgung ini, karena antardua badan peradilan tersebut, memiliki kewenangan sama terhadap suatu perkara yang saling berkaitan satu sama lain. 

Titik singgung yang banyak ditemui dalam praktik adalah kewenangan mengadili antara peradilan umum dengan peradilan agama, dimana salah satunya adalah perkara permohonan pengangkatan anak. Kedua lingkungan peradilan ini memiliki kewenangan menerima, memeriksa, dan mengadili, serta menyelesaikan perkara terkait pengangkatan anak. 

Secara historis, proses pengangkatan anak di Indonesia melalui pengadilan diatur oleh dua sistem hukum yang berbeda, yaitu hukum positif (hukum yang berlaku di negara) dan Hukum Islam (syariah). Dalam konteks peradilan, peradilan umum (Pengadilan Negeri) berwenang memeriksa dan mengadili pengangkatan anak yang diatur dalam hukum positif di Indonesia sedangkan peradilan agama (Pengadilan Agama) berwenang memeriksa dan mengadili pengangkatan anak yang diatur berdasarkan Hukum Islam. 

Dalam perkembangannya, atas disahkan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama (UU Peradilan Agama), kewenangan mengadili permohonan pengangkatan anak bagi pemohon beragama islam beralih dari Pengadilan Negeri ke Pengadilan Agama. 

Menariknya, meskipun UU Peradilan Agama tersebut telah disahkan, Pengadilan Negeri masih menerima dan mengabulkan permohonan pengangkatan anak bagi pemohon yang beragama Islam. Dasar dikabulkannya penetapan tersebut, adalah masih berlakunya Buku II Peradilan Umum yang memungkinkan bagi Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan mengabulkan permohonan tersebut. 

Dengan masih dimungkinkannya Pengadilan Negeri, memeriksa dan mengadili terhadap perkara permohonan pengangkatan anak yang beragama Islam tersebut, mengakibatkan terjadinya perbedaan pendapat dari para hakim dalam penetapannya. Terhadap perkara tersebut, ada hakim yang mengabulkan, menolak atau bahkan menyatakan permohonan tidak dapat diterima dengan alasan bukan kewenangannya. 

Secara normatif, Pasal 49 huruf a UU Peradilan Agama menyebutkan, bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan. Lebih lanjut dalam penjelasannya, disebutkan yang dimaksud perkawinan, adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku menurut syari’ah. Salah satunya adalah penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam. 

Sedangkan di sisi lain, Pengadilan Negeri juga masih berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara permohonan anak yang beragama Islam. Buku II Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus 2009 Edisi Revisi khususnya pada halaman 44 poin ke 7 disebutkan, permohonan anak angkat yang diajukan oleh pemohon yang beragama Islam dengan maksud memperlakukan anak angkat sebagai anak kandung dan dapat mewaris, maka permohonan diajukan ke Pengadilan Negeri.

Bilamana dimaksudkan untuk dipelihara, permohonan diajukan ke Pengadilan Agama. Ketentuan ini dapat dipahami bahwa kedua badan peradilan (peradilan umum dan peradilan agama), sama-sama berwenang mengadili perkara permohonan anak yang beragama Islam, hanya saja yang membedakan adalah tujuan dari pengangkatan anak tersebut. Apakah memperlakukan anak angkat sebagai anak kandung, maupun memperlakukannya bukan sebagai anak kandung? 

Pedoman teknis dari Buku II di atas, seolah-olah memberikan kesempatan bagi orang Islam untuk memperlakukan anak angkat sebagai anak kandung, sehingga bisa jadi ahli waris dari orang tua angkatnya. Terhadap hal ini, penulis akan berikan pandangannya yang dianalisis berdasarkan asas personalitas keislaman, maupun berdasarkan kedudukan peraturan perundang-undangan.

Pada dasarnya kewenangan peradilan agama dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara perdata selalu dikaitkan dengan asas personalitas keislaman (vide Pasal 49 UU Peradilan Agama). Asas personalitas keislaman adalah asas utama yang melekat pada Undang-undang Peradilan Agama yang mempunyai makna pihak yang tunduk dan dapat ditundukkan kepada kekuasaan di lingkungan peradilan agama adalah hanya beragama Islam.

Keislaman seseoranglah yang menjadi dasar kewenangan peradilan agama dan dengan kata lain, seorang penganut agama non-Islam tidak tunduk dan tidak dapat dipaksakan tunduk kepada kekuasaan peradilan agama. Terdapat dua patokan yang bisa dijadikan dasar, menerapkan asas personalitas keislaman yaitu patokan umum dan saat terjadi hubungan hukum. 

Patokan umum merupakan patokan bersifat formal. Apabila seseorang telah mengaku beragama Islam, maka terhadapnya telah melekat asas personalitas keislaman. Sedangkan patokan saat terjadi hubungan hukum, ditentukan berdasarkan dua syarat. Pertama, ada saat terjadi hubungan hukum dan pihak sama-sama beragama Islam. Kedua, hubungan ikatan hukum yang mereka lakukan berdasarkan hukum Islam. 

Jika dikaitkan perkara permohonan pengangkatan anak beragama Islam, dimana pemohon dan calon anak angkat tersebut beragama Islam, maka asas personalitas keislaman melekat kepada Pemohon dan calon anak yang akan diangkat, tanpa melihat maksud dan tujuan pengangkatan anak tersebut. Dengan demikian, berdasarkan asas personalitas keislaman, sepatutnya permohonan pengangkatan anak beragama Islam, adalah kewenangan absolut dari Pengadilan Agama terlepas dari maksud dan tujuannya. 

Dari sudut pandang hukum materiil, substansi atas suatu perkara permohonan anak yang diajukan ke pengadilan, harus didasarkan pada hukum materil masing-masing sistem hukum. Secara normatif, tidak terdapat undang-undang yang secara khusus, mengatur pengangkatan anak di Indonesia, akan tetapi secara parsial diatur berbagai peraturan perundangan, maupun Surat Edaran Mahkamah Agung, antara lain sebagai berikut:

1. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak;

2. Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;

3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan;

4. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1979 Perihal Pengangkatan Anak;

5. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1983 tentang Penyempurnaan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1979;

6. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 1989 tentang Pengangkatan Anak

Dalam konteks perkara permohonan pengangkatan anak beragama Islam, maka secara substansi hakim dalam memeriksa perkara tersebut, haruslah tunduk dan terikat kaidah, serta tata cara yang diatur Hukum Islam. Pengaturan mengenai substansi perkara perdata Islam telah diatur di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). 

KHI merupakan kodifikasi hukum Islam pertama di Indonesia yang eksistensinya berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) No.1 Tahun 1991. Selanjutnya, Inpres ditindaklanjuti keputusan bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama pada 21 Maret 1985. Ketentuan ini, dapat dipakai sebagai pedoman tertulis dalam bidang hukum materil bagi para hakim di lingkungan Peradilan Agama seluruh Indonesia, termasuk dijadikan pedoman pengangkatan anak beragama Islam. 

Menurut Pasal 171 huruf h KHI, anak angkat, adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan, dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan. 

Ketentuan ini dapat dipahami bahwa pengangkatan anak dalam syariat Islam dibolehkan sepanjang motivasinya mengutamakan kepentingan anak, dalam pengangkatan anak tanggung jawab pemeliharaan untuk hidup sehari-hari beralih dari orang tua asal, pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah dengan orang tua kandungnya, sehingga anak angkat hanya dapat menjadi ahli waris, dari orang tua kandungnya. 

Namun, anak angkat tetap dapat menerima hibah wasiat dari orang tua angkatnya. Bilamana anak angkat tidak menerima wasiat, maka menurut Pasal 209 ayat (2) KHI anak angkat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya. Lebih lanjut Pasal 174 ayat (1) KHI, menjelaskan ahli waris dikelompokkan berdasarkan hubungan darah dan menurut hubungan perkawinan. 

Dikarenakan anak angkat tidak dapat dikategorikan sebagai orang yang memiliki hubungan darah atau perkawinan dengan orang tua angkatnya, sehingga anak angkat tidak dapat menjadi ahli waris dan tidak memiliki hak waris. Hal yang sama juga berlaku bagi hukum perdata umum, sesuai ketentuan Pasal 832 KUH Perdata.

Menurut ketentuan dimaksud, pihak yang berhak menjadi ahli waris adalah keluarga sedarah, baik yang sah menurut undang-undang atau di luar perkawinan, dan suami atau istri yang hidup terlama. Artinya berdasarkan ketentuan hukum materil perdata Islam, maupun perdata umum, anak angkat yang tidak memiliki hubungan darah dari orang tua angkatnya, tidak dapat menjadi ahli waris dari orang tua angkatnya.

Hal ini berbeda dengan Buku II Peradilan Umum (vide Halaman 44 poin 7), yang tetap memberikan legitimasi bagi calon orang tua angkat beragama Islam. Dalam sudut pandang ketentuan peraturan perundang-undangan, Buku II MA RI Bagian Peradilan Umum tidaklah termasuk dalam jenis dan hierarki suatu peraturan perundang-undangan di Indonesia. 

Sebagai aturan teknis, seyogianya Buku II MA RI tersebut, sinkron dan terharmonisasi dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang sifatnya umum.

Menurut penulis, bagi hakim peradilan umum, jika menerima permohonan pengangkatan anak beragama Islam seyogyanya menyatakan permohonan tersebut tidak dapat diterima, karena secara formil (kewenangan absolut), maupun materiil bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

Penutup

Dengan demikian, berdasarkan asas personalitas keislaman dan hierarki peraturan perundang-undangan, permohonan pengangkatan anak yang diajukan oleh pemohon beragama Islam secara mutlak merupakan kewenangan Pengadilan Agama.

Oleh karena itu, Pengadilan Negeri seharusnya menyatakan permohonan tersebut tidak dapat diterima, karena bertentangan dengan ketentuan formil (kompetensi absolut) dan materil (Kompilasi Hukum Islam). Sinkronisasi pedoman teknis dengan hukum positif, harus segera dilakukan guna menghindari dualisme kewenangan dan penafsiran yang kontradiktif di masa mendatang.