Hukum dan Eksistensialisme: Mencari Etika di Tengah Norma

Dalam banyak masyarakat, hukum sering dianggap sakral hanya karena ia dibakukan dalam bentuk peraturan. Namun hukum tanpa etika hanyalah alat yang bisa dipakai siapa pun, bahkan oleh yang zalim.
Ilustrasi filsafat hukum. Foto pixabay.com
Ilustrasi filsafat hukum. Foto pixabay.com

Dalam dunia yang semakin kompleks, tidak semua jawaban dapat ditemukan di dalam teks hukum. Banyak peristiwa kehidupan yang tidak terjangkau oleh norma yang sudah dibakukan. Ketika hukum diam, dan aturan belum sempat dirumuskan, di sanalah manusia berdiri sendiri, menghadapi kebebasan sekaligus tanggung jawab moral. Dalam ruang itulah eksistensialisme dan hukum bersentuhan.

Eksistensialisme memandang bahwa hidup adalah panggilan untuk bertindak secara autentik dan sadar. Manusia tidak boleh bersembunyi di balik sistem atau aturan yang ada. Keputusan harus lahir dari kedalaman nurani, bukan semata-mata karena mengikuti prosedur. Dalam konteks hukum, pandangan ini menantang formalisme yang kaku dan membangkitkan kembali suara moral dalam setiap putusan.

Ketika hukum tidak memberikan jalan keluar, maka yang tersisa adalah pilihan etis yang harus diambil. Pilihan ini sering kali sunyi, tanpa panduan yang jelas. Namun justru di situlah harkat manusia sebagai makhluk bebas diuji. Kebebasan dalam eksistensialisme bukanlah kebebasan tanpa arah, tetapi kebebasan yang disertai tanggung jawab terhadap sesama.

Dalam ruang sidang, ada kalanya kasus unik yang tidak tercakup dalam undang-undang secara spesifik. Seorang hakim, misalnya, dihadapkan pada dilema antara mengikuti bunyi pasal atau mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan yang hidup di tengah masyarakat. Keputusan yang diambil bukan sekadar soal logika hukum, tetapi tentang keberanian moral untuk menegakkan keadilan substantif.

Eksistensialisme mengajarkan bahwa manusia tidak bisa melimpahkan tanggung jawab moral kepada sistem. Bahkan jika sebuah tindakan dibenarkan oleh hukum, ia tetap harus ditimbang dalam cahaya etika. Hukum harus menjadi jalan untuk menyatakan kebenaran, bukan tempat bersembunyi dari panggilan nurani. Nilai hukum akan hidup jika dibarengi dengan keberanian untuk memilih yang benar.

Dalam keadaan darurat atau krisis kemanusiaan, keputusan hukum tidak lagi dapat bersandar sepenuhnya pada norma-norma yang tersedia. Di sinilah intuisi etis dan kepekaan terhadap penderitaan sesama menjadi kunci. Hukum menjadi alat yang lentur, yang dapat merespons kondisi luar biasa dengan kebijaksanaan yang tidak tertulis.

Filsafat eksistensial menolak untuk menyerahkan sepenuhnya arah hidup kepada sistem luar. Dalam hukum, ini berarti bahwa aktor hukum, baik pembuat kebijakan, penegak hukum, maupun pencari keadilan, harus tampil sebagai subjek moral yang aktif. Mereka tidak boleh menjadi mesin yang hanya menjalankan aturan, tetapi harus menjadi manusia yang memaknai dan merespons hukum secara personal dan bertanggung jawab.

Dalam banyak masyarakat, hukum sering dianggap sakral hanya karena ia dibakukan dalam bentuk peraturan. Namun hukum tanpa etika hanyalah alat yang bisa dipakai siapa pun, bahkan oleh yang zalim. Maka, keadilan yang sejati tidak mungkin dibangun tanpa fondasi moral yang kokoh. Eksistensialisme memberi ruang untuk refleksi batin yang dalam atas tindakan hukum yang diambil.

Pencarian etika dalam kekosongan norma merupakan ujian sejati bagi keberanian manusia. Berani mengambil keputusan, berani menanggung akibat, dan berani tetap teguh dalam kebaikan, meskipun mungkin tidak didukung oleh teks. Di situlah martabat kemanusiaan menemukan tempatnya dalam dunia hukum.

Tanggung jawab eksistensial juga mengajak untuk membangun hukum yang hidup dan tumbuh bersama kesadaran manusia. Bukan hukum yang menindas kebebasan, tetapi hukum yang memperkuat kapasitas untuk memilih yang benar. Hukum bukan dinding yang membatasi jiwa, melainkan jembatan yang mengantarkan pada kebaikan.

Dalam pandangan spiritual, hukum adalah amanah yang tidak berhenti pada bunyi kata, tetapi terus bergerak menuju cinta dan kasih sayang. Ketika teks diam, maka cahaya iman harus bersinar. Hukum yang benar adalah hukum yang mampu membawa kedamaian, bukan hanya keteraturan.

Dalam penyelesaian sengketa adat, tidak dapat sepenuhnya diatur dalam undang-undang, tetapi diselesaikan dengan pendekatan moral dan kebijaksanaan lokal. Di sana, eksistensialisme hadir tanpa disadari, karena manusia menggunakan kebebasannya untuk memilih kebaikan, bukan hanya ketaatan.

Eksistensialisme tidak mengajarkan anarki. Ia justru memanggil manusia untuk lebih bertanggung jawab atas pilihannya. Dalam hukum, ini berarti membentuk pribadi-pribadi hukum yang sadar, jujur, dan peka terhadap keadilan. Bukan hanya sekadar “taat aturan,” tetapi juga “benar dalam tindakan.”

Dengan demikian, hukum bukan menara gading yang tak tergoyahkan, melainkan ruang perjuangan bagi nilai-nilai luhur. Eksistensialisme mengingatkan bahwa dalam sunyi, masih ada suara hati yang membimbing. Suara itulah yang harus terus dijaga, agar hukum tidak kehilangan jiwanya sebagai pelita dalam gelapnya dunia.
 

Penulis: M. Khusnul Khuluq
Editor: Tim MariNews