MARINews, Banjarmasin-Kota Banjarmasin terpilih menjadi kota pertama yang disambangi oleh Mahkamah Agung (MA) dalam Kegiatan MA Goes to Campus pada 2025 ini.
Untuk diketahui, program MA Goes to Campus telah memasuki tahun kelima yang diselenggarakan secara rutin oleh Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung.
Kali ini kegiatan MA Goes to Campus mengusung tema “Profesi Hakim di Kalangan Gen Z” yang digelar di Auditorium Prof. H. Idham Zar Kasi, S.H. Universitas Lambung Mangkurat pada Rabu (11/6). Adapun narasumber dalam kegiatan ini adalah para Hakim Yustisial Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung yakni, Lucia Ridayanti, S.H., M.H., dan Dr. Riki Perdana Raya Waruwu, S.H., M.H.
Hadir dalam kegiatan tersebut Wakil Rektor Universitas Lambung Mangkurat, Rektor Universitas Sari Mulia, Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sultan Adam Banjarmasin, Dekan Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat, Dekan Fakultas Syariah UIN Antasari Banjarmasin, Dekan Fakultas Hukum Islam Kalimantan, Ketua Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Banjarmasin, Ketua Pengadilan Tinggi Banjarmasin yang diwakili oleh Hakim Tinggi Banjarmasin, Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama Banjarmasin, Kepala Pengadilan Militer I-06 Banjarmasin, para Sekretaris Pengadilan Tingkat Banding se-wilayah hukum Kalimantan Selatan, para Hakim Yustisial pada Kabiro Hukum dan Humas Mahkamah Agung dan 300 lebih peserta dari mahasiswa fakultas hukum.
Kabiro Hukum dan Humas MA Membuka Kegiatan MA Goes to Campus Secara Resmi
Wakil Rektor Bidang Kerjasama Humas dan Sistem Informasi Universitas Lambung Mangkurat, Dr. Ir. H. Yusuf Aziz, M.Sc., mengucapkan rasa terima kasih atas terpilihnya Universitas Lambung Mangkurat sebagai tuan rumah untuk acara MA Goes to Campus pada kesempatan ini.
Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung, Dr. H. Sobandi, S.H., M.H., dalam sambutannya mengapresiasi dan menyampaikan ucapan terima kasih kepada seluruh pimpinan perguruan tinggi dan para mahasiswa yang telah berkenan hadir dalam acara MA Goes to Campus.
Sobandi menuturkan, tujuan utama dari kegiatan ini adalah untuk memberikan akses seluas-luasnya kepada para mahasiswa sebagai agen perubahan, agar dapat mengenal lebih dekat lembaga peradilan, fungsi-fungsinya serta tantangan yang dihadapi dalam menegakkan hukum di Indonesia.
Ia turut menambahkan, selain untuk mendekatkan Mahkamah Agung dan peradilan Indonesia ke mahasiswa perguruan tinggi, tujuan dari terselenggaranya MA Goes to Campus ini karena ingin mengajak mahasiwa untuk bergabung menjadi bagian dari Mahkamah Agung.
Melalui kegiatan ini, Kabiro Hukum dan Humas Mahkamah Agung tersebut menitip pesan kepada para mahasiswa, bahwa menjadi mahasiswa bukan hanya soal hadir di kelas dan menyelesaikan tugas, tetapi menjadi mahasiswa yang aktif, kritis dan visioner.
“Jangan ragu untuk bermimpi besar, tapi iringi dan bekali dengan integritas, kedisiplinan dan kepedulian sosial. Karena dunia hukum tidak hanya menuntut kepintaran tetapi juga keberanian moral dan keteguhan prinsip.” tegas Sobandi menutup sambutannya dengan dilanjutkan pembukaan secara simbolis kegiatan MA Goes to Campus.
Usai membuka kegiatan MA Goes to Campus, acara kemudian dilanjutkan dengan penandatanganan MoU antara Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung dengan pihak kampus. MA Goes to Campus kemudian bergulir pada sesi utama diskusi, dengan menghadirkan dua narasumber yaitu, Lucia Ridayanti, S.H., M.H., dan Dr. Riki Perdana Raya Waruwu, S.H., M.H., para Hakim Yustisial Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung.
Keterwakilan Kepemimpinan Hakim Perempuan Mencapai 23,29%
Pembicara pertama yakni Lucia Ridayanti, S.H., M.H. memaparkan materinya yang berjudul “Eksistensi Hakim Perempuan dalam Penegakan Hukum”. Topik ini diangkat oleh Lucia karena Mahkamah Agung menginginkan lebih banyak keterwakilan kaum perempuan untuk ikut bergabung menjadi bagian Mahkamah Agung.
Ia juga mengungkapkan alasan dibalik keterwakilan hakim perempuan itu diperlukan, sebab perempuan memiliki sensitivitas atau empati yang tinggi sehingga keterwakilan perempuan dalam sistem peradilan dapat menghasilkan putusan yang lebih baik, utuh dan dan dirasakan keadilan dan kemanusiaannya.
Selain itu, ia menjelaskan, keterwakilan hakim perempuan meningkatkan legitimasi pengadilan, mengirimkan sinyal kuat bahwa pengadilan terbuka dan dapat diakses oleh para mencari keadilan. Masuknya hakim perempuan ke dalam ruang-ruang yang secara historis dikecualikan, tambahnya, telah menjadi langkah positif ke arah peradilan yang dianggap lebih transparan dan inklusif.
“Keterwakilan perempuan, untuk memberikan keberagaman perspektif, kemanfaatan dan keadilan yang utuh dalam suatu putusan.” tegas Hakim Yustisial yang tengah menyelesaikan pendidikan doktoralnya di salah satu universitas terbaik di Belanda itu.
Selanjutnya, Lucia menjabarkan komposisi hakim perempuan di Indonesia. Jumlah hakim perempuan pada 2023 adalah sekitar 2.211 orang, laki-laki sebanyak 5.518 orang dari total 7.729 hakim di Indonesia. Adapun pada 2024, jumlah hakim perempuan sekitar 2.230 orang, laki-laki sebanyak 5.459 orang dari total 7.689 hakim di Indonesia.
Lebih lanjut, ia menjelaskan, saat ini tercatat bahwa keterwakilan kepemimpinan hakim perempuan pada jabatan-jabatan struktural adalah sebesar 23,29% sedangkan presentase pada Hakim Agung, 7 dari 42 Hakim Agung diantaranya adalah perempuan (16,66%).
Lucia kemudian menguraikan sejumlah tantangan dan hambatan bagi perempuan yang memilih profesi hakim sebagai berikut:
1. Adanya budaya patriarki yang berkembang dalam masyarakat Indonesia.
2. Peran ganda & tingkat stress lebih tinggi yang menggabungkan tanggung jawab peradilan dengan komitmen keluarga menyebabkan stres dan kelelahan bagi hakim perempuan
3. Adanya bias gender, asumsi tentang kemampuan, preferensi, dan temperamen perempuan, sehingga mempengaruhi penilaian dan peningkatan karier yang dihadapi oleh hakim perempuan.
4. Adanya hambatan perempuan cenderung memiliki tanggungjawab keluarga yang lebih besar sehingga memiliki kemampuan yang lebih kecil untuk melanjutkan pendidikan tambahan, serta lebih tidak memiliki fleksibilitas untuk berpindah dan enggan maju ke posisi pimpinan mesi memiliki kapasitas cukup.
Mengakhiri sambutannya, Lucia menggugah para mahasiswa yang hadir untuk ikut bergabung menjadi bagian Mahkamah Agung, dengan mengutip kalimat dari Sri Widoyati Wiratmo, “Menjadi hakim tidak hanya soal kedudukan. Tetapi, yang penting, suatu panggilan untuk melakukan tugas yang pada dasarnya hanya dapat dilakukan oleh Tuhan.”
Ini Alasan Lulusan Sarjana Hukum Harus Memilih Profesi Hakim
Dr. Riki Perdana Raya Waruwu, S.H., M.H., selaku narasumber kedua pada kegiatan MA Goes to Campus, menjelaskan kewenangan yang dimiliki hakim ketika mengadili perkara, yakni dengan cara melakukan penafsiran aktif (judicial activism). Ketika suatu sengketa tidak ada dasar hukumnya, Riki menjelaskan, maka hakim harus menggunakan penafsiran untuk mencari jawaban terhadap permasalahan itu.
Dalam pemaparannya, latar belakang seorang hakim melakukan judicial activism turut disinggung oleh Hakim Yustisial Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung itu. Hal ini karena adanya kekosongan hukum, melakukan korektif terhadap kebijakan pemerintah dan menjaga dan memastikan hak-hak konstitusional individu terpenuhi.
Dari judicial activism tersebut, Riki melanjutkan, akan lahir sebuah yurisprudensi. Ia mengutip pendapat dari Prof. Bagir Manan yang menyebutkan tiga tahapan lahirnya yurisprudensi yaitu, kekosongan hukum (Rechtvacuum), penemuan hukum (Rechtsvinding) dan penciptaan hukum (Rechtsschepping).
Lebih lanjut, Riki kemudian menjelaskan, ketika hukum baru itu tercipta oleh putusan hakim dan secara konsisten diikuti oleh putusan-putusan hakim berikutnya, maka putusan itu akan ditetapkan sebagai yurisprudensi.
“Oleh karena itu, satu-satunya profesi yang bisa menciptakan kaidah hukum baru dalam praktik penegakan hukum adalah Hakim.” ujar doktor termuda se-Indonesia itu bangga.
Berkaitan dengan profesi hakim, Hakim Yustisial Biro Hukum dan Humas itu menegaskan, hanya profesi hakim yang memiliki kewenangan untuk menentukan seseorang bersalah atau tidak, dapat atau tidaknya seseorang dihukum, hilangnya hak hidup seseorang ketika hakim menjatuhkan hukuman mati dan menentukan hak seseorang atas objek sengketa.
Kemudian, Riki mengungkap hal menarik lainnya dari profesi hakim, bahwa hakim berkedudukan sebagai pejabat negara. Hakim baru yang dilantik pertama kali di umur 25 tahun sekalipun, tambahnya, kedudukannya selevel dengan gubernur dan para menteri.
Pada kesempatan itu, Riki turut membeberkan nominal gaji hakim baru setelah dilantik, dengan merujuk Peraturan Pemerintah 44 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang Berada di Bawah Mahkamah Agung.
Golongan IIIa, ia menambahkan, mendapatkan gaji pokok sejumlah Rp3 juta dengan ditambah tunjangan jabatan hakim sejumlah Rp11,9 juta. Hal itu belum ditambah dengan tunjangan transportasi dan uang makan.
Dengan demikian, tambah Riki, hakim yang baru dilantik akan menerima pendapatan sejumlah Rp16.850.000. yang belum dihitung dengan tambahan tunjangan perumahan dan tunjangan kemahalan yang nominalnya berbeda-beda menyesuaikan zona penempatan.
“Maka jadilah hakim yang tak sekedar menghafal pasal, tetapi mendengar nurani. Di tangan hakim yang berintegritas, keadilan bukan mimpi melainkan harapan yang menjadi kenyataan.” pesan Riki mengakhiri pemaparannya.
Kegiatan MA Goes to Campus kemudian dilanjutkan dengan sesi tanya jawab dari para mahasiswa kepada kedua narasumber dan diakhiri dengan pemutaran film inspiratif berjudul Titik Balik yang mengangkat kisah penuh inspirasi tentang perjuangan, keadilan dan harapan dengan latar belakang seorang hakim dan lembaga peradiilan.