Tren Rambut Gondrong: Simbol Perlawanan Perang Vietnam dan Dukungan Hak Asasi Manusia

Tren rambut gondrong bukan sekadar gaya, melainkan pernah menjadi simbol perlawanan terhadap perang, dukungan terhadap hak asasi manusia, dan cita-cita perdamaian.
Rambut gondrong tak sekadar gaya, di masa lalu, ia menjadi simbol perlawanan terhadap kekerasan dan ketidakadilan. Foto id.pinterest.com/
Rambut gondrong tak sekadar gaya, di masa lalu, ia menjadi simbol perlawanan terhadap kekerasan dan ketidakadilan. Foto id.pinterest.com/

Rambut gondrong tak sekadar gaya-di masa lalu, ia menjadi simbol perlawanan terhadap kekerasan dan ketidakadilan. Salah satu momen paling bersejarah yang mengangkat tren rambut gondrong adalah masa Perang Vietnam, di mana kaum muda Amerika Serikat menjadikan rambut panjang sebagai bentuk protes terhadap intervensi militer dan pelanggaran hak asasi manusia.

Intervensi Militer AS dan Pelanggaran HAM di Vietnam

Sebagai negara adidaya, Amerika Serikat dan beberapa sekutunya kerap melakukan intervensi militer untuk mencampuri urusan dalam negeri negara lain. Tindakan tersebut sering kali memicu perang dan konflik berkepanjangan.

Padahal, Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara implisit melarang intervensi semacam itu. Pasal 2 Ayat 4 Piagam PBB menyatakan bahwa penggunaan kekerasan terhadap kedaulatan negara lain merupakan pelanggaran terhadap integritas wilayah dan kemerdekaan politik negara tersebut.

Meski hukum perang internasional, seperti yang diatur dalam Konvensi Jenewa 1949 dan protokol tambahannya, bertujuan membatasi dampak perang dan melindungi warga sipil, kenyataannya korban sipil tetap berjatuhan dalam setiap konflik bersenjata-termasuk dalam Perang Vietnam.

Tragedi My Lai dan Kritik Global terhadap AS

Salah satu peristiwa paling kelam dalam sejarah Perang Vietnam adalah Pembantaian My Lai, yang terjadi pada 16 Maret 1968 di Distrik Son Tinh, Vietnam Selatan. Dalam insiden ini, pasukan Amerika membunuh ratusan warga sipil tak bersenjata, termasuk perempuan dan anak-anak. Sejumlah korban juga mengalami kekerasan seksual dan mutilasi.

Peristiwa ini memicu kecaman luas, termasuk dari dalam negeri Amerika Serikat sendiri. Tokoh-tokoh seperti Muhammad Ali, Martin Luther King Jr., dan musisi seperti John Lennon dan Phil Ochs menjadi simbol perlawanan terhadap intervensi militer AS. Aksi unjuk rasa digelar di berbagai kota, termasuk di depan Pentagon.

Hippie dan Rambut Gondrong: Gaya sebagai Bentuk Perlawanan

Salah satu bentuk protes yang paling ikonik saat itu adalah melalui gaya berpakaian dan model rambut. Muncullah tren rambut gondrong ala hippie, yang menjadi simbol perlawanan terhadap perang dan dukungan terhadap perdamaian serta hak asasi manusia.

Gaya rambut gondrong, pakaian longgar, dan warna-warna mencolok menjadi ciri khas gerakan hippie. Lebih dari sekadar mode, ini merupakan bentuk ekspresi sosial dan politik. Gerakan ini bahkan memengaruhi seni, musik, dan gaya hidup generasi muda.

Namun, menjelang akhir 1970-an, pengaruh gerakan hippie mulai meredup, sebagian karena penyimpangan norma sosial, seperti penyalahgunaan narkoba dan gaya hidup bebas yang diidentikkan dengan para penganutnya.

Dampaknya di Indonesia: Rambut Gondrong Dianggap Ancaman

Pengaruh tren rambut gondrong juga sempat terasa di Indonesia. Pada era Orde Baru, rambut gondrong dianggap bertentangan dengan nilai-nilai ketertiban dan budaya nasional. Pemerintah bahkan merazia siswa dan mahasiswa yang memanjangkan rambut.

Beberapa pejabat negara secara terbuka melarang gaya rambut ini melalui media massa. Uniknya, pemerintah membentuk lembaga khusus bernama Badan Koordinasi Pemberantasan Rambut Gondrong (Bakorperagon) untuk menindak laki-laki berambut panjang.

Kesimpulan: Rambut Gondrong sebagai Simbol Sosial

Tren rambut gondrong bukan sekadar gaya, melainkan pernah menjadi simbol perlawanan terhadap perang, dukungan terhadap hak asasi manusia, dan cita-cita perdamaian. Meskipun konteks sosialnya telah berubah, jejak sejarahnya tetap hidup sebagai bagian dari narasi perjuangan generasi muda di masa lalu.

Penulis: Adji Prakoso
Editor: Tim MariNews