MARINews, Sinabang-Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sinabang berhasil menerapkan keadilan restoratif dalam perkara pidana penganiayaan dengan terdakwa Zainuddin bin Basri.
Putusan dengan Nomor 11/Pid.B/2025/PN Snb ini, dibacakan pada Rabu (2/7), setelah sebelumnya diputuskan dalam sidang permusyawaratan Majelis Hakim pada Selasa (1/7).
Perkara ini bermula dari tindak pidana penganiayaan yang dilakukan terdakwa terhadap korban Ruslidin bin Johan pada Jumat (9/5), sekitar pukul 16.30 WIB, di teras rumah Saksi Ruslidin bin Johan di Desa Air Pinang, Kecamatan Simeulue Timur, Kabupaten Simeulue, Provinsi Aceh.
Penganiayaan tersebut bermula ketika terdakwa menanyakan perihal pekerjaan pemotongan kayu dan penyelesaian hutang piutang yang belum menemukan titik temu. Hal itu membuat terdakwa emosi, mengambil pisau dari kantong celananya, dan mengayunkan pisau tersebut ke arah dada saksi Ruslidin bin Johan, yang menyebabkan luka sayatan.
Dalam proses persidangan, Majelis Hakim yang terdiri dari Riswandy, S.H., M.H. sebagai Hakim Ketua, serta Ahmad Ghali Pratama, S.H. dan Rezki Fauzi, S.H. sebagai Hakim Anggota, menerapkan metode pendekatan keadilan restoratif sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Terdakwa sendiri telah mengakui perbuatannya, meminta maaf kepada saksi korban dan keluarganya, serta bersedia bertanggung jawab atas perbuatannya. Dalam fakta persidangan juga menunjukkan telah terjadi upaya perdamaian antara terdakwa dan korban di hadapan Kepala Desa Sefoyan dan Kepala Desa Air Pinang. Kesepakatan perdamaian tersebut, tertanggal 16 Mei 2025. Korban juga telah memaafkan terdakwa dan tidak menginginkan terdakwa dihukum pidana penjara.
Meskipun Jaksa Penuntut Umum menuntut pidana penjara selama enam bulan dikurangkan dengan masa penahanan yang telah dijalani. Dalam putusannya Majelis Hakim tidak sependapat dengan tuntutan tersebut. Majelis Hakim menilai, dengan telah tercapainya tujuan keadilan restoratif, yaitu memulihkan kerugian korban tindak pidana, penjatuhan hukuman pidana penjara maksimal tidak sejalan dengan tujuan tersebut.
Oleh karena itu, Majelis Hakim menjatuhkan pidana penjara selama enam bulan kepada terdakwa, namun menetapkan bahwa pidana tersebut tidak perlu dijalani, kecuali jika dikemudian hari ada perintah lain dari hakim bahwa terdakwa melakukan tindak pidana kembali sebelum masa percobaan delapan bulan berakhir. Terdakwa diperintahkan untuk dibebaskan dari tahanan rumah seketika setelah putusan dibacakan.
Keberhasilan penerapan metode pendekatan keadilan restoratif dalam perkara ini tidak hanya mewujudkan keadilan yang substantif. Akan tetapi juga memulihkan korban tindak pidana dan memulihkan hubungan antara terdakwa, korban, dan masyarakat.