PN Dataran Hunipopu Berhasil Terapkan Keadilan Restoratif dalam Kasus KDRT

Majelis Hakim berhasil mengupayakan perdamaian antara saksi korban dengan terdakwa. Di mana terdakwa mengakui kesalahannya dan berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Dataran Hunipopu telah berhasil menerapkan mekanisme keadilan restoratif dalam kasus KDRT. Foto dokumentasi humas PN Dataran Hunipopu
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Dataran Hunipopu telah berhasil menerapkan mekanisme keadilan restoratif dalam kasus KDRT. Foto dokumentasi humas PN Dataran Hunipopu

MARINews, Piru-Majelis Hakim Pengadilan Negeri Dataran Hunipopu dalam perkara pidana nomor 20/Pid.Sus/2025/PN Drh yaitu Rachmat Habibi, S.H., M.H. selaku Hakim Ketua, Andi Maulana Arif Nur, S.H. dan Dwi Satya Nugroho Aji, S.H., LL.M. masing-masing sebagai Hakim Anggota, telah berhasil menerapkan mekanisme keadilan restoratif sebagaimana diatur dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Keberhasilan tersebut ditandai dengan telah tercapainya kesepakatan perdamaian yang dituangkan dalam surat perjanjian antara terdakwa dan korban dalam perkara penganiayaan yang terjadi di lingkup rumah tangga (KDRT). 

Pada persidangan yang dibuka untuk umum pada Rabu (18/6), Majelis Hakim menanyakan kepada saksi korban, apakah bersedia untuk melakukan musyawarah dengan terdakwa yang merupakan suami dari saksi korban untuk membahas penyelesaian secara kekeluargaan. Hal itu dilakukan, agar persyaratan penyelesaian melalui keadilan restoratif dapat terpenuhi. 

Atas pertanyaan Majelis Hakim, terdakwa telah membenarkan surat dakwaan yang telah dibacakan oleh penuntut umum dan tidak mengajukan nota keberatan terhadap dakwaan tersebut. Saksi korban kemudian menyatakan juga kesediaannya untuk menempuh mekanisme penyelesaian secara keadilan restoratif, sehingga persyaratan untuk dilakukannya mekanisme penyelesaian ini telah terpenuhi.

Selanjutnya di dalam musyawarah yang dilaksanakan di persidangan, Majelis Hakim menanyakan kepada saksi korban kronologis dan kerugian yang timbul akibat adanya perkara tersebut serta apa yang diharapkan dan diminta oleh saksi korban kepada terdakwa untuk mengembalikan kondisi atau mengobati penderitaan yang dialami saksi korban.

Atas pertanyaan tersebut saksi korban sebagai istri dari terdakwa hanya meminta kepada terdakwa untuk mengakui kesalahannya dan berjanji untuk tidak mengulangi lagi perbuatannya yaitu, melakukan kekerasan berupa pemukulan kepada saksi korban, serta berusaha untuk berubah menjadi suami yang lebih baik.

Terhadap keinginan saksi korban tersebut, terdakwa kemudian menyanggupi dan bersedia untuk memenuhi keinginan saksi korban serta berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatannya tersebut.

Atas terjadinya kesepakatan perdamaian tersebut, Majelis Hakim kemudian meminta kepada penasihat hukum terdakwa untuk menuangkan kesepakatan perdamaian tersebut ke dalam sebuah perjanjian tertulis.

Untuk memberikan waktu kepada penasihat hukum menyusun surat perjanjian, Majelis Hakim kemudian melakukan skors sidang. Setelah perjanjian tersebut selesai disusun, Majelis Hakim membuka kembali sidang dan memberikan kesempatan kepada saksi korban dan terdakwa untuk menandatangani surat perjanjian perdamaian tersebut.

Setelah penandatangan surat perjanjian, suasana haru tumpah dimana antara terdakwa dan saksi korban saling memberikan maaf satu sama lain dan saling berpelukan untuk meluapkan rasa syukur kembalinya hubungan baik diantara mereka. 

Kemudian agenda sidang dilanjutkan dengan pemeriksaan saksi-saksi yang lain dan sebelum sidang ditunda untuk agenda selanjutnya di minggu depan, Majelis Hakim menyampaikan kepada para saksi, penasihat hukum terdakwa yaitu Bryan G. Rumahpasal, S.H. dan penuntut umum yaitu Aninditia Widyanti, S.H. serta para pengunjung sidang bahwa keberhasilan penerapan keadilan restoratif dalam perkara ini tidak bertujuan untuk menghapuskan pertanggungjawaban pidana kepada terdakwa. Apabila dalam putusan nanti Majelis Hakim menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana. Keadilan restoratif yang terjadi dalam perkara ini murni bertujuan untuk memulihkan kondisi dan hubungan saksi korban dengan terdakwa. 

Majelis Hakim menambahkan, kesepakatan perdamaian yang terjadi, akan menjadi pertimbangan di dalam putusan untuk menjadi alasan yang meringankan hukuman apabila terbukti atau menjadi pertimbangan untuk menjatuhkan pidana bersyarat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. 

Setelah agenda pemeriksaan para saksi tersebut selesai, Majelis Hakim kemudian menunda sidang hingga Senin (23/6) untuk agenda pembuktian tambahan bagi penuntut umum.

Berdasarkan informasi yang dihimpun dari Juru Bicara Pengadilan Negeri Dataran Hunipopu, penerapan penyelesaian perkara pidana melalui keadilan restoratif dalam perkara nomor 20/Pid.Sus/2025/PN Drh tersebut merupakan salah satu langkah penyelesaian perkara pidana sebagaimana yang diatur dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2024.

Juru bicara menambahkan, diharapkan ke depannya penerapan penyelesaian perkara pidana melalui keadilan restoratif dapat memberikan dampak yang positif pada masyarakat.