Dalam interaksi modern, perjanjian penitipan benda dapat terlihat dalam bentuk kendaraan bermotor yang diletakan pada parkiran perkantoran, pusat perbelanjaan, dan tempat lainnya. Bisa juga, bentuknya berupa penitipan benda bergerak lain, seperti helm atau tas di supermarket.
Dalam konteks, hukum nasional perjanjian penitipan benda, diatur ketentuan Pasal 1694 KUHPerdata. Di mana, pihak yang dititipkan benda oleh pihak lain, wajib menyimpan dan mengembalikan dalam bentuk aslinya.
Adapun bentuk perjanjian penitipan terdiri dari dua jenis, yakni perjanjian penitipan benda sejati dan sekestrasi, sesuai ketentuan Pasal 1695 KUHPerdata.
Penitipan benda sejati, disebut juga penitipan murni dan hanya dapat diperuntukan untuk benda bergerak, sesuai Pasal 1696 KUHPerdata. Sedangkan penitipan sekestrasi, adalah penitipan benda yang diserahkan kepada pihak ketiga, dikarenakan adanya sengketa dan benda, akan diserahkan kepada pihak yang berhak, setelah adanya penyelesaian perselisihan, sebagaimana Pasal 1730 KUHPerdata.
Dalam perjanjian penitipan benda sejati, dapat dilakukan secara sukarela, karena adanya pengikatan timbal balik antara penerima titipan dan pihak yang menyerahkan benda titipan, dan hal itu sesuai Pasal 1699 KUHPerdata.
Selain itu, penitipan benda sejati, dapat dilakukan secara terpaksa dalam kondisi darurat seperti kebakaran, robohnya gedung atau bangunan, perampokan, banjir dan peristiwa lain yang tidak diduga, dan itu sebagaimana ketentuan Pasal 1703 KUHPerdata.
Perjanjian penitipan benda, tidak akan terjadi selama perjanjian benda tidak dilaksanakan secara nyata atau dipersangkakan, dan itu sesuai ketentuan Pasal 1698 KUHPerdata.
Selanjutnya, bagaimanakah terhadap kehilangan benda dalam perjanjian penitipan? Apakah mutlak menjadi tanggung jawab dari pihak yang menyerahkan benda titipan atau penerima titipan?
Berdasarkan Pasal 1708 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), penerima titipan tidak bertanggung jawab atas hilang atau musnahnya benda titipan. Ini berlaku jika benda tersebut memang akan hilang atau musnah meskipun tetap di tangan pihak yang menitipkan.
Guna menjawab pertanyaan tersebut, penulis akan menguraikan kaidah hukum pertimbangan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 117 K/Sip/1956, yang telah ditetapkan sebagai Yurisprudensi pada 1958. Putusan bersejarah tersebut, diputus oleh Majelis Hakim Agung RI, Mr. R Wirjono Projodikoro (Ketua Majelis), dengan didampingi Mr. Sutan Kali Malikul Adil dan Mr. M.H. Tirtaamidjaja (masing-masing sebagai Hakim Anggota).
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 117 K/Sip/1956 menetapkan sebuah kaidah hukum penting terkait perjanjian penitipan. Putusan ini menjelaskan, permintaan agar benda-benda yang dititipkan dikembalikan adalah hal yang wajar. Lebih lanjut, jika benda titipan tersebut hilang atau musnah, maka pemilik berhak menuntut penggantian senilai harga benda yang hilang tersebut.
Menurut putusan ini, tuntutan untuk mengganti benda yang hilang bukanlah permintaan yang aneh atau tidak masuk akal. Oleh karena itu, permintaan semacam ini harus dapat diterima dan dikabulkan. Ini menegaskan hak pemilik barang titipan untuk mendapatkan kembali miliknya atau kompensasi yang setara jika terjadi kehilangan atau kerusakan.
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 117 K/Sip/1956, dapat diakses melalui buku Yurisprudensi Aneka Perjanjian karya Chidir Ali. Semoga dapat, menjadi referensi bagi para hakim dalam memutus perkara serupa dan menambah pengetahuan untuk pembaca lainnya, seperti akademisi dan mahasiswa fakultas hukum.