Majelis Hakim PN Tual Terapkan Prinsip Keadilan Restoratif Perkara Penganiayaan

Atas perdamaian tersebut, korban telah memaafkan perbuatan terdakwa dan diharapkan perdamaian tersebut menjadi bahan pertimbangan penuntut umum dan hakim dalam memutus perkara terdakwa.
Majelis Hakim PN Tual menerapkan keadilan restoratif (restorative justice) dalam memeriksa dan mengadili perkara penganiayaan yang dilakukan terdakwa Muhusin Ngabalin alias Morgen pada sidang yang digelar Rabu (25/6/2025). Foto: dokumentasi pribadi.
Majelis Hakim PN Tual menerapkan keadilan restoratif (restorative justice) dalam memeriksa dan mengadili perkara penganiayaan yang dilakukan terdakwa Muhusin Ngabalin alias Morgen pada sidang yang digelar Rabu (25/6/2025). Foto: dokumentasi pribadi.

MARINews, Tual-Pengadilan Negeri (PN) Tuak mengimplementasikan prinsip keadilan restoratif (restorative justice) dalam memeriksa dan mengadili perkara penganiayaan yang dilakukan terdakwa Muhusin Ngabalin alias Morgen pada sidang yang digelar Rabu (25/6).

Perkara atas nama terdakwa Muhusin Ngabalin alias Morgen tersebut, didaftarkan oleh penuntut umum dari Kejaksaan Negeri Tual ke PN Tual dengan perkara nomor 35/Pid.B/2025/PN Tul. Atas perkara tersebut, yang menjadi “Sang Pengadil” yakni Gerson Hukubun, S.H. sebagai Hakim Ketua, Akbar Ridho Arifin, S.H., dan Jeffry Pratama, S.H., sebagai Hakim Anggota.

Terdakwa Muhusin Ngabalin alias Morgen didakwa penuntut umum dengan bentuk dakwaan tunggal melanggar Pasal 351 ayat (1) KUHPidana.

Perkara Muhusin Ngabalin alias Morgen naik ke meja hijau bermula, ketika terdakwa sebagai anggota KPPS sedang berada di Tempat Pemungutan Suara 02 Pemilihan Kepala Daerah bersama dengan para petugas Tempat Pemungutan Suara 02 lainnya. Kemudian, setelah beberapa saat para saksi dari pasangan calon gubernur dan bupati berdatangan termasuk saksi korban. 

Saksi korban hendak mengatur lokasi duduk para saksi pasangan calon gubernur dan bupati termasuk letak kotak suara beserta dengan bilik tempat pencoblosan. Kemudian saksi Jumadin Ode yang merupakan anggota keamanan TPS 02 langsung menegur saksi korban.

Akan tetapi, saksi korban tidak menghiraukan perkataan saksi Jumadin Ode. Sehingga, saksi Jumadin Ode langsung menunjukkan denah lokasi TPS sebagaimana yang telah ditentukan dari KPU, sehingga saksi korban langsung duduk.

Kemudian proses pemungutan suara dimulai dan beberapa pemilih masuk ke dalam bilik suara dan dilanjutkan dengan pemilih yang lain dengan terlebih dahulu menunjukkan surat undangan. Namun tiba-tiba, saksi korban sambil berdiri di depan meja memanggil salah seorang pemilih yang hendak masuk ke bilik pencoblosan dengan mengatakan “Harus Membawa KTP” sehingga salah seorang pemilih tersebut langsung mengeluarkan KTP dan membanting di atas meja tepat di hadapan saksi korban. 

Kemudian saksi Jumadin Ode kembali menegur saksi korban, dikarenakan terus berdiri dan menghalangi pemilih yang hendak masuk untuk melakukan pencoblosan. Akan tetapi, saksi korban tidak menghiraukan. Melihat hal tersebut, terdakwa kemudian berdiri dan menghampiri saksi korban dan langsung memukul rahang bawah saksi korban dengan menggunakan kepalan tangan kiri sebanyak satu kali, membuat saksi korban jatuh kejang kejang dengan kepala terbentur di lantai sehingga membuat saksi korban pingsan. 

Perbuatan terdakwa mengakibatkan rahang saksi korban terasa sakit serta kepala belakang saksi korban mengalami bengkak. Hal itu, membuat saksi korban tidak dapat menjalankan aktivitas selama beberapa hari dan harus memperoleh bantuan medis di Rumah Sakit Umum Daerah Karel Sadsuitubun.

Atas perkara tersebut, Majelis Hakim berupaya melakukan perdamaian dengan menerapkan keadilan restoratif sebagaimana dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Majelis Hakim sesuai ketentuan pada Perma Nomor 1 Tahun 2024 tersebut, dengan memperhatikan terpenuhinya salah satu dari kriteria yang diatur yaitu tindak pidana dengan ancaman hukuman maksimal lima tahun penjara dalam dakwaan, Majelis Hakim menerangkan mengenai penerapan keadilan restoratif kepada korban dan terdakwa di persidangan. Lalu, atas pemahaman yang disampaikan tersebut, korban bersedia melaksanakan penerapan keadilan restoratif tersebut.

Pada persidangan perdana setelah pembacaan dakwaan dan seluruh dakwaan diakui oleh terdakwa, Majelis Hakim meminta penuntut umum menghadirkan saksi dan korban hadir dan diperiksa. Pada saat pemeriksaan korban bersedia berdamai dengan syarat terdakwa mau memberikan ganti rugi yang dialami korban dan terdakwa menyanggupi permintaan korban tersebut.

Pada persidangan berikutnya, di hadapan Majelis Hakim yang memeriksa perkara tersebut, terdakwa telah memenuhi permintaan korban dengan menyerahkan ganti rugi pengobatan dan obat-obatan kepada korban sebesar Rp8 juta dan pemenuhan ganti rugi tersebut dituangkan di dalam surat pernyataan damai antara korban dan terdakwa yang diwakili oleh penasihat hukumnya.

Atas perdamaian tersebut, korban telah memaafkan perbuatan terdakwa dan diharapkan perdamaian tersebut menjadi bahan pertimbangan penuntut umum dan hakim dalam memutus perkara terdakwa.

Setelah penyelesaian perdamaian tersebut, berdasarkan surat perdamaian Majelis Hakim mengeluarkan dan membacakan di depan persidangan penetapan pengalihan penahanan dari tahanan rutan ke tahanan kota atas diri terdakwa.

Dengan terlaksananya keadilan restoratif tersebut, diharapkan ada pemulihan antara terdakwa dan korban, sehingga ada kedamaian yang timbul di tengah-tengah masyarakat dan bagi PN Tual ini merupakan tanggung jawab moril dalam menegakkan hukum dengan memberikan keadilan kepada pencari keadilan.

Penulis: Andy Narto Siltor
Editor: Tim MariNews