“Peacemaker Justice Award: “Juru Damai” Dari Desa dan Kelurahan Di Seluruh Indonesia”

Peacemaker Justice Award pertama kali diselenggarakan pada tahun 2023 dengan nama Paralegal Justice Award. Pada tahun 2025
Penyelenggaraan Peacemaker Justice Award 2025. Foto: Dokumentasi Penulis
Penyelenggaraan Peacemaker Justice Award 2025. Foto: Dokumentasi Penulis

Pada hari Senin tanggal 24 November 2025 yang lalu, Peacemaker Justice Award (PJA) 2025 telah selesai diselenggarakan di Gedung Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM), Cinere. Kegiatan tersebut diikuti oleh 130 Kepala Desa/Lurah yang merupakan hasil seleksi dari 1.023 kepala desa/lurah di seluruh Indonesia.

Mungkin banyak yang belum mengetahui apa itu PJA. PJA adalah penghargaan nasional yang diberikan oleh Kementerian Hukum (Kemenkum) kepada kepala desa dan lurah di seluruh Indonesia atas kontribusi mereka dalam menciptakan ketertiban, menyelesaikan sengketa secara damai, serta mendorong terciptanya keadilan sosial di tengah masyarakat.

Peacemaker Justice Award pertama kali diselenggarakan pada tahun 2023 dengan nama Paralegal Justice Award. Pada tahun 2025, nama Paralegal Justice Award kemudian diubah menjadi Peacemaker Justice Award. Perubahan nama tersebut bertujuan untuk menekankan peran utama kepala desa/lurah sebagai "Peacemaker" atau juru damai yang mengedepankan solusi non-litigasi (restorative justice) dan nilai-nilai lokal.

Penyelenggaraan PJA adalah untuk memberikan penghargaan atas dedikasi kepala desa/lurah yang telah berperan sebagai “juru damai” dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi di masyarakat secara non-litigasi serta untuk mendorong kepala desa/lurah agar selalu mengupayakan penyelesaian permasalahan yang terjadi di masyarakat secara non-litigasi.

PJA sendiri dapat diselenggarakan atas kolaborasi antara Kemenkum, Mahkamah Agung (MA), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Desa, Pembangunan Desa Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes-PDTT). 

Dalam penyelenggaraan PJA, MA berperan sebagai narasumber dan pemberi materi dalam Peacemaker Training. MA memberikan pembekalan dan pengenalan mengenai konsep mediasi, restorative justice, penyelesaian sengketa dengan menggunakan nilai-nilai dalam masyarakat (living law), dan sistem hukum yang relevan dengan tugas peacemaker. Dengan demikian, kepala desa/lurah memiliki pemahaman yang cukup untuk menunjang peran mereka sebagai “juru damai.”

Setelah mengikuti Peacemaker Training, para kepala desa dan lurah yang mengikuti kegiatan tersebut diharapkan untuk mengaplikasikan ilmu yang diperoleh dari training tersebut dan mampu berperan untuk menjadi fasilitator sekaligus mediator yang menerapkan prinsip-prinsip restorative justice dalam menyelesaikan permasalahan dalam masyarakat sehingga tercipta stabilitas dan harmoni di masyarakat.

Dalam PJA 2025, 130 kepala desa/lurah menceritakan kesuksesan mereka menjadi “juru damai” bagi masyarakat di masing-masing daerah. Misalnya cerita dari Ibu Fadhilah Nursehati, Lurah dari Kelurahan Cikoko, Jakarta, yang menceritakan kesuksesan beliau dalam menyelesaikan permasalahan warga di Cikoko dengan pihak PLN terkait pemasangan tiang listrik yang masuk ke dalam lahan warga. Kemudian ada cerita dari Bapak Rispel Murni, Kepala Desa Tabek, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, yang menceritakan bagaimana beliau menyelesaikan sengketa perebutan tanah ulayat di Desa Tabek antara ahli waris dengan menggunakan hukum adat di Sumatera Barat. Kemudian cerita Bapak Wawan Bonde, Kepala Desa Doloduo Dua, Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, yang aktif mencari tahu permasalahan di masyarakat bahkan sebelum masalah tersebut diinfomasikan kepada pihak aparat Desa sehingga beliau dapat segera menyelesaikan permasalahan tersebut, dan masih banyak cerita kesuksesan kepala desa dan lurah dalam menjalankan peran sebagai “juru damai.”    

Kehadiran kepala desa dan lurah sebagai “juru damai” justru membantu tugas-tugas pengadilan dalam menyelesaikan sengketa di masyarakat. Banyak permasalahan yang mungkin sulit diselesaikan di persidangan namun dapat diselesaikan oleh kepala desa dan lurah. Hal tersebut dapat terjadi karena alasan-alasan sebagai berikut:

 

  1. Kepala Desa dan Lurah merupakat aparat pemerintah yang tinggal dan hidup di tengah masyarakat. Hal tersebut menjadikan kepala desa dan lurah dapat segera mengetahui permasalahan-permasalahan yang terjadi di masyarakat dan dapat segera menyelesaikan permasalahan tersebut sehingga tidak perlu dilakukan proses litigasi;
  2. Kepala Desa dan Lurah lebih mengetahui dan mengenal hukum atau nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat (living law). Umumnya, kepala desa dan lurah dipilih dari putra-putri daerah atau setidak-tidaknya tokoh yang sudah lama tinggal dan menetap di suatu daerah, sehingga kepala desa dan lurah lebih mengenal living law yang hidup di masyarakat dibandingkan dengan hakim, sehingga kepala desa dan lurah dapat menyelesaikan permasalahan masyarakat dengan mengaplikasikan living law tersebut. Harus dipahami, sebagian besar masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat adat, masih lebih memilih penyelesaian masalah berdasarkan living law dibandingkan dengan hukum nasional;
  3. Kepala Desa dan Lurah adalah tokoh masyarakat. Sebagai tokoh masyarakat, kepala desa dan lurah memiliki kedekatan baik secara emosional maupun sosiologis dengan masyarakat. Bagi masyarakat, kepala desa dan lurah bukan orang asing, melainkan bagian dari komunitas itu sendiri. Sebagai tokoh masyarakat, kepala desa dan lurah juga memiliki “kekuatan” untuk memaksa para pihak yang bersengketa menjalankan hasil dari kesepakatan yang telah dicapai dalam proses mediasi;
  4. Kepala Desa dan Lurah seringkali mengetahui dari permasalahan-permasalahan yang muncul di tengah masyarakat, sehingga kepala desa dan lurah dapat menyelesaikan permasalahan dengan langsung menyentuh akar permasalahan.

Dalam pendekatan penyelesaian sengketa yang mengutamakan prinsip restorative justice, kehadiran kepala desa dan lurah sebagai “juru damai” sangat penting. Dengan keberadaan para “juru damai” tersebut, permasalahan dapat diselesaikan di tingkat paling bawah dan tidak perlu menjalani proses litigasi. Dengan demikian penyelesaian perkara akan lebih cepat selesai dan dapat meringankan beban penyelesaian perkara di pengadilan.