PN Bitung Berhasil Terapkan Restorative Justice, Jadi Solusi Pemulihan bagi Korban dan Pelaku

Pendekatan ini digunakan dalam perkara penggelapan nomor 169/Pid.B/2025/PN Bit, yang melibatkan terdakwa Frangky K. Lumoring.
Penerapan restorative justice di PN Bitung/ Foto : Dokumentasi PN Bitung
Penerapan restorative justice di PN Bitung/ Foto : Dokumentasi PN Bitung

MARINews, Bitung - Pengadilan Negeri (PN) Bitung kembali mencatat keberhasilan dalam menerapkan Restorative Justice (RJ) sebagai penyelesaian perkara pidana secara lebih humanis. 

Pada Kamis (20/11), pendekatan ini digunakan dalam perkara penggelapan nomor 169/Pid.B/2025/PN Bit, yang melibatkan terdakwa Frangky K. Lumoring.

Terdakwa didakwa melanggar Pasal 372 KUHP terkait penggelapan polis asuransi yang seharusnya diserahkan kepada korban, Agnes Karolina Tumbol. Setelah proses persidangan, majelis hakim menyatakan terdakwa terbukti melakukan tindak pidana penggelapan.

“Menyatakan Terdakwa Frangky K. Lumoring terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah…,” ucap Ketua Majelis dalam sidang pembacaan putusan.

Majelis kemudian menjatuhkan pidana penjara delapan bulan dengan masa percobaan tiga tahun, sejalan dengan kesepakatan damai yang telah dicapai kedua belah pihak. 

Putusan tersebut juga menetapkan syarat khusus bahwa terdakwa wajib mengganti kerugian kepada korban senilai Rp5 juta per bulan hingga seluruh kerugian terpenuhi. Jika lalai, maka pidana delapan bulan dapat dijalankan.

Dalam pertimbangan hakim, penjatuhan pidana bersyarat ini merupakan bagian dari implementasi PERMA Nomor 1 Tahun 2024 mengenai pedoman mengadili perkara pidana berdasarkan keadilan restoratif. 

Aturan ini memungkinkan penyelesaian perkara melalui RJ apabila pelaku dan korban sudah mencapai kesepakatan, meski belum seluruhnya dilaksanakan.

Kasus tersebut bermula ketika korban menyerahkan polis asuransi untuk diproses terdakwa. Namun setelah klaim cair, terdakwa tidak menyampaikan hasilnya kepada korban. 

Konflik kemudian berakhir melalui kesepakatan perdamaian, termasuk pengembalian aset dan kewajiban cicilan kerugian.

Majelis menilai kedua pihak menunjukkan itikad baik. Terdakwa mengakui perbuatan, meminta maaf secara terbuka, serta berkomitmen mengganti kerugian. Korban pun menerima permintaan maaf dan bersedia menyelesaikan perkara melalui pendekatan pemulihan.

Pendekatan ini, menurut majelis hakim, sejalan dengan prinsip ultimum remedium, di mana pemidanaan menjadi opsi terakhir.

Restorative Justice dianggap memberikan manfaat lebih besar karena memulihkan kerugian, memperbaiki hubungan sosial, dan mencegah terulangnya tindak pidana.

Majelis juga mempertimbangkan kesepakatan perdamaian yang telah dilaksanakan sebagian, termasuk penyerahan mobil dan tanah oleh terdakwa sebagai bagian dari penggantian kerugian. 

Komitmen pembayaran bulanan sebesar Rp5 juta juga menjadi bagian dari mekanisme pemulihan yang wajib dijalankan.

Ketua PN Bitung Cita Savitri memberi apresiasi terhadap langkah majelis hakim yang menerapkan RJ secara proporsional.

“Keadilan restoratif bukan berarti menghapus tanggung jawab pelaku, tetapi mengedepankan nilai kemanusiaan, pemulihan, dan keharmonisan sosial. PN Bitung berkomitmen mengejawantahkan RJ sesuai pedoman Mahkamah Agung,” ujarnya.

Ia menegaskan keberhasilan ini mencerminkan meningkatnya kesadaran akan pentingnya penyelesaian perkara pidana yang fokus pada pemulihan, bukan pembalasan. Pendekatan tersebut dinilai mampu memperkuat kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan.

Dengan keberhasilan penyelesaian perkara ini, PN Bitung berharap praktik Restorative Justice dapat terus menjadi inspirasi nasional dalam menghadirkan peradilan yang lebih humanis, berkeadilan sosial, dan bermanfaat bagi semua pihak.

Penulis: Tim MariNews
Editor: Tim MariNews