Mengapa Vrijwaring tidak dikenal di Peradilan Tata Usaha Negara?

Ketiadaan vrijwaring dalam jenis intervensi di Peradilan Tata Usaha Negara juga disebutkan oleh Indroharto yang hanya menyebut jenis tussenkomst dan voeging.
Ilustrasi gambar prosedur eksekusi upaya paksa putusan pengadilan tata usaha negara (PTUN). Gambar ilustrasi dibuat gemini AI)
Ilustrasi gambar prosedur eksekusi upaya paksa putusan pengadilan tata usaha negara (PTUN). Gambar ilustrasi dibuat gemini AI)

HIR/RBg tidak mengenal voeging, tussenkomst, dan vrijwaring, tetapi apabila benar-benar dibutuhkan dalam praktik sedangkan belum terdapat kaidah hukum yang mengaturnya, ketiga jenis intervensi itu dapat dijelaskan dengan berpedoman dan merujuk pada Rv yang diatur dalam Pasal 279 Rv dan seterusnya, dan pada Pasal 70 Rv dan seterusnya. 

Dari Rv inilah para sarjanawan hukum menjelaskan jenis-jenis pihak ketiga dalam perkara perdata.

Jika jenis-jenis intervensi diatas kita tarik dalam kerangka hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara, ada satu jenis yang tidak muncul dalam teori-teori yang dikemukakan oleh sarjanawan hukum, yaitu vrijwaring. 

Misalnya saja menurut Rozali Abdullah, yang menyebut ketikutsertaan pihak ketiga dalam proses berperkara di pengadilan TUN dimungkinkan dalam tiga jenis tidak termasuk didalamnya vrijwaring, yaitu (Rozali Abdullah, 2001):

  1. Tussenkomst, yaitu pihak ketiga dengan kemauan sendiri dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk turut serta dalam proses pemeriksaan perkara yang sedang berjalan, guna mempertahankan atau membela hak dan kepentingannya sendiri agar ia jangan sampai dirugikan oleh putusan pengadilan.
  2. Voeging, yaitu ikut sertanya pihak ketiga dalam proses pemeriksaan tata usaha negara yang sedang berjalan atas permintaan salah satu pihak yang bersengketa yaitu penggugat atau tergugat.
  3. Intervensi khusus, yaitu masuknya pihak ketiga dalam proses pemeriksaan perkara yang berjalan merupakan prakarsa dari hakim yang memeriksa perkara tersebut.

Ketiadaan vrijwaring dalam jenis intervensi di Peradilan Tata Usaha Negara juga disebutkan oleh Indroharto yang hanya menyebut jenis tussenkomst dan voeging sebagai jenis-jenis intervensi dalam acara peradilan tata usaha negara (Indroharto, Buku II, 1994). 

Bahkan Indroharto hanya menyebut dua jenis intervensi saja, yaitu tussenkomst dan voeging tanpa ditambahkan intervensi khusus sebagaimana disebutkan oleh Rozali Abdullah. 

Bagi Indroharto, masuknya pihak ketiga yang berasal dari prakarsa hakim bisa tetap dikategorikan sebagai voeging.

Terlepas dari teori intervensi yang menyebutkan jenis tussenkomst dan voeging, ketentuan Pasal 83 UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara tidak terlalu fokus pada perbedaan intervensi secara teoretik, namun hanya membagi jenis intervensi secara fungsi. 

Dalam Pasal 83 UU Peradilan Tata Usaha Negara hanya dijelaskan dua jenis intervensi, yaitu: intervensi yang muncul untuk membela haknya sendiri; dan intervensi yang bergabung dengan salah satu pihak yang bersengketa. 

Mengapa jenis intervensi vrijwaring tidak muncul dalam teori-teori Peradilan Tata Usaha Negara? Menurut penulis, hal ini harus kita uraikan terlebih dahulu dari tujuan lahirnya Peradilan Tata Usaha Negara itu sendiri.

Peradilan Tata Usaha Negara didirikan dengan tujuan sebagai alat kontrol secara yuridis (judicial control) terhadap tindakan pemerintah yang dinilai melanggar ketentuan administrasi (maladministrasi) ataupun perbuatan yang bertentangan dengan hukum (abuse of power).
 
Melihat tujuan dari lahirnya Peradilan Tata Usaha Negara tersebut, terlihat jelas bahwa yang menjadi aktor pihak yang digugat adalah badan atau pejabat tata usaha negara. 

Pihak ketiga lain yang ditarik sebagai intervensi tentu hanya akan bermuara pada tussenkomst dan voeging, karena pihak ketiga yang ditarik tidak bisa dimintai pertanggungjawaban mutlak seperti vrijwaring sebagaimana dalam perkara perdata di Peradilan Umum. 

Pihak intervensi dalam perkara tata usaha negara tidak bisa mencabut keputusan tata usaha negara (KTUN) karena keputusan yang disengketakan merupakan produk dari badan atau pejabat tata usaha negara yang bersangkutan. 

Maka pihak yang berhak untuk mencabut atau menerbitkan KTUN hanyalah pihak tergugat dalam perkara tata usaha negara, bukan pihak ketiga atau pihak intervensi.

Hal ini menjadi logis untuk dipahami mengapa dalam teori-teori yang dikemukakan oleh sarjanawan hukum, hanya menyebut jenis tussenkomst dan voeging sebagai jenis-jenis intervensi dalam Peradilan Tata Usaha Negara. 

Jenis intervensi vrijwaring sebagai pihak ketiga yang bisa ditarik untuk ikut bertanggung jawab dan memberikan ganti kerugian terhadap isi gugatan sebagaimana telah ada dalam perkara perdata, tidak dimungkinkan lahir dalam perkara tata usaha negara. 

Referensi:

Abdullah, Rozali. 2001. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Indroharto. 1994. Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Buku II. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Penulis: Idik Saeful Bahri
Editor: Tim MariNews