Poin Penting Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

Dia membuka pidato ilmiahnya dengan memaparkan posisi Indonesia sebagai negara hukum, yang ditandai dengan eksistensi peradilan tata usaha negara yang merupakan unsur penting dalam sebuah negara hukum modern.
Profesor Kehormatan Hakim Agung Yodi Martono Wahyunadi sedang menyampaikan makalahnya di Auditorium Universitas Islam Sultan Agung Semarang. Foto: YouTube MA
Profesor Kehormatan Hakim Agung Yodi Martono Wahyunadi sedang menyampaikan makalahnya di Auditorium Universitas Islam Sultan Agung Semarang. Foto: YouTube MA

MARINews, Semarang-Bertempat di Auditorium Universitas Islam Sultan Agung Semarang, Dr. Yodi Martono Wahyunadi, S.H., M.H. yang merupakan Hakim Agung pada Kamar Tata Usaha Negara Mahkamah Agung RI, mendapatkan kehormatan untuk dikukuhkan sebagai Guru Besar Kehormatan Bidang Ilmu Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang.

Pidato Ilmiah Berjudul Pembaruan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Guna Terwujudnya Kodifikasi Hukum yang Unifikasi 

Ia membuka pidato ilmiahnya dengan memaparkan posisi Indonesia sebagai negara hukum, yang ditandai dengan eksistensi peradilan tata usaha negara yang merupakan unsur penting dalam sebuah negara hukum modern. Yang hadir untuk memastikan setiap keputusan pejabat pemerintah tidak melanggar hukum, merugikan individu, atau bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Keputusan Tata Usaha Negara merupakan suatu penetapan tertulis dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum yang bersifat konkret, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Terhadap keputusan tersebut dapat digugat jika bertentangan denagn asas-asas umum pemerintahan yang baik serta asas perlindungan terhadap hak asasi manusia.

Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, memperluas kewenangan peradilan tata usaha negara. dengan adanya penambahan kewenangan tersebut berdampak pada hukum acara atau formil peradilan tata usaha negara. hal tesebut mengakibatkan hukum acara peradilan tata usaha negara tersebar pada berbagai peraturan Mahkamah Agung. Kondisi tersebut mengakibatkan bertentangan dengan prinsip kodifikasi hukum yang seharusnya kumpulan peraturan sifatnya sederhana, mudah dikuasai, tersusun secara logis, serasi, dan pasti.

Mahkamah Agung (MA) telah menerbitkan beberapa peraturan penting untuk mengatur hukum acara di Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Peraturan-peraturan ini bertujuan untuk memberikan pedoman yang jelas bagi para pihak dan hakim dalam menyelesaikan sengketa administrasi pemerintahan.

Berikut adalah beberapa di antaranya:

1. PERMA Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara dalam Penilaian Unsur Penyalahgunaan Wewenang: Peraturan ini memberikan panduan tentang bagaimana hakim harus menilai adanya unsur penyalahgunaan wewenang oleh badan atau pejabat pemerintahan dalam suatu keputusan atau tindakan administrasi. Ini penting untuk memastikan bahwa kekuasaan tidak disalahgunakan dan hak-hak warga negara terlindungi.

2. PERMA Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Administrasi Pemerintahan Setelah Menempuh Upaya Administrasi: Peraturan ini mengatur prosedur penyelesaian sengketa administrasi setelah pihak yang bersengketa menempuh upaya administratif di instansi pemerintahan terkait. Ini menekankan pentingnya penyelesaian sengketa secara internal sebelum dibawa ke PTUN.

3. PERMA Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintahan dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (Onrechtmatige Overheidsdaad): Peraturan ini sangat signifikan karena memberikan pedoman penyelesaian sengketa terkait tindakan konkret pemerintah, termasuk mengadili perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige overheidsdaad) oleh badan atau pejabat pemerintahan. Ini memperluas jangkauan PTUN untuk menguji tidak hanya keputusan, tetapi juga tindakan langsung pemerintah yang merugikan masyarakat.

Perlu dicatat bahwa PERMA Nomor 8 Tahun 2017 tentang Pedoman Beracara untuk Memperoleh Putusan Atas Penerimaan Permohonan Guna Mendapatkan Keputusan dan/atau Tindakan Badan atau Pejabat Pemerintahan sudah tidak berlaku lagi. Pencabutan ini seiring dengan dihapusnya kewenangan Peradilan TUN untuk mengadili permohonan fiktif positif, sebuah perubahan penting dalam praktik hukum acara PTUN.

Selain itu, adapula kewenangan peradilan tata usaha negara yang diatur dalam undang-undang sektoral dan hukum acaranya diatur dalam PERMA Nomor 2 Tahun 2011 terkait Sengketa Keterbukaan Informasi Publik, PERMA Nomor 2 Tahun 2016 terkait Sengketa Pengadaan Tanah, PERMA Nomor 3 Tahun 2015 dan PERMA Nomor 11 Tahun 2016 terkait Sengketa Pemilihan Kepala Daerah, PERMA Nomor Nomor 5, 6 Tahun 2017 terkait Sengketa Proses Pemilu di TUN, PERMA Nomor 1 tahun 2023 terkait Sengketa TUN Lingkungan Hidup, dan PERMA Nomor 2 Tahun 2023 terkait Sengketa Kepegawaian.

Selain itu, ternyata ada juga undang-undang sektoral yang mengatur hukum acara peradilan tata usaha negara, antara lain Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2014 tentang Konservasi Tanah dan Air, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2018 terkait sengketa Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Lebih lanjut Ia memaparkan terkait pokok-pokok pembaruan hukum acara peradilan tata usaha negara yaitu:

1. Perlu penataan dalam prosedur pemeriksaan acara singkat;

2. Dalam acara cepat, perlu pembatasan waktu penyelesaian perkara di tingkat banding dan kasasi;

3. Prosedur beracara dipertegas perkara apa saja yang harus terlebih dahulu melalui upaya administrasi;

4. Perlu diatur gugatan class action tidak hanya perkara lingkungan hidup;

5. Perlu diatur gugatan Citizent Law Suits (CLS) tidak hanya perkara lingkungan hidup;

6. Prosedur terhadap sengketa perkara TUN Khusus dengan sistem 2 tingkat;

7. Prosedur perkara permohonan ada tidaknya unsur penyalahgunaan wewenang prioritas diselesaikan terlebih dahulu di Peradilan TUN;

8. Prosedur penyelesaian keputusan fiktif positif atau fiktif negatif di Peradilan TUN;

9. Peradilan Elektronik, terkait bukti elekronik, sahnya pemanggilan dan pemberitahuan, pengiriman salinan putusan, prosedur upaya hukum;

10. Perlu penataan ulang terhadap prosedur eksekusi, terkait tahapan secara rinci dalam pengawasan eksekusi, peran Kemendagri dan Kemepan RB dalam pengawasan eksekusi, pelibatan lembaga lain (spt: Ombudsman) ikut dalam pengawasan eksekusi, serta terkait prosedur ganti rugi.

Pokok-pokok pembaruan hukum acara peradilan Tata Usaha Negara tersebut, perlu ditindaklanjuti dalam suatu kajian keilmuan dan dapat dijadikan bahan dorongan agar pembentukan pembaruan undang-undang hukum acara peradilan tata usaha negara dapat segera dilaksanakan.

Perkembangan teknologi telah membawa perubahan signifikan, bahkan dalam sistem peradilan. Di Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), kebutuhan akan adaptasi hukum acara dengan kemajuan teknologi diakomodasi melalui Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik, yang kemudian diubah dengan PERMA Nomor 7 Tahun 2022.

Peraturan ini menjadi payung hukum dan pedoman utama bagi pelaksanaan persidangan secara elektronik (e-court) di lingkungan PTUN. E-court ini, membawa angin segar sekaligus perbedaan substansial jika dibandingkan dengan pengaturan hukum acara yang terdapat dalam Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara sebelumnya.

Beberapa aspek krusial yang mengalami penyesuaian signifikan berkat e-court ini antara lain:

- Pemanggilan Para Pihak: Prosedur pemanggilan tidak lagi terbatas pada cara konvensional, melainkan juga dapat dilakukan secara elektronik, membuat proses lebih cepat dan efisien.

- Pelaksanaan Pemeriksaan Persidangan: Tahapan persidangan dapat dilakukan secara elektronik, mengurangi kebutuhan kehadiran fisik dan memungkinkan fleksibilitas yang lebih besar.

- Penentuan Tenggang Waktu: Peraturan ini juga mengatur secara spesifik tenggang waktu untuk berbagai proses, mulai dari pemanggilan, pemberitahuan putusan, hingga pengajuan upaya hukum, semua disesuaikan dengan mekanisme elektronik.

Transformasi menuju e-court ini tidak hanya mempercepat proses peradilan, tetapi juga meningkatkan efisiensi dan aksesibilitas bagi para pencari keadilan di PTUN.

Penangangan pemeriksaan secara elektronik tidak hanya permasalahan hukum acara tetapi juga menyangkut tekhnologi informasi. Perlu adanya standar penggunaan internet, aplikasi persidangan, dan keamanan data elektronik. Selain itu pula diperlukan pengaturan yang baku mengenai pemeriksaan bukti elektronik.

Pokok-pokok pembaruan hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara tersebut perlu ditindaklanjuti dalam suatu kajian keilmuan dan dapat dijadikan bahan dorongan agar pembentukan pembaruan undang-undang hukum acara peradilan tata usaha negara dapat segera dilaksanakan.

Ia menyimpulkan, bahwa pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) perlu membuat Kitab Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara yang berlaku bagi semua perkara yang mengatur Perkara TUN umum dan perkara TUN khusus (sektoral) dan yang unifikasi, yakni berlaku di semua wilayah negara Republik Indonsesia. Penanganan perkara sengketa khusus (sektoral) terdiri dari dua tingkat.

Tingkat pertama di PTUN tanpa adanya banding atau Pengadilan Tinggi TUN sebagai tingkat pertama dan upaya hukumnya kasasi. Dalam pembaruan hukum acara mengakomodir peradilan elektronik.

Acara tersebut dihadiri pula oleh Ketua Mahkamah Agung RI, Ketua Mahkamah Konstitusi RI, Wakil Ketua Mahkamah Agung Non Yudisial, para Ketua Kamar Mahkamah Agung, serta jajaran pejabat Universitas Islam Sultan Agung Semarang.