MARINews, Poso - Indonesia terus berada dalam bayang-bayang krisis ekologis. Laju deforestasi yang meningkat, pencemaran sungai dan pesisir, serta kian rapuhnya tutupan hutan telah memicu banjir bandang, longsor, dan rusaknya sumber-sumber kehidupan masyarakat.
Namun di tengah situasi tersebut, peradilan menunjukkan bahwa negara tidak tinggal diam.
Salah satu bukti paling konkret datang dari Putusan Nomor 202/Pdt.Sus-LH/2024/PN Poso, yang mengabulkan gugatan organisasi lingkungan WALHI terhadap tiga perusahaan industri nikel, Menteri Lingkungan Hidup RI, Gubernur Sulawesi Tengah dan Bupati Morowali Utara.
Putusan ini kembali menegaskan peradilan sebagai benteng terakhir keadilan ekologis di Indonesia.
Gugatan diajukan Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) pada 10 Desember 2024. WALHI menilai kegiatan industri nikel di kawasan Morowali Utara termasuk aktivitas smelter, PLTU batu bara, terminal khusus, hingga mobilisasi tongkang telah menimbulkan pencemaran udara, air, dan laut, serta berdampak langsung pada kesehatan masyarakat dan keberlanjutan ekologi.
Gugatan diajukan terhadap:
- PT Stardust Estate Investment – pengelola kawasan industri nikel seluas ±1.337 hektare.
- PT Gunbuster Nickel Industry (GNI) – pelaku usaha smelter dan perencanaan terminal khusus.
- PT Nadesico Nickel Industry (NNI) – perusahaan smelter lainnya di kawasan yang sama.
- Menteri Lingkungan Hidup, Gubernur Sulawesi Tengah, dan Bupati Morowali Utara sebagai turut tergugat karena dinilai lalai melakukan pengawasan.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim mengurai temuan pencemaran secara detail. Bukti-bukti diperoleh dari AMDAL perusahaan, hasil pemantauan lapangan, wawancara masyarakat, serta uji laboratorium yang dilakukan WALHI Sulawesi Tengah bersama beberapa organisasi independen.
Hakim menyoroti keluhan masyarakat Desa Tanauge yang kerap terpapar fly ash PLTU, dan emisi kendaraan tambang.
Polusi udara menyebabkan gangguan pernapasan hingga penyakit kulit. Temuan ini bertolak belakang dengan indikator baku mutu udara yang semestinya dijaga perusahaan.
Uji laboratorium pada 2 Juli 2024 menunjukkan parameter warna, oksigen biokimiawi (BOD), oksigen kimiawi (COD), klorida, belerang, hingga total coliform berada jauh di atas baku mutu PP 22/2021.
Air sungai di sekitar kawasan industri tidak lagi memenuhi kualitas air kelas I–III, sehingga merugikan masyarakat dan ekosistem.
Air laut di wilayah terminal khusus menunjukkan kadar logam berat seperti nikel, arsen, dan sianida. Bahkan uji terhadap ikan dan kerang konsumsi masyarakat mengungkap keberadaan merkuri, timbal, dan cadmium, yang dapat berdampak jangka panjang terhadap kesehatan.
Putusan yang diucapkan pada hari Rabu (3/12) ini juga mencatat aspek kerugian sosial. Nelayan di Desa Tanauge kehilangan wilayah tangkap karena laut tercemar dan biota menghilang akibat aktivitas tongkang batu bara serta pembuangan limbah industri.
Mereka terpaksa melaut lebih jauh, dengan biaya lebih besar tetapi hasil semakin sedikit. Banyak warga akhirnya beralih menjadi buruh industri, sebuah pergeseran ekonomi yang dinilai sebagai konsekuensi paksa dari degradasi lingkungan.
Majelis hakim yang dipimpin Ketua Majelis Andri Natanael Partogi, S.H., M.H., dengan para Hakim Anggota Achmad Fauzi Tilameo, S.H., dan Ray Pratama Siadari, S.H., M.H., dibantu oleh Tirza Grace Yuliani Pau, S.H., menyatakan para tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum, karena gagal memenuhi kewajiban perlindungan lingkungan sebagaimana diatur UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, tidak melaksanakan janji mitigasi yang tercantum dalam AMDAL dan RKL-RPL, tidak memulihkan pencemaran yang terjadi dan tidak menjaga asas keberlanjutan, kemanfaatan, serta kehati-hatian.
Hakim juga menilai pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten lalai menjalankan fungsi pengawasan, karena membiarkan pencemaran berlangsung tanpa tindakan nyata. Kelemahan pengawasan dianggap turut menyebabkan kerusakan ekologi berlarut-larut.
Putusan PN Poso menegaskan bahwa perusahaan wajib:
- melakukan pemulihan lingkungan,
- membayar uang paksa (dwangsom),
- hingga membayar ganti rugi serta biaya nyata yang dikeluarkan WALHI untuk investigasi serta uji laboratorium.
Putusan ini juga menegaskan kembali prinsip polluter pays, yaitu pencemar wajib membayar dan memulihkan kerusakan lingkungan.
Di tengah meningkatnya tekanan industri ekstraktif dan masifnya deforestasi yang memperburuk bencana ekologis, putusan ini menjadi pengingat penting. Ia menunjukkan bahwa ketika pengawasan administratif melemah dan mekanisme perizinan gagal mencegah kerusakan, pengadilan hadir untuk menegakkan keadilan ekologis dan melindungi hak masyarakat atas lingkungan hidup yang sehat.
Putusan PN Poso bukan sekadar memenangkan gugatan WALHI, tetapi juga mengirim pesan kuat bahwa perlindungan lingkungan bukan opsi, melainkan kewajiban hukum dan moral bagi setiap pelaku usaha dan pemerintah.
