Urgensi Pembentukan Undang-Undang Mediasi di Indonesia

Pemerintah dan pemangku kepentingan harus segera merancang dan mengesahkan undang-undang ini agar sistem hukum Indonesia semakin adaptif dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat modern.
Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Surabaya Dr. Marsudin Nainggolan, S.H., M.H. (kiri) dalam kegiatan Pelantikan Pengurus, Seminar, dan Halalbihalal Pusat Mediasi dan Resolusi Konflik (PMRK) yang digelar di Surabaya pada 26 April 2025. Foto istimewa
Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Surabaya Dr. Marsudin Nainggolan, S.H., M.H. (kiri) dalam kegiatan Pelantikan Pengurus, Seminar, dan Halalbihalal Pusat Mediasi dan Resolusi Konflik (PMRK) yang digelar di Surabaya pada 26 April 2025. Foto istimewa

MARINews, Surabaya-Setiap tahun, jumlah perkara yang masuk ke pengadilan di Indonesia terus meningkat, baik dari segi kuantitas maupun kompleksitas kualitasnya.

Peningkatan ini menyebabkan beban kerja pengadilan semakin berat dan menimbulkan penumpukan perkara (backlog). Dalam situasi seperti ini, diperlukan alternatif penyelesaian sengketa yang efektif dan efisien untuk mendukung terciptanya keadilan yang lebih cepat, hemat biaya, dan memuaskan semua pihak. Salah satu alternatif tersebut adalah melalui mekanisme mediasi.

Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Surabaya Dr. Marsudin Nainggolan, S.H., M.H. dalam kegiatan Pelantikan Pengurus, Seminar, dan Halalbihalal Pusat Mediasi dan Resolusi Konflik (PMRK) yang digelar di Surabaya pada 26 April 2025, menyatakan, mediasi telah menjadi salah satu bentuk penyelesaian sengketa yang diakui dalam sistem hukum Indonesia, baik di dalam pengadilan maupun di luar pengadilan.

Namun sayangnya, menurut Marsudin, hingga saat ini undang-undang yang secara khusus mengatur tentang mediasi belum ada. Ketentuan mengenai mediasi masih tersebar di berbagai peraturan sektoral, tanpa adanya satu regulasi induk yang mengaturnya secara komprehensif. Hal ini membuat masyarakat ragu menggunakan mediasi karena mengkhawatirkan legalitas akhirnya.

Berikut adalah alasan mengapa regulasi mediasi harus segera diwujudkan, pertama, dalam konteks filosofis, mediasi sejalan dengan nilai-nilai luhur Pancasila yang mengedepankan musyawarah mufakat dalam menyelesaikan perbedaan. Konsep "Justice in Many Rooms" dari Marc Galanter menegaskan bahwa keadilan dapat ditemukan di berbagai ruang, tidak hanya di pengadilan formal. Pendekatan musyawarah dalam mediasi memberikan keadilan prosedural yang mendukung tercapainya keadilan substantif, sebagaimana diajarkan oleh John Rawls.

Kedua, secara sosiologis, kebutuhan masyarakat terhadap penyelesaian sengketa yang lebih cepat, murah, dan berorientasi pada perdamaian semakin mendesak. Tanpa adanya landasan hukum yang kuat, hasil-hasil mediasi seringkali sulit dieksekusi, dan kepercayaan masyarakat terhadap mekanisme ini pun menjadi terbatas. Kehadiran Undang-Undang Mediasi akan memberikan kepastian hukum terhadap hasil mediasi, mempercepat penyelesaian perkara, serta mengurangi beban berat di pengadilan.

Ketiga, praktik internasional menunjukkan, banyak negara telah mengatur mediasi melalui undang-undang khusus, seperti Malaysia dengan The Mediation Act 2012, Singapura dengan Singapore Mediation Act 2017, serta negara-negara Uni Eropa melalui EU Mediation Directive 2008/52/EC. Mereka telah membuktikan bahwa regulasi yang jelas tentang mediasi berkontribusi besar terhadap efisiensi dan keadilan dalam sistem penyelesaian sengketa mereka.

Dan keempat, dalam perspektif yuridis, Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman memang mengakui mediasi sebagai bagian dari alternatif penyelesaian sengketa. Namun, tanpa pengaturan yang rinci dan tersentralisasi, pelaksanaan mediasi di Indonesia masih menghadapi berbagai kendala teknis dan hukum, termasuk belum adanya standar nasional untuk sertifikasi mediator serta mekanisme eksekusi hasil mediasi yang kuat.

Melihat dari semua itu, Marsudin menyatakan, pembentukan Undang-Undang Mediasi menjadi kebutuhan mendesak untuk mendukung penyelesaian sengketa yang efektif, memberikan kepastian hukum, mengurangi beban perkara di pengadilan, dan mendorong terciptanya keadilan restoratif di tengah masyarakat. Pemerintah dan pemangku kepentingan harus segera merancang dan mengesahkan undang-undang ini agar sistem hukum Indonesia semakin adaptif dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat modern.
 

Penulis: Azzah Zain Al Hasany
Editor: Sobandi