Pengadilan merupakan institusi yang memiliki peran sentral dalam menegakkan keadilan dan menjaga supremasi hukum. Namun dalam beberapa tahun terakhir, telah terjadi berbagai insiden keributan di ruang sidang yang melibatkan pengunjung, pihak berperkara, kuasa hukum, maupun aparat penegak hukum sendiri.
Berbagai bentuk gangguan keamanan, seperti aksi kekerasan terhadap hakim di dalam ruang sidang, perkelahian antar pihak, serta demonstrasi anarkis yang mendukung atau menentang suatu keputusan pengadilan. Kejadian-kejadian ini menunjukkan adanya celah dalam sistem pengamanan pengadilan yang masih bergantung pada aparat kepolisian dan satuan pengamanan internal yang belum memiliki struktur dan kewenangan yang memadai.
Kendati demikian Mahkamah Agung telah berupaya dalam menjaga ketertiban dan keamanan di pengadilan, dengan telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 6 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan dalam Lingkungan Pengadilan.
Peraturan tersebut, menegaskan kewajiban semua pihak, untuk menjaga ketertiban selama proses persidangan berlangsung. Sekaligus mengatur sanksi bagi pihak yang melakukan tindakan yang mengganggu jalannya persidangan.
Beberapa ketentuan dalam Perma ini mencakup larangan terhadap perbuatan yang dapat mengganggu atau mengintimidasi hakim, jaksa, pengacara, dan pihak lain yang terlibat dalam persidangan.
Meskipun Perma No. 6 Tahun 2020 telah menjadi dasar bagi tata tertib persidangan, namun implementasi di lapangan masih menghadapi berbagai tantangan, terutama dalam aspek penegakan dan sanksi yang tegas bagi pelanggar. Berbagai insiden keributan di ruang sidang yang telah terjadi di beberapa pengadilan tingkat pertama.
Berikut adalah beberapa contohnya:
1. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (2019):
Pengacara Desrizal Chaniago, yang mewakili Tomy Winata, memukul Hakim Sunarso dengan ikat pinggang saat sidang berlangsung. Tindakan ini, dianggap sebagai penghinaan terhadap lembaga peradilan.
2. Pengadilan Negeri Jakarta Timur (2023):
Sebelum sidang Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti dimulai, terjadi keributan antara tim penasihat hukum dan pendukung Luhut Binsar Pandjaitan, termasuk adu mulut dan saling dorong di depan pintu ruang sidang.
3. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (2023):
Setelah majelis hakim membacakan vonis terhadap Richard Eliezer, ruang sidang menjadi porak-poranda akibat pendukung Richard yang merangsek masuk, menyebabkan kursi-kursi berantakan dan pagar pembatas ambruk.
4. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (2024):
Setelah pembacaan vonis terhadap Syahrul Yasin Limpo, terjadi keributan yang menyebabkan pagar ruang sidang tercabut akibat dorong-mendorong antara pengunjung sidang.
5. Pengadilan Negeri Jakarta Utara (2025):
Keributan terjadi antara Razman Arif Nasution dan Hotman Paris Hutapea dalam kasus pencemaran nama baik. Razman dan Tim Pengacara ngamuk di ruang sidang hingga naik ke meja.
Ketidakseimbangan antara kebutuhan keamanan dan kapasitas pengamanan di pengadilan dapat berdampak negatif terhadap integritas peradilan. Hakim, jaksa, advokat, dan pihak-pihak yang terlibat dalam proses hukum berpotensi mengalami intimidasi atau serangan fisik, yang pada akhirnya dapat memengaruhi independensi dan objektivitas putusan pengadilan.
Oleh karena itu, dibutuhkan suatu sistem pengamanan yang profesional, khusus, dan terintegrasi untuk memastikan bahwa setiap proses persidangan dapat berjalan dengan aman dan tertib.
Dalam konteks ini, urgensi pembentukan satuan pengamanan pengadilan menjadi semakin nyata. Satuan ini diharapkan dapat berperan dalam mencegah, mengantisipasi, serta menangani potensi gangguan keamanan di lingkungan pengadilan.
Dengan adanya regulasi yang jelas, serta koordinasi yang efektif antara pengadilan, kepolisian, dan instansi terkait, diharapkan keamanan di lingkungan peradilan dapat terjaga dengan lebih baik. Sehingga, peradilan yang independen dan tidak memihak dapat benar-benar terwujud.
Urgensi pembentukan satuan pengamanan pengadilan di Indonesia tidak terlepas dari meningkatnya ancaman keamanan yang terjadi di berbagai persidangan. Pembentukan satuan pengamanan pengadilan sangat penting untuk menjaga keamanan dan ketertiban di lingkungan peradilan.
Satuan ini, harus memiliki kewenangan yang jelas dalam mengantisipasi, mencegah, dan menangani potensi gangguan keamanan, baik di dalam maupun di luar ruang sidang. Selain itu, koordinasi dengan kepolisian dan aparat keamanan lainnya diperlukan untuk memastikan sistem pengamanan yang lebih efektif.
Dengan adanya satuan pengamanan khusus di pengadilan, proses peradilan dapat berjalan lebih lancar tanpa adanya ancaman atau gangguan eksternal. Keberadaan satuan ini juga dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum di Indonesia, karena menunjukkan keseriusan dalam menjaga keamanan dan independensi peradilan. Untuk mengatasi permasalahan ini, penulis mengusulkan perlu segera dibentuk Satuan Tugas Satya Wibawa (Satgas Satya Wibawa).
Nama "Satya" mencerminkan kesetiaan terhadap kebenaran, sementara "Wibawa" menggambarkan kewibawaan dalam menjaga keamanan pengadilan. Satgas Satya Wibawa bertujuan untuk memberikan perlindungan maksimal terhadap seluruh proses peradilan, menjamin keamanan hakim dan aparat hukum lainnya, serta mencegah gangguan yang dapat menghambat jalannya persidangan.
Satgas Satya Wibawa akan berperan sebagai garda terdepan dalam menjaga keamanan pengadilan, mengantisipasi potensi gangguan, serta memastikan bahwa proses peradilan berlangsung dengan lancar dan bebas dari ancaman atau gangguan eksternal. Keberadaan satuan ini juga dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum di Indonesia, karena menunjukkan keseriusan dalam menjaga keamanan dan independensi peradilan.
Selain pembentukan Satgas Satya Wibawa, pemerintah dan DPR perlu segera merancang dan mengesahkan Undang-Undang Contempt of Court sebagai langkah penting dalam menjaga wibawa dan kelancaran sistem peradilan. Jika hanya berdasar pada Perma Nomor 6 Tahun 2020 tentu kurang memadai karena memiliki keterbatasan dalam aspek sanksi pidana.
Maka, diperlukan Undang-Undang Contempt of Court sebagai payung hukum yang lebih kuat untuk menindak segala bentuk tindakan yang melecehkan atau mengganggu proses peradilan, seperti ancaman terhadap hakim, gangguan terhadap saksi, hingga tindakan tidak hormat di ruang sidang.
Di berbagai negara maju, regulasi ini telah terbukti efektif dalam menegakkan supremasi hukum. Tanpa adanya aturan yang jelas, tindakan yang mengganggu persidangan sering kali tidak mendapatkan sanksi yang tegas, sehingga dapat melemahkan independensi pengadilan.
Oleh karena itu, dengan adanya aturan yang tegas serta koordinasi yang baik antara berbagai pihak terkait, diharapkan pembentukan Satgas Satya Wibawa sebagai garda terdepan dalam menjaga keamanan pengadilan serta pengesahan Undang-Undang Contempt of Court dapat segera direalisasikan. Dengan demikian pengadilan di Indonesia dapat menjadi tempat yang aman, tertib, dan berwibawa dalam menegakkan hukum dan keadilan.