Ruang pengadilan dengan segala kesakralannya, kerap menjadi tempat bertemunya formalitas hukum dan spontanitas manusiawi. Meskipun dikenal sebagai institusi yang menjunjung tinggi keseriusan, momen-momen humor dalam persidangan menciptakan dinamika unik yang mencerminkan karakteristik budaya hukum nasional.
Tulisan ini mengeksplorasi bagaimana sistem peradilan menangani lelucon dalam persidangan dengan tetap berupaa menjaga kewibawaan pengadilan.
Pengantar: Humor di Tengah Keseriusan
Dalam tataran normatif pengadilan adalah institusi yang menjunjung tinggi formalitas dan keseriusan. Namun, sebagai manusia, para hakim, pengacara, dan saksi kadang menemukan diri mereka dalam situasi yang mengundang tawa. Bagaimana sistem peradilan menanggapi momen-momen tersebut mencerminkan keseimbangan antara mempertahankan martabat institusi dan mengakui sisi manusiawi dari proses hukum. (Galanter, M., 2005).
Tidak hanya di Indonesia, dalam sejarah peradilan di negara lain, terdapat berbagai kasus menarik di mana humor dan lelucon menjadi bagian dari proses hukum. Salah satu jenis kasus yang paling umum berkaitan dengan lelucon di pengadilan adalah penghinaan terhadap pengadilan (contempt of court). Ketika seseorang menggunakan humor yang dianggap merendahkan martabat pengadilan, mereka dapat dikenai sanksi.
Contohnya, di Amerika Serikat, kasus Dellinger v. United States (1970) terkait dengan persidangan terkenal yang disebut Chicago Seven, yang berfokus pada protes selama Konvensi Nasional Demokrat 1968 di Chicago. Para terdakwa, termasuk David Dellinger, Abbie Hoffman, dan Jerry Rubin, didakwa adili karena diduga memicu kerusuhan setelah bepergian melintasi batas negara bagian. Persidangan ini sangat kontroversial, dengan berbagai peristiwa dramatis di pengadilan dan tuduhan bias dari hakim.
Para terdakwa awalnya dinyatakan bersalah, tetapi banyak dari vonis tersebut kemudian dibatalkan pada tingkat banding karena masalah prosedural dan kekhawatiran tentang keadilan.
Kasus ini tetap menjadi momen penting dalam sejarah hukum dan protes di Amerika Serikat, melambangkan benturan antara otoritas pemerintah dan hak untuk menyuarakan ketidaksetujuan.
Selain itu, kasus tersebut kemudian menjadi preseden penting tentang bagaimana pengadilan memandang perilaku yang dianggap melecehkan. (Dellinger v. United States, 410 U.S. 970, 1970).
Menariknya, beberapa pengacara menggunakan humor sebagai strategi untuk memenangkan simpati juri atau untuk mencairkan suasana tegang. Dalam kasus Silkwood v. Kerr-McGee (1979), pengacara Gerry Spence terkenal dengan penggunaan humor dan analogi yang cerdas untuk menjelaskan konsep kompleks kepada juri, yang akhirnya membantu kliennya memenangkan gugatan. (Spence, G., 1989).
Pada sejarah peradilan di Indonesia, praktik-praktik penggunaan lelucon pun sering terlihat dalam penyelesaian perkara di persidangan, beberapa kasus terkenal yang terliput mediapun terlihat sering melibatkan lelucon dalam persidangan dan Majelis hakim pun bukan hanya diam, sesekali Majelis Hakim terlihat menegur pihak yang membuat lelucon karena dianggap tidak menghormati keseriusan persidangan.
Di Indonesia, persidangan yang melibatkan lelucon sering memicu diskusi tentang batas-batas profesionalisme dan etika dalam ruang pengadilan.
Beberapa advokat Indonesia sendiri memang mengakui penggunaan humor sebagai strategi untuk mempengaruhi persepsi hakim atau mencairkan suasana. Namun, berbeda dengan tradisi persidangan di Amerika yang lebih terbuka terhadap retorika humoris, advokat Indonesia cenderung menggunakan humor dengan lebih hati-hati dan kontekstual. Penelitian Todung Mulya Lubis menunjukkan bahwa efektivitas strategi ini sangat bergantung pada kepribadian hakim dan konteks persidangan. (T. M Lubis, 2014)
Hakim dan Lelucon: Batas Profesionalisme
Studi tentang humor dalam konteks hukum pada dasarnya relatif terbatas. Galanter (2005) menganalisis "legal jokes" sebagai refleksi dari persepsi publik terhadap sistem hukum. (M. Galanter, 2005). Sementara itu, Hobbs (2007) dan Roach Anleu et al. (2014) telah meneliti penggunaan humor oleh hakim dalam mengelola ruang sidang.
Penelitian-penelitian ini mengindikasikan bahwa humor tidak hanya berfungsi sebagai hiburan semata, tetapi juga sebagai alat komunikasi dan kontrol yang kompleks. Pada praktiknya, humor di persidangan dapat dikategorikan menjadi beberapa tipe, antara lain:
Humor verbal:
Meliputi permainan kata, lelucon, sindiran, dan komentar satir.
Humor situasional:
Muncul dari situasi tidak terduga atau respons spontan terhadap kejadian di ruang sidang.
Humor sarkastik:
Seringkali digunakan dalam pemeriksaan silang atau tanggapan terhadap kesaksian.
Humor self-deprecating:
Digunakan terutama oleh pengacara atau hakim untuk mengurangi formalitas atau membangun rapport.
Cara penanganan humor di pengadilan bervariasi secara signifikan di berbagai negara. Di Inggris, dengan tradisi wig dan jubah, terdapat ruang untuk humor formal yang menjadi bagian dari budaya hukum disana. Di Amerika Serikat, hakim seperti Alex Kozinski dari Pengadilan Banding Sirkuit Kesembilan AS dikenal dengan selera humornya yang tajam dalam opini-opininya.
Namun, terdapat batas yang jelas antara humor cerdas dan pelanggaran etika. Beberapa hakim telah menghadapi konsekuensi disipliner karena lelucon yang dianggap tidak pantas atau merendahkan pihak-pihak dalam kasus. (Kozinski, A, 2013).
Adapun di Indonesia, dengan sistem hukum yang lebih dipengaruhi oleh tradisi kontinental, formalitas lebih dijunjung tinggi, dan humor dalam persidangan cenderung lebih dibatasi. (Daniel. S. Lev, 2000).
Apalagi, budaya Indonesia yang menghargai keharmonisan dan "tidak enakan" terkadang mempengaruhi bagaimana lelucon ditanggapi di ruang sidang. Penelitian Adriaan Bedner menunjukkan bahwa dibandingkan dengan sistem anglo-saxon, pengadilan Indonesia lebih menekankan pada keharmonisan sosial, yang kadang mempengaruhi toleransi terhadap humor ringan dalam persidangan, terutama di pengadilan-pengadilan di daerah (A, Bedner, 2013).
Namun, ketika lelucon dianggap melampaui batas kewajaran, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman maupun Peraturan tentang Tata Tertib persidangan yang diterbitkan Mahkamah Agung memberikan landasan bagi hakim untuk menjatuhkan sanksi. Sanksi dapat berupa teguran, pengusiran dari ruang sidang, hingga penahanan sementara.
Pada kasus ekstrem, seseorang dapat dikenai pasal penghinaan terhadap pengadilan sebagaimana yang diatur dalam KUHP. (A. Hamzah, 2018). Meskipun pada praktik nya di Indonesia, penerapan ketentuan khusus mengenai contempt of court oleh hakim di Indonesia ternyata justru tidak seketat di negara-negara common law seperti Inggris atau Amerika Serikat.
Penggunaan humor di persidangan sendiri tidak selalu memberikan dampak negatif, penggunaan humor yang tepat dapat meningkatkan persepsi publik terhadap sistem peradilan dengan membuatnya lebih manusiawi dan dapat diakses. Hakim dapat menggunakan humor sebagai alat retorika untuk memperkuat argumentasi atau menguraikan konsep hukum yang kompleks.
Penggunaan humor juga memfasilitasi pembentukan hubungan dan pemeliharaan hirarki sosial di ruang sidang. Meskipun demikian, humor yang tidak tepat dapat merusak kepercayaan publik terhadap keseriusan dan objektivitas sistem peradilan.
Batasan-batasan yang jelas mengenai penggunaannya dapat dibuat seperti:
1. Tidak boleh mengorbankan keseriusan dan martabat proses peradilan.
2. Menghindari bias dan diskriminasi: Humor yang mengandung stereotip atau bias terhadap kelompok tertentu sangat dilarang dalam konteks persidangan.
3. Mempertimbangkan konteks kasus: menghindari penggunaan humor dalam kasus-kasus serius seperti kejahatan terhadap nyawa atau kasus yang melibatkan trauma psikologis dan memerlukan sensitivitas khusus dalam penanganannya.
Kesimpulan: Mencari Keseimbangan
Bagaimana menanggapi situasi yang mengandung lelucon di pengadilan mencerminkan keseimbangan rumit antara mempertahankan martabat institusi peradilan dan mengakui kemanusiaan dalam proses hukum.
Pendekatan yang bijaksana adalah yang memungkinkan humor alami dan tidak berbahaya, sambil tetap menegakkan batas-batas yang melindungi fungsi pengadilan sebagai forum untuk mencari keadilan.
Persidangan yang mengandung lelucon di pengadilan Indonesia sendiri, mencerminkan keunikan sistem hukum nasional yang berusaha menyeimbangkan antara kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan.
Pendekatan yang bijaksana terhadap humor dalam persidangan tidak hanya menjaga kewibawaan institusi peradilan tetapi juga mengakui dimensi kemanusiaan dalam proses hukum, sesuai dengan karakteristik budaya hukum Indonesia yang menjunjung tinggi keharmonisan dan musyawarah.