Tindakan Razman Arif Nasution dan tim penasihat hukumnya yang membuat gaduh, tidak menghormati kekhidmatan persidangan dan menyampaikan berbagai pernyataan yang bertendensi menyerang wibawa peradilan saat persidangan dugaan pencemaran nama baik advokat Hotman Paris Hutapea di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Kamis, 6 Februari 2025, viral di media sosial dan kanal pemberitaan. Di situ terlihat salah seorang tim penasihat hukum Terdakwa Razman Arif Nasution naik ke atas meja pengadilan.
Perbuatan Razman Arif Nasution dan tim penasihat hukumnya dapat dikategorikan sebagai contempt of court, yang diduga melanggar ketentuan Pasal 217 KUHP.
Sejarah mencatat, perbuatan advokat melakukan contempt of court dalam suatu persidangan di Indonesia, sudah terjadi di beberapa kejadian. Seperti tindakan pengacara senior Adnan Buyung Nasution yang melakukan kegaduhan dan tidak menghormati persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, saat menyampaikan pledoi (nota pembelaan) pada persidangan Jenderal HR. Dharsono yang didakwa melakukan makar atau subversif. Kemudian atas tindakannya, Adnan Buyung Nasution dihukum organisasi advokat dan selanjutnya Menteri Kehakiman RI menskors aktivitasnya sebagai advokat dalam jangka waktu satu tahun.
Peristiwa lainnya adalah mantan pengacara Tomy Winata, Desrizal Chaniago, yang melakukan kekerasan dengan cara menyabet ikat pinggang kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Perbuatan Desrizal Chaniago yang dikategorikan contempt of court dimaksud, terjadi di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 2019.
Riwayat Pengaturan contempt of court di Dunia
Contempt of court secara historis berasal dari budaya hukum Inggris dan negara-negara yang menganut sistem hukum anglo saxon (common law system). Budaya hukum Inggris merupakan pelopor menjaga kewibawaan persidangan, yang didasarkan pada penghormatan terhadap kekuasaan Raja sebagai pembentuk hukum dan keadilan, yang pada era modern diteruskan kepada hakim.
Black’s Law Dictionary memberikan pengertian contempt of court pada pokoknya merupakan pihak yang dengan sengaja melakukan tindakan merusak atau melanggar kewibawaan, martabat, merintangi, menyia-nyiakan peradilan. Pihak-pihak yang melanggar tersebut, berada dalam kekuasaan pengadilan sebagai pihak yang berperkara di pengadilan.
Beberapa negara lain seperti Australia, India dan Amerika Serikat telah memberikan pengaturan untuk menjaga kewibawaan dan martabat persidangan dalam perundang-undangan negara-negara dimaksud. Australia telah memasukan pengaturan contempt of court dalam Judiciary Act 1903 dan Federal Court of Australia Act 1976. Adapun India memiliki undang-undang yang melindungi kehormatan lembaga peradilan dalam contempt of court act 1971. Amerika Serikat sebagai negara adidaya di dunia, telah memiliki riwayat panjang menjaga badan peradilan dari tindakan perintangan atau merusak kehormatan, di mana, sejak 1831 Amerika Serikat memiliki undang-undang yang melindungi lembaga peradilan berupa contempt of court act 1831.
Dalam hukum Indonesia, gagasan melindungi kehormatan peradilan melalui pembentukan undang-undang contempt of court dapat dilihat di penjelasan umum Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Butir 4 alinea ke-4 penjelasan umum Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang menerangkan:
“selanjutnya untuk dapat lebih menjamin terciptanya suasana yang sebaik- baiknya bagi penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, maka perlu pula dibuat suatu undang-undang yang mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap dan/atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan badan peradilan yang dikenal sebagai Contempt of Court”.
Hukum pidana Indonesia juga memberikan ancaman bagi setiap orang yang melakukan perbuatan tidak menghormati jalannya suatu persidangan, dengan membuat gaduh saat sidang pengadilan berlangsung diancam pidana penjara paling lama tiga minggu sesuai ketentuan Pasal 217 KUHP.
Demikian juga Pasal 503 KUHP, memberikan ancaman pidana berupa kurungan paling lama tiga hari, bagi setiap orang yang membikin gaduh di dekat bangunan untuk sidang pengadilan. Sedangkan tindakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang terjadi di ruang pengadilan saat Majelis Hakim mengadili suatu perkara, di mana seseorang dapat dihukum maksimal satu tahun dan empat bulan sebagaimana ketentuan Pasal 212 KUHP.
Pemidanaan menggunakan Pasal 212 KUHP, sudah dilakukan terhadap advokat Desrizal Chaniago yang menyabet Majelis Hakim menggunakan sabuk dalam suatu persidangan perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Perlindungan terhadap martabat peradilan, akan lebih tegas dalam Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP baru) yang akan berlaku pada awal 2026. Di mana, pengaturan contempt of court lebih jelas.
Penulis ambil contoh, untuk setiap orang yang menghalang-halangi, mengintimidasi atau mempengaruhi pejabat in casu (Majelis Hakim, panitera yang melaksanakan tugas, penuntut umum) dalam pemeriksaan sidang pengadilan, dengan tujuan memaksa atau membujuk pejabat tersebut agar melakukan tugasnya atau tidak melakukan tugasnya dapat dipidana dengan penjara maksimal 7 tahun dan 6 bulan atau denda paling banyak sesuai kategori VI sejumlah Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) sebagaimana Pasal 281 KUHP baru;
Mahkamah Agung RI juga telah mengeluarkan kebijakan dalam rangka melindungi wibawa dan memastikan jalannya persidangan secara khidmat melalui Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 5 Tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan di Lingkungan Pengadilan sebagaimana telah diubah Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 6 Tahun 2020 tentang Perubahan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 5 Tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan di Lingkungan Pengadilan.
Berdasarkan Pasal 4 Ayat 10 Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 6 Tahun 2020 tersebut, di mana setiap orang dilarang untuk membuat kegaduhan, bersorak sorai atau bertepuk tangan baik di dalam maupun di luar persidangan yang dapat mengganggu jalannya persidangan.
Kewajiban Advokat Menghormati Persidangan
Advokat merupakan salah satu profesi terhormat atau bahkan disebut juga officium nobile. Selain itu, profesi advokat mendapatkan kedudukan yang tinggi dalam peraturan perundang-undangan Indonesia karena hak dan kewajiban hukumnya diatur Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Bahkan seorang sarjana hukum yang telah mengikuti pendidikan dan lulus ujian profesi advokat serta diambil sumpahnya menurut agama masing-masing. Di mana, wajib menjaga tingkah laku dan melaksanakan kewajiban profesi advokat dengan menjaga kehormatan, martabat dan tanggung jawab sesuai Pasal 4 Ayat 2 Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Demikian juga advokat yang melakukan tindakan melanggar kehormatan dan martabat profesinya serta peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat dikenakan tindakan. Tindakan tersebut berupa teguran lisan, teguran tertulis, pemberhentian sementara dari profesinya selama 3 sampai 12 bulan dan pemberhentian tetap dari profesinya. Di mana, yang berhak memberikan hukuman tindakan dimaksud berdasarkan Keputusan Dewan Kehormatan Organisasi Advokat sesuai Pasal 6 jo Pasal 7 Ayat 1 dan 2 Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Adapun untuk pemberhentian terhadap advokat, di mana surat keputusan pemberhentian disampaikan kepada Mahkamah Agung RI, Pengadilan Tinggi dan lembaga penegak hukum lainnya di wilayah kedudukan advokat sesuai Pasal 9 Ayat 2 Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat beserta penjelasannya.
Maka penulis berpendapat kaitannya dengan contempt of court, di mana untuk advokat yang melanggar kewibawaan profesi dengan membuat gaduh atau perintangan terhadap Majelis Hakim di persidangan, maka seharusnya dewan kehormatan organisasi advokat memberikan hukuman pemberhentian sementara atau tetap dari profesi advokat.
Selanjutnya, organisasi advokat segera menindaklanjuti dengan menyampaikan surat pemberhentian sementara atau tetap kepada Mahkamah Agung dan Pengadilan Tinggi, kemudian diberikan keputusan oleh Mahkamah Agung untuk menetapkan larangan bersidang baik bersifat sementara atau selamanya kepada advokat yang melakukan contempt of court tergantung pada putusan pemberhentian yang diberikan oleh organisasi advokat.
Selanjutnya Mahkamah Agung dapat mengirimkan surat kepada seluruh satuan kerja dibawahnya agar advokat yang bersangkutan dilarang untuk beracara di seluruh badan peradilan.
Menghukum advokat yang melakukan contempt of court dengan dilarang beracara di pengadilan, baik sementara ataupun tetap akan lebih ideal bilamana adanya single bar (satu organisasi advokat). Sehingga, memudahkan kontrol terhadap advokat dan memberikan penghukuman etik kepada advokat yang melanggar kode etik dalam menjalankan profesi.
Demikian juga akan terjadi tertib administrasi pengiriman putusan penghukuman oleh organisasi advokat kepada Mahkamah Agung RI dan Pengadilan Tinggi sesuai Pasal 9 Ayat 2 Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Selain itu, amanat pembentukan wadah tunggal organisasi advokat telah diatur dalam Pasal 28 Ayat 1 Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, yang dikuatkan oleh berbagai Putusan Mahkamah Konstitusi yang menguji ketentuan pasal tersebut.