Dalam sistem peradilan, hakim memiliki peran fundamental dalam menegakkan keadilan dan memastikan hukum diterapkan secara objektif. Namun, menjadi hakim bukan sekadar memahami teks hukum dan prosedur peradilan. Ada tantangan yang lebih kompleks seperti tekanan opini publik, intervensi politik, pemberitaan media, hingga kasus-kasus yang begitu emosional sehingga berisiko menggoyahkan keteguhan batin seorang hakim.
Dalam kondisi ini, bagaimana sikap hakim agar dapat tetap tegar, rasional, dan tidak tergoyahkan oleh tekanan eksternal maupun emosinya sendiri?
Salah satu contoh nyata yang mencuri perhatian publik di Indonesia adalah persidangan Ferdy Sambo yang menunjukan bagaimana emosi sosial dan tekanan eksternal bisa mempengaruhi sebuah persidangan dan menguji keteguhan batin seorang hakim. Ferdy Sambo, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri, didakwa dalam kasus pembunuhan berencana dan perintangan penyidikan (obstruction of justice) terkait dengan kematian Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.
Sidang pertama dimulai pada 17 Oktober 2022 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dan sejak saat itu kasus ini langsung mendapat perhatian besar publik. Kasus ini sangat emosional, terutama bagi keluarga korban dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
Banyak pihak yang merasa terguncang dengan fakta bahwa seorang pejabat tinggi Polri, yang seharusnya menegakkan hukum dan memastikan keadilan ditegakkan, justru terlibat dalam tindak kriminal. Media memberikan liputan intens, dengan berbagai spekulasi dan pendapat yang berkembang di ruang publik, sementara tekanan politik dan sosial semakin meningkat.
Dalam situasi seperti ini, hakim yang menangani perkara tersebut dihadapkan pada tantangan yang luar biasa. Hakim harus bisa menjaga independensi dan tidak terpengaruh oleh opini atau tekanan dari luar. Ada banyak pihak yang mendukung dan menentang keputusan yang akan diambil, yang menambah beban emosional dan profesional bagi hakim.
Di sisi lain, ada rasa keadilan yang kuat di masyarakat, dan banyak yang menginginkan hukuman setimpal bagi pelaku, terutama karena melibatkan pejabat tinggi dalam institusi kepolisian. Kasus ini menggambarkan betapa sulitnya menegakkan keadilan secara objektif ketika berbagai kekuatan eksternal, mulai dari opini publik hingga intervensi politik yang berusaha mempengaruhi jalannya persidangan.
Hakim dituntut untuk tetap teguh dan mengedepankan prinsip-prinsip hukum, meskipun ada banyak faktor yang bisa mengaburkan keputusan mereka. Mereka harus mampu menyeimbangkan antara menjaga hukum yang adil dan mempertimbangkan dampak sosial dan politik yang dihasilkan dari keputusan yang akan diambil.
Tantangan ini juga menunjukkan betapa pentingnya keberanian bagi hakim untuk tetap objektif, tidak hanya dalam melaksanakan tugasnya. Tetapi juga dalam menghadapi situasi yang penuh tekanan emosional. Dalam kondisi seperti ini, seorang hakim harus memiliki integritas dan keteguhan batin yang kuat untuk menjalankan tugas mereka dengan benar, mengedepankan keadilan tanpa terpengaruh oleh emosionalitas atau tekanan eksternal.
Salah satu pendekatan yang dapat membantu hakim menghadapi tekanan tersebut adalah filosofi Stoa. Filosofi Stoa lahir di Yunani pada abad ke-3 SM oleh Zeno dari Citium, seorang filsuf yang mengajarkan bahwa kehidupan yang baik adalah kehidupan yang selaras dengan rasio dan hukum alam (Long, 2002).
Ajaran ini berkembang pesat dan mendapat pengaruh besar dalam pemikiran Romawi melalui tokoh-tokoh seperti Seneca, Epictetus, dan Kaisar Marcus Aurelius (Hadot, 1995).
Filosofi Stoa menekankan bahwa kebijaksanaan, keberanian, keadilan, dan pengendalian diri adalah empat kebajikan utama yang harus dimiliki seseorang dalam menghadapi kehidupan.
Dalam konteks hukum, pemikiran ini sangat relevan, karena hakim dituntut untuk memutus perkara dengan kebijaksanaan dan keadilan, tanpa dipengaruhi oleh emosi pribadi atau tekanan eksternal.
Prinsip utama dalam filosofi Stoa adalah bahwa manusia tidak dapat mengendalikan apa yang terjadi di luar dirinya, tetapi dapat mengendalikan bagaimana ia meresponsnya. Inilah yang membuat filosofi Stoa menjadi relevan bagi para hakim, yang harus tetap teguh dalam menghadapi berbagai tekanan termasuk mengendalikan emosi pribadinya (Pigliucci, 2017).
Bagaimana hakim yang terlibat dalam kasus seperti ini dapat tetap objektif dan tidak terpengaruh oleh tekanan eksternal, sesuai dengan prinsip filosofi Stoa? Filosofi Stoa menawarkan beberapa cara yang dapat membantu hakim menghadapi tantangan dalam proses peradilan:
1. Menjaga Ketenangan di Tengah Tekanan:
Hakim sering kali berhadapan dengan tekanan besar, baik dari opini publik, politik, maupun dari pihak-pihak yang berkepentingan dalam suatu perkara. Dengan memahami prinsip filosofi Stoa, hakim dapat tetap tenang dan tidak terbawa arus tekanan eksternal saat memutuskan perkara (Robertson, 2019).
2. Mengendalikan Emosi dalam Mengambil Keputusan:
Hakim menghadapi berbagai kasus yang emosional, seperti kejahatan berat atau perkara yang menyita perhatian publik. Jika tidak memiliki kendali diri, Hakim bisa terbawa suasana dan kehilangan objektivitas. Filosofi Stoa mengajarkan pengendalian emosi agar putusan tetap rasional dan adil (Epictetus, Discourses).
3. Berpegang pada Prinsip Keadilan, Bukan Popularitas:
Seorang Hakim tidak boleh terpengaruh oleh tekanan massa atau kepentingan kelompok tertentu. Filosofi Stoa mengajarkan bahwa kebenaran harus dijunjung tinggi, meskipun tidak semua orang setuju dengan keputusan tersebut (Marcus Aurelius, Meditations).
4. Menerima Kritik dan Tekanan dengan Bijaksana:
Hakim tidak bisa membuat semua pihak puas dengan keputusannya. Dalam filosofi Stoa, terdapat konsep amor fati (mencintai takdir), yang mengajarkan bahwa seseorang harus menerima segala konsekuensi dari keputusannya dengan lapang dada (Hadot, 1995).
5. Memahami Hukum dengan Pendekatan yang Lebih Luas:
Seorang hakim tidak hanya harus memahami undang-undang secara kaku, tetapi juga harus melihat konteks sosial dan moral dalam penegakan hukum. Filosofi Stoa mengajarkan bahwa kebijaksanaan (sophia) adalah puncak dari kebajikan manusia, yang berarti hakim harus membuat putusan dengan pemahaman yang lebih dalam terhadap keadilan (Long, 2002).
Dengan demikian, menjadikan filosofi Stoa sebagai pedoman dalam penegakan hukum bukan berarti meniadakan sisi kemanusiaan seorang hakim. Melainkan, mengarahkannya untuk bertindak dengan keseimbangan antara ketegasan hukum dan kebijaksanaan moral.
Dalam konteks peradilan, filosofi Stoa membantu hakim menjaga ketenangan batin, menilai fakta dengan jernih, serta mempertimbangkan argumen secara rasional tanpa terpengaruh tekanan emosional, opini publik, atau kepentingan subjektif.
Oleh karena itu, penerapan filosofi Stoa dalam sistem peradilan bukan hanya memperkuat prinsip keadilan, tetapi juga membentuk hakim sebagai pribadi yang bijaksana, tegar, dan berintegritas tinggi.
Filosofi ini memberikan landasan yang kokoh bagi sistem hukum yang tidak hanya berorientasi pada aturan formal, tetapi juga mengutamakan keadilan substantif yang mengakar pada kebajikan dan akal sehat. Lebih dari itu, filosofi Stoa dapat memberikan inspirasi bagi masyarakat luas tentang pentingnya mengelola emosi dan tekanan, serta bagaimana seharusnya kita menghadapi tantangan hidup dengan kebijaksanaan dan pengendalian diri.
Referensi:
- Epictetus. Discourses.
- Hadot, P. (1995). Philosophy as a Way of Life.
- Long, A. A. (2002). Stoic Studies.
- Marcus Aurelius. Meditations.
- Pigliucci, M. (2017). How to Be a Stoic.
- Robertson, D. (2019). The Stoic Guide to Modern Life.