Baru-baru ini publik diramaikan dengan hukuman penjara selama enam tahun dan enam bulan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kepada Harvey Moeis, dalam kasus korupsi tambang timah dari tuntutan pidana yang dituntut oleh penuntut umum selama 12 tahun di persidangan.
Selain itu, Harvey Moeis dibebani pula membayar uang pengganti sejumlah Rp210 miliar, yang apabila tidak dibayar diganti dengan pidana penjara selama dua tahun. Atas putusan tersebut, penuntut umum menyatakan upaya hukum banding.
Kemudian, di Pengadilan Tinggi Jakarta, sebagai pengadilan tingkat banding, menambah hukuman penjara kepada Harvey Moeis yang semula pidana penjara selama enam tahun dan enam bulan menjadi dua puluh tahun. Selain itu, Pengadilan Tinggi Jakarta juga menambah uang pengganti yang dibebankan dari semula berjumlah Rp210 miliar menjadi Rp420 miliar .
Majelis Hakim menyatakan, harta benda milik Harvey Moeis dapat dirampas dan dilelang untuk membayar uang pengganti tersebut. Jika harta benda tersebut tidak cukup membayar uang pengganti tersebut, maka diganti dengan pidana penjara selama 10 tahun. Tak sampai di situ, Harvey Moeis juga dijatuhi pidana denda sejumlah Rp1 miliar yang apabila tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama delapan bulan.
Putusan dari Pengadilan Tinggi Jakarta tersebut, membuat sebagian masyarakat puas atas vonis yang dijatuhkan kepada Harvey Moeis setelah sebelumnya masyarakat kecewa atas vonis “ringan” yang menurut beberapa kalangan belum mencerminkan keadilan dari Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Dari dua proses persidangan perkara Harvey Moeis, terdapat dua ekspresi yang berbeda dari masyarakat. Pertama, saat Harvey Moeis disidangkan dan diputus oleh Pengadilan Negeri Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menjatuhkan hukuman pidana penjara selama enam tahun dan enam bulan, sebagian besar masyarakat menunjukkan rasa skeptis dan kecewa serta marah terutama kepada Majelis Hakim yang telah menjatuhkan putusan tersebut.
Kedua, saat perkara Harvey Moeis diperiksa oleh Pengadilan Tinggi Jakarta sebagai pengadilan tingkat banding, hukuman pidana penjara Harvey Moeis ditambah dari yang semula pidana penjara selama enam tahun dan enam bulan menjadi pidana penjara selama 20 tahun.
Belum lagi ditambah uang pengganti yang dikenakan dari semula berjumlah Rp210 miliar yang apabila uang pengganti tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana penjara selama dua tahun menjadi Rp420 miliar yang apabila uang pengganti tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana penjara selama 10 tahun.
Sebagian besar masyarakat puas dan menyambut dengan suka cita. Tak terkecuali salah seorang mantan hakim yang juga merupakan seorang guru besar, turut memberikan apresiasi tinggi justru kepada kejaksaan yang dianggap telah membuat konstruksi banding yang bagus. Sehingga meyakinkan Majelis Hakim banding menaikan hukuman Harvey Moeis.
Dari dua deskripsi peristiwa di atas, dapat diambil kesimpulan. Saat suatu perkara pidana diperiksa dan diputus dengan putusan yang dianggap kurang atau tidak sesuai dengan keinginan masyarakat, maka kritik dan hujatan berbondong-bondong diarahkan kepada hakim/Majelis Hakim yang menjatuhkan putusan tersebut. Terlepas dari bagaimana jalannya pembuktian di persidangan.
Sementara, apabila suatu perkara pidana diperiksa dan diputus dengan putusan sesuai dan pas dengan harapan masyarakat, maka pujian-pujian akan terkirimkan kepada penuntut umum, baik dari kejaksaan ataupun KPK. Tanpa bermaksud iri dengki dengan puji-pujian itu, penting kiranya kita memahami dan mendapatkan edukasi tentang bagaimana sistem peradilan pidana di Indonesia bekerja sehingga kita dapat berfikir rasional dan objektif terlebih dahulu sebelum menghujat dan mencak-mencak di media sosial tanpa paham prosedurnya.
Dalam pembuktian, ada empat teori pembuktian yang harus dipahami oleh masyarakat sebagai edukasi, yaitu: Pertama, Sistem Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Positif (positief wettelijk bewijstheorie), yang mana hakim terikat secara positif kepada alat bukti menurut undang-undang. Artinya, jika dalam pertimbangan hakim telah menganggap terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut dalam undang-undang tanpa diperlukan keyakinan, hakim dapat menjatuhkan putusan.
Kedua, Sistem Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu (conviction intim), yang berarti keyakinan semata. Artinya dalam menjatuhkan putusan, dasar pembuktiannya semata-mata diserahkan kepada keyakinan hakim. Ia tidak terikat kepada alat bukti, tetapi atas dasar keyakinan yang timbul dari hati nurani dan sifat bijaksana seorang hakim, ia dapat menjatuhkan putusannya.
Ketiga, Sistem Pembuktian Berdasarkan keyakinan Hakim Atas Alasan yang Logis, (conviction in raisonee), artinya dasar pembuktian menurut keyakinan hakim dalam batas-batas tertentu atas alasan yang logis. Di sini hakim diberi kebebasan untuk memakai alat-alat bukti disertai dengan alasan yang logis.
Dan yang keempat, Sistem Pembuktian Negatif (negatief wettelijk bewijstheorie) yang secara umum dianut dalam sistem peradilan pidana termasuk Indonesia. Dasar pembuktian menurut keyakinan hakim yang timbul dari alat-alat bukti dalam undang-undang secara negatif.
Secara tegas dasar pembuktian ini dirumuskan di dalam Pasal 183 KUHAP, yang berbunyi: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Dalam hukum pidana, sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 66 KUHAP dengan jelas berbunyi: “Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”. Sehingga, beban pembuktian tersebut menjadi tanggung jawab dari penuntut umum.
Maka dari itu, dalam setiap perkara pidana, penuntut umum wajib membuktikan dengan alat bukti yang didapat sehingga dengan pembuktian itu menimbulkan keyakinan kepada hakim bahwa terdakwa terbukti bersalah. Kecuali dalam tindak pidana khusus, seperti tindak pidana korupsi, dimungkinkan adanya sistem pembuktian terbalik yang bersifat terbatas dan berimbang.
Maksudnya, yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta benda dirinya dan keluarganya yang diduga memiliki hubungan dengan perkara yang dituduhkan.
Penuntut umum pun tetap berkewajiban membuktikan dalil dakwaannya di hadapan persidangan. Sehingga, berlaku asas actori incumbit probation, actori onus probandi yang artinya siapa yang mendalilkan sesuatu, maka dialah yang harus membuktikan.
Dari penjelasan di atas, kita dapat memahami, jika dalam suatu proses pemeriksaan perkara pidana di Indonesia, hakim mendasarkan putusannya pada dua hal: Pertama, pada terpenuhinya minimal dua alat bukti yang sah. Kedua, dari alat bukti itu, diperoleh keyakinan oleh hakim bahwa terdakwalah yang bersalah. Kedua elemen tersebut haruslah bersifat kumulatif. Kedua-duanya harus ada sebelum hakim menjatuhkan putusan pemidanaan.
Sehingga dengan demikian, pembuktian dalam suatu perkara pidana menjadi sangat penting. Penuntut umum sebagai dominus litis, dituntut untuk membuktikan bahwa si pelaku bersalah dengan alat bukti yang dimiliki. Sehingga dengan pembuktian alat bukti tersebut, hakim menjadi yakin dan percaya terhadap dakwaan yang diajukan. Tak terkecuali dalam perkara korupsi, meskipun dianut sistem pembuktian terbalik yang berimbang, penuntut umum tak lepas dari tanggung jawab untuk membuktikan dalil dakwaannya.
Sehingga, apabila penuntut umum kurang dan gagal memenuhi minimal alat bukti yang diatur dalam undang-undang, atau apabila penuntut umum mampu memenuhi minimal alat bukti yang diatur dalam undang-undang akan tetapi hakim kurang atau tidak yakin dengan pembuktian tersebut, maka menjadi pertimbangan bagi hakim untuk meringankan hukuman terdakwa atau bahkan membebaskannya dari dakwaan.
Meskipun hakim menjadi decision maker terakhir dalam suatu perkara pidana, akan tetapi keputusan hakim tersebut sangat bergantung pada pembuktian dari penuntut umum. Walaupun dalam perkara pidana, hakim dituntut aktif untuk mencari kebenaran materil, tetap saja kualitas pembuktian yang disajikan oleh penuntut umum memiliki porsi yang besar dalam menentukan putusan akhir.
Sehingga, cukup objektif apabila kita menilai suatu perkara bukan dari siapa hakimnya, akan tetapi menilai dari seberapa berkualitasnya pembuktian dari penuntut umum dalam meyakinkan hakim atas bersalahnya seseorang.
Maka dari itu, saat hakim memutus seorang terdakwa dengan putusan yang ringan atau bebas yang tidak sesuai dengan tuntutan masyarakat, maka dapat kita pertanyakan bagaimana kinerja dan kualitas penuntut umum dalam pembuktian untuk meyakinkan hakim dalam menjatuhkan putusan.
Begitu sebaliknya, saat seorang terdakwa diputus dengan putusan pemidanaan yang berat yang sesuai dengan harapan masyarakat, maka sudah seharusnya kita memberikan apresiasi kepada penuntut umum karena telah membangun konstruksi hukum dan pembuktian yang meyakinkan di hadapan hakim untuk menjatuhkan putusan sebagaimana yang diharapkan oleh khalayak umum.