Hayo, Jaga Marwah Lembaga Peradilan!

Setiap aparatur peradilan harus terpanggil untuk menerapkan prinsip-prinsip hukum yang berkeadilan. Juga-secara periodik-harus menempa diri tentang kapasitasnya.
Ilustrasi ruang pengadilan di Indonesia. Foto dokumentasi PN Raha
Ilustrasi ruang pengadilan di Indonesia. Foto dokumentasi PN Raha

Publik kadang dikagetkan oleh berita tak sedap di tengah lembaga pengadilan, di tengah Jakarta atau kota-kota besar lainnya. Bisa dimaklumi. Sebab, di manapun masyarakat mendambakan potret penegakan keadilan, bukan sebaliknya. Karena itu, berita yang tak sesuai  harapan itu menuai reaksi minus. Ada perasaan keadilan yang terusik, apalagi di tengah kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang masih diwarnai kesenjangan pendapatan. 

Itulah tantangan lembaga peradilan, dari institusi tertinggi (pusat), yakni Mahkamah Agung (MA), sampai ke level kabupaten/kota, yakni Pengadilan Negeri (PN). Seluruh institusi lembaga peradilan dituntut untuk menjaga marwahnya. 

Lalu, bagaimana menjaga marwah itu? Jawabannya simpel. Yaitu, seluruh komponen yang berada di wilayah institusi peradilan haruslah committed untuk bersatu-padu menjaga integritasnya yang pro tegaknya hukum yang berkeadilan. Hal ini berarti, seluruh sistem, aplikasi proses hukum dan para insan yang berada di institusi itu haruslah satu “irama” dan mengarah pada satu titik: sebuah output hukum yang bernama keadilan itu, bukan keluar dari relnya.

Terlihat sederhana konseptualisasi komitmen itu. Tetapi, dalam praktik, dunia nyata ini sering diperhadapkan pemandangan-pemandangan yang paradok, tak sesuai dengan kondisi ideal, katakanlah godaan material, berbentuk rill material itu, ataupun fasilitas tertentu. Hal ini juga dihadapi institusi-institusi peradilan di manapun berada di dunia ini, tentu termasuk di Tanah Air ini.

Namun demikian, sebagai praktisi lembaga peradilan yang sedari awal sudah mendeklarasikan diri sebagai insan yang berada di institusi peradilan tak boleh hand up atau menyerah pada paradoksalitas atau hal-hal yang tak ideal itu. Deklarasinya telah terproses dan bersumpah di bawah kitab suci sebagai insan penegak hukum berkeadilan. Pertanggungjawabannya dunia-akhirat. Tidak boleh main-main, atau mempermainkannya.

Pernyataan diri dan sumpahnya haruslah menjadi tekad dan pendirian kuat untuk-dalam kondisi apapun-harus selalu kibarkan bendera “suci” hukum yang berkeadilan itu. Di sinilah, kita selaku etalase terdepan lembaga peradilan harus tetap konsisten (istikamah) dalam menegakkan supremasi hukum yang berkeadilan, walau sejuta badai (godaan) menghampirinya. 

Tentu, tidak hanya itu untuk menjaga konsistensinya. Juga, tak boleh hanya dilakukan secara individual. Setiap aparatur peradilan harus terpanggil untuk menerapkan prinsip-prinsip hukum yang berkeadilan. Juga-secara periodik-harus menempa diri tentang kapasitasnya. Maklum, dinamika penyimpangan hukum demikian variatif dan semakin canggih. Hedonisme yang dihadapi setiap saat juga kian menggoda. Karenanya, secara periodik pula, perlu dibangun sistem pembinaan mental yang tahan uji dari godaan yang terus menyerbu setiap saat, secara langsung atau tidak.

Kiranya, kita perlu merespons positif manakala MA terus mengawasi kinerja dan mentalitas para insan hakim dan seluruh tenaga administratur lembaga peradilan. Semata-mata untuk menjaga marwah lembaga peradilan. Dan menjadi kebijakan yang inline ketika MA juga perlu melakukan rotasi tugas. Untuk memperkaya penguasaan medan yang sarat dinamika dan lainnya. Pengalaman seperti ini sungguh berharga bagi para insan hakim.

Rotasi tugas itu juga perlu dimaknai secara konstruktif. Yaitu, memotong akses tertentu dari pihak luar lembaga peradilan yang diduga menjalin kolusi negatif. Kebijakan mutasi-secara sistematis-akan memotong mata rantai kolusi yang merusak marwah pribadi penegak hukum atau institusi peradilan. 

Penulis: Nur Amalia Abbas
Editor: Tim MariNews