Rencana kenaikan gaji hakim secara signifikan hingga 280%, ini bisa diinterpretasikan sebagai sinyal kuat dan harapan besar dari negara, khususnya dari kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, terhadap lembaga peradilan. Kenaikan gaji yang drastis bukan sekadar peningkatan kesejahteraan materiil, melainkan sebuah investasi negara dalam integritas dan kemandirian yudisial.
Untuk itu sinyal kenaikan gaji yang selalu disampaikan Presiden Prabowo Subianto, di berbagai kesempatan seperti pada saat Laporan Tahunan Mahkamah Agung Tahun 2024 pada 19 Februari 2025 dan Pengukuhan Calon Hakim Tahun 2025 pada 12 Juni 2025, harus dimaknai oleh seluruh hakim di Indonesia, sebagai peringatan untuk selalu menjaga integritas setiap kali memberikan putusan sehingga memberikan rasa keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Apalagi, Presiden Prabowo juga mengatakan bahwa hakim adalah "Benteng Terakhir Keadilan".
Sinyal untuk Menolak Intervensi dan Menegakkan Keadilan Sejati
Peningkatan gaji yang substansial dapat menjadi benteng moral dan finansial bagi para hakim. Dengan terpenuhinya kebutuhan dasar dan standar hidup yang layak, diharapkan godaan suap dan gratifikasi dapat diminimalisir. Ini adalah sinyal bahwa negara ingin hakim sepenuhnya fokus pada penegakan keadilan dan hukum secara jujur dan terukur, tanpa terpengaruh oleh iming-iming materi ilegal.
Lebih jauh lagi, kenaikan gaji ini bisa menjadi penegasan untuk menolak segala bentuk intervensi dan intimidasi dari pihak manapun. Hakim diharapkan memiliki keberanian moral dan kemandirian profesional untuk memutus perkara berdasarkan fakta dan hukum, bukan tekanan dari pihak-pihak berkepentingan. Ini adalah pesan bahwa independensi peradilan adalah prioritas utama, dan bahwa hakim harus bebas dari pengaruh eksternal agar keadilan dapat ditegakkan seadil-adilnya.
Sinyal untuk Menghentikan Praktik Transaksional Ilegal
Sinyal lain yang bisa ditangkap adalah seruan tegas untuk menghentikan segala bentuk aktivitas pelayanan transaksional ilegal yang selama ini mencoreng citra peradilan. Kenaikan gaji yang signifikan diharapkan dapat menghilangkan alasan bagi praktik-praktik tercela seperti "mafia peradilan" atau pungutan liar. Ini adalah penegasan bahwa negara serius ingin membersihkan institusi peradilan dari korupsi dan praktik-praktik yang bertentangan dengan nilai-nilai keadilan dan tujuan hukum yang ingin dicapai negara.
Pada intinya, jika kenaikan gaji hakim sebesar ini benar-benar terwujud, itu adalah sebuah langkah strategis untuk memperkuat pondasi keadilan di Indonesia. Ini bukan hanya tentang angka di slip gaji, tetapi tentang membangun kembali kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan, memastikan bahwa hukum adalah panglima dan keadilan dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat tanpa pandang bulu.
Ini adalah harapan besar agar para hakim dapat menjalankan sumpah jabatannya dengan integritas penuh, menjadi pilar keadilan yang kokoh, dan mengabdi sepenuhnya demi kepentingan bangsa dan negara.
Mengapa Kenaikan Gaji Hakim Tak Boleh Sia-sia?
Kepercayaan adalah fondasi utama bagi tegaknya hukum dan keadilan. Lembaga hukum dan keutuhan negara bergantung terhadap kepercayaan masyarakat terhadap hukum. Indonesia sebagai negara hukum, peran hakim sangat krusial sebagai harapan masyarakat untuk mendapatkan keadilan yang sejati.
Ketika pemerintah menunjukkan kepercayaan kepada para hakim melalui langkah-langkah penting seperti kenaikan gaji, ini merupakan investasi yang berharga. Kenaikan gaji yang berarti bukan hanya sekadar angka, tetapi juga simbol harapan bahwa para penegak keadilan akan lebih mandiri, berintegritas, dan terjauh dari godaan.
Namun, harapan besar ini dapat hilang jika kepercayaan yang diberikan dilanggar oleh praktik korupsi. Korupsi dalam sistem peradilan tidak hanya melanggar etika, tetapi juga mengkhianati sumpah jabatan dan merusak sistem yang telah dibangun. Jika seorang hakim yang telah menikmati peningkatan kesejahteraan masih tergoda oleh suap atau gratifikasi, dampaknya akan sangat merugikan.
Praktik korupsi tidak hanya merusak reputasi lembaga peradilan yang seharusnya menjadi penjaga terakhir keadilan, tetapi juga mengecewakan citra pemerintah yang berupaya meningkatkan kesejahteraan aparatnya. Hal ini menciptakan siklus ketidakpercayaan.
Masyarakat yang sebelumnya memiliki harapan besar terhadap sistem hukum akan menjadi apatis, bahkan sinis, menganggap keadilan sebagai sesuatu yang dapat diperjualbelikan, bukan hak yang seharusnya mereka dapatkan.
Lebih lanjut, korupsi dalam sistem peradilan merusak harapan keadilan yang telah didasarkan pada fondasi negara hukum di Republik Indonesia. Konstitusi kita menjamin kesetaraan di depan hukum dan peradilan yang bebas. Namun, korupsi mengikis jaminan tersebut, menciptakan ketidaksesuaian antara hukum yang tertulis dan realitas yang ada. Ketika integritas putusan pengadilan dipertanyakan, legitimasi hukum juga runtuh, yang dapat memicu ketidakpercayaan publik dan mengganggu stabilitas sosial serta politik.
Oleh karena itu, kepercayaan yang diberikan pemerintah dengan peningkatan kesejahteraan hakim harus dijaga dengan serius. Kenaikan gaji harus menjadi dorongan untuk memperkuat integritas, bukan alasan untuk menjadi lebih serakah. Para hakim memiliki tanggung jawab besar, dan hanya melalui komitmen terhadap kejujuran dan keadilan, harapan yang dipikul mereka bisa terwujud. Masyarakat dan negara mengawasi mereka dengan harapan para hakim menjadi panutan integritas, mewujudkan keadilan yang sesungguhnya, dan menjaga martabat profesi yang mulia ini.