Prof. Pujiyono Unpad: Perlu Template Putusan dari MA untuk Mengakomodasi Pemaafan Hakim dalam KUHP Nasional

Topik pemaafan hakim menjadi topik yang penting untuk dibahas, karena pemikiran pemeriksaan pengadilan harus mempertimbangkan individualisasi pidana.
Guru Besar Universitas Diponegoro Prof. Dr. Pujiyono, S.H., M.Hum.
Guru Besar Universitas Diponegoro Prof. Dr. Pujiyono, S.H., M.Hum.

MARINews, Jakarta-Guru Besar Universitas Diponegoro  Prof. Dr. Pujiyono, S.H., M.Hum., berkesempatan memberikan materi Pemaafan Hakim dalam Era Baru Hukum Pidana pada acara Perisai Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum pada Rabu (30/4). Narasumber lain dalam acara tersebut yaitu, Dr. Fachrizal Afandi, S.H., M.H., (Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi).

Topik pemaafan hakim menjadi topik yang penting untuk dibahas, karena pemikiran pemeriksaan pengadilan harus mempertimbangkan individualisasi pidana. Individualisasi pidana untuk menjadi acuan penjatuhan pemaafan hakim harus memperhatikan keadilan operasional sebagai dasar hukum untuk mencegah prasangka bahwa pemaafan hakim adalah transaksional terselubung.

Prof. Pujiyono menjelaskan, pemaafan hakim atau rechtelijke pardon merupakan kewenangan yang diberikan ketentuan Pasal 54 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional).

Dengan adanya pengaturan tersebut, hakim dapat memberikan pemaafan atau tidak menjatuhkan hukuman pidana terhadap pelaku tindak pidana dengan tetap mengacu pada ketentuan pedoman pemidanaan sebagaimana diatur dalam Pasal 54 ayat (2) KUHP Nasional.

Diberikannya kewenangan hakim untuk melakukan pemaafan hakim tersebut sesuai dengan semangat Pasal 53 ayat (1) KUHP Nasional, di mana pemaafan hakim ditujukan agar menegakkan hukum dan keadilan. Hakim harus mempertimbangkan beratnya perbuatan pelaku serta telah pulihnya kondisi korban.

Dalam mempertimbangkan penjatuhan pidana, hakim harus mempertimbangkan kesalahan dari pelaku. Apakah pelaku memang dengan sengaja dan mengetahui tujuan atau akibat dari perbuatan pidana yang dilakukan. Hal ini juga yang ditekankan oleh Prof. Pujiyono berkaitan dengan individualisasi pidana.

Sikap perbuatan pidana juga harus dipertimbangkan, mens rea. Niat buruk dari pelaku jika terbukti dengan jelas juga dapat menjadi pertimbangan untuk menjatuhkan pidana. Akan tetapi, apabila tidak terbukti mens rea maka akan menjadi pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana.

Dalam acara tersebut, banyak kegelisahan hakim yang disampaikan pada sesi diskusi bahwa pemaafan hakim dalam Pasal 53 KUHP Nasional ini rawan dipandang negatif oleh masyarakat, sehingga hakim-hakim khawatir bagaimana menerapkan dalam pemaafan hakim dalam perkara dan putusan.

Menjawab kegelisahan tersebut, Prof. Pujiyono kembali mengingatkan mengenai inisiatif positif dari Mahkamah Agung yang sebelumnya telah menerbitkan konsep putusan acuan atau template putusan sebagaimana dimaksud dalam Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 359/KMA/SK/XII/2022 tentang Template dan Pedoman Penulisan Putusan/Penetapan Pengadilan Tingkat Pertama dan Tingkat Banding pada Empat Lingkungan Peradilan di Bawah Mahkamah Agung.

Menghadapi era keberlakuan KUHP Nasional, Mahkamah Agung dapat bersiap-siap dengan mencanangkan template putusan khususnya yang menjatuhkan putusan bermuatan pemaafan hakim sehingga dapat dijadikan acuan dari hakim-hakim Indonesia.