Praperadilan terdiri dari kata pra dan peradilan yang secara harfiah pra memiliki arti “mendahului” dan peradilan artinya proses menerapkan dan menegakkan hukum untuk mendapatkan keadilan yang dilakukan di pengadilan, sehingga “praperadilan” sama dengan pendahuluan sebelum pemeriksaan sidang di pengadilan.
Di Eropa, menurut Andi Hamzah, dikenal lembaga semacam itu, tetapi fungsinya memang benar-benar melakukan pemeriksaan pendahuluan, sehingga fungsi hakim komisaris benar-benar disebut praperadilan. Selain menentukan sah tidaknya penangkapan, penahanan, penyitaan, juga melakukan pemeriksaan pendahuluan atas suatu perkara.
Dalam hukum positif di Indonesia, praperadilan diatur di Pasal 1 angka 10 dan Bab X KUHAP tentang Wewenang Pengadilan untuk mengadili, yang terdiri dari Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 KUHAP serta Pasal 95 s/d 97 KUHAP. Kewenangan lembaga praperadilan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1 angka 10 junto Pasal 77 KUHAP, juga telah diperluas berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015 tanggal 11 Januari 2017, Peraturan Mahkamah Agung RI (PERMA) Nomor 4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan dan Praktek di Pengadilan Negeri.
Perluasan kewenangan tersebut, telah memperkuat dan mengakui objek praperadilan juga termasuk untuk memeriksa dan mengadili sah tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan, penyitaan dan keterlambatan pengiriman atau tidak diserahkannya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada JPU, terlapor, dan korban/pelapor.
Wewenang hakim praperadilan menurut hukum positif, sudah ditentukan secara limitatif sesuai ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Tuntutan pelaksanaan proses praperadilan semakin menguat di dalam masyarakat yang terindikasi dituduh melakukan tindak pidana.
Hampir dapat dikatakan, setiap orang yang disangka melakukan tindak pidana kemudian ditetapkan menjadi tersangka, upaya hukum yang pertama dilakukan adalah praperadilan. Dalam berbagai kasus pidana yang terjadi telah memperlihatkan bahwa dimohonkannya praperadilan bukan hanya untuk memperoleh keadilan, melainkan juga untuk melindungi hak asasi manusia.
Tujuan dibentuknya lembaga praperadilan adalah memang sebagai lembaga pengawasan atau kontrol horizontal terhadap bekerjanya lembaga penegak hukum dalam menyelenggarakan fungsi penegakan hukum dengan tujuan untuk mencegah tindakan upaya paksa yang berlawanan dengan Undang-Undang dan menjamin perlindungan terhadap hak asasi setiap warga negara.
Perkembangan praktik persidangan pada lembaga praperadilan secara tidak langsung memperluas objek praperadilan, hal itu terjadi karena adanya objek praperadilan yang diajukan oleh masyarakat untuk diperiksa dalam sidang praperadilan ternyata belum ada diatur dalam peraturan perundang-undangan, disamping itu Pengadilan Negeri sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya sebagaimana amanat Pasal 10 Undang-Undang 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Permohonan praperadilan yang objeknya belum ada diatur menurut hukum positif yakni permohonan praperadilan tentang penetapan tersangka baru dan praperadilan terkait tidak sahnya penghentian penyidikan secara materil atau diam-diam.
Permohonan Praperadilan yang Objeknya tentang Penetapan Tersangka Baru
KUHAP menentukan penetapan seseorang sebagai tersangka harus didasarkan kepada adanya minimal dua alat bukti sebagaimana yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP. Dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP mendefinisikan penyidikan sebagai serangkaian tindakan penyidik dalam dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Penetapan tersangka sebagai salah satu upaya paksa adalah kewenangan penyidik untuk menentukan siapa saja yang menjadi tersangka berdasarkan alat bukti yang dimilikinya. Adapun terhadap kewenangan tersebut terdapat peluang untuk terjadinya pengabaian terhadap pihak-pihak lain yang sebetulnya terlibat dalam suatu tindak pidana akan tetapi satu orang tersangka saja yang diproses sedangkan pihak-pihak lain yang diduga terkait dan atau terlibat malah mendapat status bersih dan tidak ditetapkan menjadi tersangka oleh penyidik.
Tindakan penyidik yang demikian, tentu tidak sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangan yang diatur dalam undang-undang sebagai lembaga penegak hukum. Adapun demikian kewenangannya tersebut tidak secara pasti dapat dikontrol melalui lembaga praperadilan. Hal yang demikian jelas tidak sesuai dengan dengan asas-asas dalam penegakan hukum pidana dalam KUHAP yakni asas kepastian hukum dan keadilan, asas perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan perbedaan perlakuan (equality before the law) serta mengakibatkan pengabaian hak-hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD RI 1945 yang menyatakan, segala warga negara memiliki kedudukan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Pada saat ini, sudah ada masyarakat yang mencoba memperjuangkan haknya melalui pengajuan permohonan praperadilan yang objeknya tentang penetapan tersangka baru.
Beberapa pengadilan yang pernah menerima permohonan praperadilan tersebut salah satunya Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang terdaftar dengan nomor perkara 24/Pid.Pra/2018/PN.Jkt.Sel dan 99/Pid.Prap/2017/PN.Jkt.Sel. Perkara permohonan praperadilan nomor: 24/Pid.Pra/2018/PN.Jkt.Sel diajukan oleh LSM Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) (sebagai pemohon) melawan Komisi Pemberantasan Korupsi (termohon) dengan objek praperadilan sah tidaknya penghentian penyidikan dengan uraian persoalan pokok bahwa termohon telah melakukan tindakan seolah-olah melakukan ”penghentian penyidikan secara materiil” karena tidak menuntaskan penyelesaian kasus korupsi Bank Century di mana hanya terdakwa Budi Mulya yang diproses secara hukum dan telah dijatuhkan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) sejak 2015, akan tetapi terhadap tersangka lainnya yakni saudara Boediono, Muliaman D Hadad, Raden Pardede dkk, yang didakwa secara bersama-sama dengan terdakwa Budi Mulya tidak pernah diproses dan tidak jelas status hukumnya sehingga dengan nyata menimbulkan ketidakpastian dan ketidakadilan serta pelanggaran terhadap asas hukum pidana dan hak asasi manusia.
Ketentuan hukum positif belum ada mengatur penetapan tersangka baru sebagai objek praperadilan yang artinya objek praperadilan tersebut diluar dari kewenangan Hakim Praperadilan akan tetapi dalam perkara nomor: 24/Pid.Pra/2018/PN.Jkt.Sel. Hakim Praperadilan berpendapat lain dengan pertimbangan bahwa lembaga praperadilan tugasnya adalah sebagai lembaga kontrol secara horizontal atas setiap kegiatan atau tindakan penegak hukum yang dilakukan dalam proses melaksanakan hukum formil dalam KUHAP dan kalau ada yang belum jelas atau remang-remang disitulah tugas hakim untuk memberi penjelasan atau penafsiran sebagaimana diatur dalam undang-undang pokok kekuasaan kehakiman Nomor 48 Tahun 2009, Undang Undang Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan konstitusi UUD RI 1945.
Hakim bukan hanya menegakkan hukum tetapi juga menegakkan hukum dan keadilan, sehingga setiap tindakan penyidik yang tidak memegang teguh prinsip kehati-hatian dan diduga telah melanggar hak asasi manusia, dapat dimintakan perlindungan kepada lembaga praperadilan, meskipun hal tersebut dibatasi secara limitatif oleh ketentuan Pasal 1 angka 10 juncto Pasal 77 huruf a KUHAP.
Hakim tunggal perkara praperadilan nomor 24/Pid.Pra/2018/PN. Jkt.Sel yang objek praperadilanya tentang penetapan tersangka baru kemudian dikabulkan, sehingga KPK (Termohon) diperintahkan untuk melakukan proses hukum selanjutnya sesuai dengan ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku atas dugaan tindak pidana korupsi Bank Century dalam bentuk melakukan Penyidikan dan menetapkan tersangka terhadap Boediono, Muliaman D Hadad, Raden Pardede dkk, (sebagaimana tertuang dalam surat dakwaan atas nama Terdakwa Budi Mulya) atau melimpahkannya kepada kepolisian dan atau kejaksaan untuk dilanjutkan dengan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dalam proses persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.
Perkara permohonan praperadilan nomor 99/Pid.Prap/2017/PN.Jkt.Sel yang objeknya sama dengan perkara nomor 24/Pid.Pra/2018/PN.Jkt.Sel, diajukan juga oleh Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) (sebagai pemohon) melawan Komisi Pemberantasan Korupsi (termohon) akan tetapi oleh hakim tunggal praperadilan perkara nomor perkara 99/Pid.Prap/2017/PN.Jkt.Sel menjatuhkan putusan yang berbeda dengan perkara nomor 24/Pid.Pra/2018/PN.Jkt.Sel, di mana hakim tunggal praperadilan perkara nomor 99/Pid.Prap/2017/PN.Jkt.Sel menyatakan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berwenang memeriksa dan memutus permohonan pemeriksaan praperadilan atas perkara a quo akan tetapi menolak menetapkan Armaya dan Boni Laksamana sebagai Tersangka dengan pertimbangan bahwa tindakan Termohon Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sampai saat ini belum melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap Armaya, menurut pendapat Hakim Praperadilan haruslah dimaknai sebagai tindakan kehati-hatian dalam menemukan alat bukti permulaan yang cukup sebagai konsekuensi logis sekurang-kurangnya ada dua alat bukti sebelum seseorang dijadikan sebagai tersangka.
Lembaga praperadilan sejatinya hanya berwenang menguji terhadap pelaksanaan upaya paksa oleh penyidik dan bukan untuk mewajibkan penyidik melakukan upaya paksa dengan menetapkan seseorang sebagai tersangka. Belum adanya aturan yang mengatur penetapan tersangka baru sebagai objek praperadilan, maka permohonan praperadilan diajukan dengan alasan sah tidaknya penghentian penyidikan namun dalam posita atau alasan-alasan permohonan praperadilan serta petitumnya memohon penetapan tersangka baru yang sebetulnya belum menjadi objek praperadilan.
Penetapan tersangka baru adalah perluasan objek praperadilan yang berkembang karena kondisi dalam praktek penegakan hukum dimana telah terjadi pengabaian terhadap pihak-pihak lain yang sebetulnya terlibat dalam suatu tindak pidana akantetapi tidak diproses hukum oleh Penyidik
.
Permohonan praperadilan tentang sah tidaknya penghentian penyidikan secara diam-diam.
Penghentian penyidikan diatur dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP yaitu dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya.
Pasal 109 ayat (2) KUHAP mengatur bahwa jika penyidik menghentikan penyidikan, maka wajib memberitahu penuntut umum dan tersangka atau keluarganya akan tetapi dalam prakteknya, penyidik jarang menerbitkan Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan (SP3) dengan alasan khawatir korban/pelapor/penuntut umum akan mengajukan praperadilan. Tak jarang penyidik mendiamkan perkaranya hingga perkara tersebut tidak dapat diproses, sehingga dapat terjadi daluwarsa penuntutan sebagaimana diatur dalam Pasal 78-80 KUHP atau kalaupun penyidik melakukan pelimpahan berkas perkara, terjadi pelimpahan bolak balik yang tak kunjung selesai antara penyidik dengan jaksa peneliti berkas. Hal tersebut bisa terjadi karena penyidik tidak melaksanakan petunjuk yang diberikan jaksa agar berkas dapat dinyatakan lengkap sebagai dasar menyusun dakwaan ataupun Jaksa memberi petunjuk subyektif yang sulit dipenuhi oleh penyidik.
Atas permasalahan tersebut menimbulkan akibat tertahannya proses penyidikan, padahal idealnya penyidik sebagai bagian dari lembaga penegak hukum di dalam melaksanakan tugasnya harus memperhatikan beberapa hal diantaranya hak tersangka untuk segera diperiksa oleh penyidik untuk selanjutnya dilanjutkan sampai ke pengadilan agar segera diadili oleh pengadilan (vide Pasal 50 KUHAP) dan juga memperhatikan asas cepat, sederhana, dan berbiaya ringan serta kepastian hukum dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara.
Permohonan praperadilan tentang tidak sahnya penghentian penyidikan secara materil atau diam-diam, maksudnya adalah tindakan yang dilakukan oleh penyidik yang tidak menindaklanjuti proses penyidikan atau kondisi dimana tidak adanya kemajuan perkembangan penanganan perkara selama bertahun-tahun. Permohonan praperadilan tersebut ada diajukan di beberapa pengadilan yakni di antaranya pada Pengadilan Negeri Boyolali dengan nomor register 01/PRA/2014/PN.Byl dan pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan nomor register 116/Pid.Pra/2024/PN Jkt.Sel. Pemohon perkara nomor: 01/PRA/2014/PN.Byl diajukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) melawan Kejaksaan Negeri Boyolali (Termohon I) dan Jaksa Agung (Termohon II) dengan objek praperadilan sah tidaknya penghentian penyidikan secara materil atau diam-diam yang dilakukan oleh Termohon I dengan cara lamanya penanganan perkara dugaan tindak pidana korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2004 Kabupaten Boyolali yang sampai dengan Permohonan Praperadilan diajukan penanganannya tidak kunjung diselesaikan.
Termohon I hanya memproses Ketua dan Wakil Ketua DPRD Boyolali periode 1999-2004 sebagai tersangka lalu sudah diperiksa dan diputus oleh Pengadilan akan tetapi pihak lain (seluruh Anggota DPRD Kabupaten Boyolali Periode 1999-2004) yang juga terlibat tidak dilakukan penyidikan bahkan perkaranya mangkrak atau berhenti selama 8 (delapan) tahun 10 (sepuluh) bulan. Walaupun penyidikan sudah berhenti selama 8 (delapan) tahun 10 (sepuluh) bulan Termohon I tidak menerbitkan pemberitahuan berupa Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Tindakan Termohon I tersebut menurut Pemohon telah melakukan tebang pilih penanganan perkara karena pihak lain (Ansoro dan kawan-kawan) tidak diproses hukum, sehingga tindakan tersebut menurut Pemohon merupakan tindakan penghentian penyidikan secara tidak sah dan melawan hukum.
Hakim praperadilan dalam putusan Pengadilan Negeri Boyolali Nomor: 01/PRA/2014/PN.Byl yang diputuskan tanggal 05 Desember 2014 telah mempertimbangkan terkait objek praperadilan tentang penghentian penyidikan secara materil atau diam-diam tersebut dimana Hakim praperadilan berpendapat walaupun secara formil Termohon I tidak mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) namun secara materil tindakan Termohon telah membuat perkara ini in casu menjadi menggantung yang berlangsung selama bertahun-tahun dan mengakibatkan adanya ketidakpastian hukum, sehingga dapat dikualifikasikan Termohon telah melakukan penghentian penyidikan yang tidak sah, oleh karenanya Hakim Praperadilan dalam putusan mengabulkan permohonan pemohon dan menyatakan Termohon I telah melakukan penghentian penyidikan yang tidak sah menurut hukum dan memerintahkan kepada Termohon I untuk melanjutkan proses penyidikan terhadap seluruh mantan anggota DPRD Kabupaten Boyolali periode 1999-2004 yang mengikuti sidang paripurna untuk menyetujui, perubahan APBD tahun 2004 Kota Boyolali tentang Persetujuan Penetapan Perubahan Perda Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kedudukan Keuangan DPRD Kabupaten Boyolali khusus mengatur mengenai tunjangan perbaikan, tunjangan kesejahteraan, tunjangan purnabakti, tunjangan perjalanan dinas tetap dan biaya penunjang operasional pimpinan.
Perkara permohonan praperadilan nomor: 116/Pid.Pra/2024/PN Jkt.Sel. memiliki objek sama dengan perkara nomor: 01/PRA/2014/PN.Byl. Adapun permohonan praperadilan nomor perkara 116/Pid.Pra/2024/PN Jkt.Sel diajukan oleh Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) (sebagai Pemohon) melawan Negara Kesatuan Republik Indonesia cq Pemerintah Negara RI cq Kepala Kepolisian RI cq Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya (Termohon I) dan Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia cq. Jaksa Agung RI cq. Kepala Kejaksaan Tinggi Jakarta (Termohon II). Pemohon mendalilkan pada tanggal 22 November 2023, Termohon I telah menetapkan Firli Bahuri sebagai tersangka kasus tindak pidana pemerasan, suap dan atau gratifikasi dan Firli Bahuri pun telah menguji 2 (dua) kali penetapan tersebut ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, yang mana praperadilan tersebut dinyatakan tidak diterima. Termohon I sebetulnya telah melimpahkan berkas perkara kepada Termohon II, namun Termohon II tidak segera menyatakan berkas lengkap dan layak untuk diajukan ke tahap penuntutan sehingga penyidikan perkara telah berusia hampir 1 (satu) tahun. Kondisi ini jelas merugikan korban tindak pidana korupsi (negara dan rakyat Indonesia) karena tidak terdapatnya kepastian hukum dan kepastian keadilan. Perkara praperadilan nomor: 116/Pid.Pra/2024/PN Jkt.Sel telah diputus dengan amar dinyatakan tidak dapat diterima dengan alasan berdasarkan bukti-bukti yang ada Hakim Tunggal Praperadilan mempertimbangkan bahwa pengajuan permohonan praperadilan oleh pemohon masih terlalu Prematur untuk menyatakan bahwa telah terjadi penghentian penyidikan terhadap penanganan kasus tindak pidana pemerasan, suap dan atau gratifikasi yang diduga dilakukan oleh Drs. Firli Bahuri, M.Si.
Kesimpulan
Kedudukan praperadilan dalam sistem peradilan pidana Indonesia telah mengalami kemajuan yang pesat dan dianggap segera perlu dilakukan pembaharuan. Adanya Lesson learned (pengalaman) dalam penegakan hukum praperadilan tentang penetapan tersangka baru dan terkait sah tidaknya penghentian penyidikan secara materil atau diam-diam karena penyidik tidak menindaklanjuti proses penyidikan atau peyidikan yang tidak ada kemajuan perkembangan penanganan perkaranya selama bertahun-tahun bisa menimbulkan perbedaan penafsiran dan implementasi oleh para hakim praperdilan dikarenakan objek praperadilan ini belum diatur dalam hukum positif.
Walaupun demikian Hakim praperadilan perkara nomor: 24/Pid.Pra/2018/PN.Jkt.Sel. dan perkara nomor: 01/PRA/2014/PN. Byl. berdasarkan Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Hakim Praperadilan telah melakukan penemuan dan terobosan hukum sehingga kebuntuan persoalan tersebut dapat selesai dengan diperluasnya objek praperadilan sehingga hakim bukan hanya menegakkan hukum tetapi juga menegakkan hukum dan keadilan.
Kehadiran lembaga praperadilan yang tugasnya sebagai lembaga kontrol secara horizontal atas setiap kegiatan atau tindakan penegak hukum yang dilakukan dalam proses melaksanakan hukum formil dalam KUHAP ke depan dalam Rancangan KUHAP dapat diperluas tidak hanya berwenang menguji terhadap pelaksanaan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik yang sebelumnya sudah diatur dalam hukum positif akan tetapi dapat diperluas yakni termasuk juga penetapan tersangka baru dan tidak sahnya penghentian penyidikan secara materil atau diam-diam atau tanpa ada surat penetapan penghentian penyidikan (SP3). Tujuan diperluasnya objek praperadilan tersebut di antaranya adalah :
1. Mewujudkan supremasi hukum dan keadilan.
2. Menjamin, melindungi, dan terpenuhinya hak asasi manusia dalam UUD 1945.
3. Penegakan hukum yang sesuai dengan asas kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum dan proporsionalitas.
4. Menciptakan mekanisme checks and balances yang setara dan seimbang antara cabang-cabang lembaga penegakan hukum (polisi, kejaksaan, KPK, pengadilan), mengingat tidak adanya mekanisme pengawasan terhadap kewenangan penyidik tersebut sehingga dapat berpotensi melakukan penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang (abuse of power).