Waktu berjalan terasa cepat, 2026 telah menanti di depan mata, yang berarti tidak lama lagi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau yang lebih dikenal sebagai KUHP Nasional akan resmi berlaku, tepatnya pada 2 Januari 2026.
Hal tersebut menandai momentum ketidakberlakuan KUHP lawas warisan Belanda, yang telah sekian lama berlaku dan mewarnai perjalanan sejarah hukum pidana di tanah air.
Bagi sarjana hukum tentu tidak asing dengan salah satu asas pamungkas yang bernama asas legalitas (lex temporis delicti). Asas tersebut, dapat ditemui dalam KUHP lama pada pasal 1 ayat (1) yang berbunyi “tidak ada suatu perbuatan yang dapat dihukum, kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut undang-undang yang telah ada terlebih dahulu daripada perbuatan itu sendiri.”, yang merupakan terjemahan dari bahasa Belanda “Geen feit is strafbaar dan uit kracht van eene daaraan voorafgegane wettelijke strafbepaling”.
Meskipun KUHP lama kelak ditinggalkan, ternyata asas tersebut masih tetap abadi dalam KUHP Nasional, bahkan dengan letak yang sama, yakni, di Pasal 1 ayat (1). Hal tersebut menandakan betapa kedudukan asas ini begitu penting dalam keberlakuan hukum pidana di Indonesia.
Hingga pertanyaan selanjutnya mengapa harus asas legalitas?
Untuk menjawab hal tersebut kita harus mundur jauh ke awal Abad ke-19. Meskipun jika melihat sudut pandang yang lebih luas, asas tersebut pun telah dikenal jauh sebelumnya yakni di masa Rasulullah SAW, yang merujuk pada surah Al-Qashash ayat 59, yang berbunyi, “Dan tidaklah Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum Dia mengutus di kota itu seorang Rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka.”
Jika melihat dari sudut pandang KUHP, maka kita harus mengalihkan pandangan kepada seorang juris dari Jerman yang bernama von Feuerbach, dalam bukunya yang berjudul Lehrbuch des Peinlichen Recht yang ditulis pada 1801 yang merumuskan sebuah postulat yang berbunyi, “nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali” yang berarti, “tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan”.
Dalam perjalanan sejarah, asas legalitas muncul sebagai akibat dari memuncaknya reaksi terhadap kekuasaan yang mutlak (absolutisme) dari raja-raja pada zaman Romawi.
Pada saat itu, dikenal adanya kejahatan yang dinamai crimine extra ordinaria, artinya: kejahatan-kejahatan yang tidak disebut dalam undang-undang. yang melahirkan crimine stellionatus (perbuatan jahat/durjana) yang ditentukan berdasarkan selera seorang raja.
Dalam perjalanannya ketentuan crimine extra ordinaria diadopsi oleh raja-raja di Eropa Timur, dan menerapkannya secara sewenang-wenang, menurut kehendak dan kebutuhan raja-raja tersebut.
Sebagai antitesisnya kemudian lahirlah gagasan sebuah peraturan harus tegas, agar melahirkan kepastian hukum. Ketentuan tersebut pertama kali tertuang dalam Pasal 8 Déclaration des droits de L’homme et du citoyen (1789), Undang-Undang Prancis yang keluar pada saat pecahnya revolusi.
Selanjutnya Napoleon Bonaparte menuangkan asas legalitas tersebut ke dalam Pasal 4 Code Penal Prancis, dan ketika Belanda diduduki oleh Prancis, aturan tersebut pun diberlakukan di Belanda dengan Pasal 1 Wetboek van Straftrecht Nederland 1881.
Akibat dari kolonialisme Belanda di Hindia Belanda, aturan tersebut kemudian dibawa ke Hindia Belanda melalui Pasal 1 Wetboek van strafrecht voor Nederlandsch-Indië 1918. Ketika Indonesia menyatakan diri merdeka, dengan asas konkordansi memberlakukan ketentuan pidana tersebut melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946. Demikianlah sejarah keberlakuan asas legalitas sejak awal datang hingga lestari di Indonesia.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP, pun memuat ketentuan tersebut yang bunyinya, “Tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dikenai sanksi pidana dan/atau tindakan, kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”. Dalam penjelasan pasal tersebut menyebutkan, ketentuan ini mengandung asas legalitas yang menentukan bahwa suatu perbuatan merupakan tindak pidana jika ditentukan oleh atau didasarkan pada peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan dalam ketentuan ini adalah undang-undang dan peraturan daerah.
Asas legalitas merupakan asas pokok dalam hukum pidana. Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan yang mengandung ancaman pidana harus sudah ada sebelum tindak pidana dilakukan. Hal ini berarti, ketentuan pidana tidak boleh berlaku surut.
Secara teoritis asas legalitas harus memenuhi prinsip, pertama, nullum crimen, nulla poena sine lege praevia, yang berarti tidak ada perbuatan pidana dan pemidanaan, tanpa ada undang-undang mendahuluinya. Konsekuensinya bahwa sebuah peraturan tidak dibenarkan berlaku surut, yang mana larangan tersebut disebutkan dengan tegas dalam penjelasan Pasal 1 ayat (1) KUHP Nasional.
Kedua, nullum crimen, nulla poena sine lege scripta, yang berarti tidak ada perbuatan pidana atau pemidanaan, tanpa aturan tertulis. Konsekuensinya tindak pidana yang dilarang harus tertulis secara tegas dalam perundang-undangan.
Ketiga, nullum crimen, nulla poena sine lege certa, yang berarti tidak ada perbuatan pidana dan pemidanaan, tanpa ada undang-undang yang jelas. Konsekuensinya suatu peraturan harus jelas sehingga tidak ada yang multi tafsir.
Keempat, nullum crimen, nulla poena sine lege stricta, yang berarti tidak ada perbuatan pidana dan pemidanaan, tanpa ada undang-undang yang ketat. Konsekuensinya adalah tidak dibenarkan adanya tafsir analogi dalam hukum pidana. Khusus untuk larangan analogi maka dengan tegas disebutkan pada Pasal 1 ayat (2) KUHP Nasional.
Penerapan asas legalitas dalam ketentuan pidana mengandung tujuan yang sangat penting dan hal tersebutlah menjadi alasan dituangkan dalam KUHP Nasional, sebagai wujud Indonesia sebagai negara hukum, adapun alasannya: Pertama, agar masyarakat mengetahui perbuatan apa saja yang dilarang dan diancam dengan pidana, oleh karenanya mereka akan dapat menghindarkan diri dari melakukan perbuatan dilarang tersebut, sehingga dapat mencegah terjadinya kejahatan (prevention crime).
Kedua, agar penguasa tidak bertindak sewenang-wenang dengan kekuasaannya karena adanya pembatasan oleh undang-undang. Ketiga; agar adanya jaminan kepastian hukum bagi masyarakat dalam menerima segala konsekuensi tindakan hukum yang dilakukannya khususnya dari penguasa. Hal tersebutlah yang menjadikan kedudukan asas legalitas begitu istimewa dalam hukum pidana Indonesia.