MARINews, Jakarta-Dalam rangka menyongsong Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) dan membuka ruang dialog mengenai pembaruan hukum Indonesia, Kementerian Hukum menggelar webinar bertajuk Sosialisasi RUU KUHAP: “Menuju Sistem Peradilan Pidana yang Efisien, Adil dan Terpadu.”, yang diselenggarakan secara daring pada Rabu (28/5).
Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung Dr. Prim Haryadi, S.H., M.H., menjadi salah satu narasumber pada webinar tersebut bersama dengan narasumber lainnya yaitu, Wakil Kementerian Hukum, Prof. Edward O. S. Hiariej, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum, Prof. Dr. Asep N. Mulyana, S.H., M.Hum., Kepala Divisi Hukum Kepolisian, Irjen Pol. Dr. Viktor Theodorus Sihombing, S.I.K., M.Si., Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof. Harkristuti Harkrisnowo, S.H., M.A., Ph.D., dan Advokat, Dr. Luhut M. P. Pangaribuan, S.H., LL.M.
Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung tersebut, membuka pemaparannya dengan mengucapkan rasa terima kasih kepada pemerintah yang telah melibatkan Mahkamah Agung dalam proses penyusunan Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Ia menuturkan, berawal pada Mei 2025 Mahkamah Agung menerima draf RUU KUHAP berupa daftar isian masalah dari pemerintah.
Kemudian, Mahkamah Agung mengambil langkah-langkah yaitu, dengan mengadakan pertemuan dengan seluruh satuan kerja di tingkat pertama Pengadilan Negeri (PN) maupun tingkat banding Pengadilan Tinggi (PT) serta pertemuan dengan hakim agung pada kamar pidana. Mahkamah Agung, tambah Prim Haryadi, telah memberikan masukan tentang daftar isian masalah kepada pemerintah.
“Kebutuhan aparat penegak hukum atas hukum acara pidana yang baru merupakan suatu keniscayaan yang perlu diprioritaskan.” tegas Ketua Kamar Pidana yang dilantik pada Agustus 2024 silam.
Keberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional pada 2 Januari 2026, tambahnya, mendesak pemerintah dan DPR agar segera merampungkan draf RUU KUHAP, sehingga dapat memenuhi berbagai kebutuhan hukum acara pada hukum pidana materiil yang diatur dalam KUHP Nasional tersebut.
Urgensi Penyusunan RUU KUHAP
Prim Haryadi di tengah pemaparannya selanjutnya menguraikan beberapa hal yang melatarbelakangi urgensi pembentukan KUHAP yang baru. Hal ini menurutnya, karena beberapa ketentuan hukum atau undang-undang yang ada, mengatur secara khusus tentang hukum acara.
Ia mengutarakan, perlu adanya harmonisasi dengan KUHAP yang baru. Sebab dalam undang-undang tersebut, telah mengatur hukum acara secara khusus dan banyak hal yang termuat dalam udang-undang khusus tersebut yang memerlukan harmonisasi, seperti Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Narkotika, Undang-Undang Terorisme, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-Undang Kekerasan dalam Rumah Tangga, Undang-Undang Perikanan dan lain-lain.
Berbicara mengenai kekosongan hukum acara pidana, Mahkamah Agung berdasarkan Pasal 79 Undang-Undang Mahkamah Agung diberikan kewenangan untuk mengatur hukum acara. Oleh karena itu, banyak hukum acara pidana yang diatur melalui Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) ataupun Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) yaitu, SEMA 1 Tahun 2020 yang berkaitan dengan persidangan elektronik, PERMA 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi, SEMA 4 Tahun 2021 tentang Penerapan Beberapa Ketentuan dalam Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, PERMA 1 Tahun 1996 tentang Petunjuk Permohonan Pemeriksaan Sengketa Kewenangan Mengadili dalam Perkara Perdata, SEMA 4 Tahun 1980 tentang Pasal 16 UU Nomor14 Tahun 1970 dan "prejudicieel geschief" dan lain-lain.
“Semua SEMA dan PERMA tersebut mengatur tentang hukum acara yang selama ini merupakan kekosongan hukum dari KUHAP yang lama, sehingga perlu diakomodir dalam RUU KUHAP.” tegas pria kelahiran Bengkalis itu.
Substansi KUHP 2023 Apa Saja yang Memerlukan Penyesuaian KUHAP?
Selanjutnya, Prim Haryadi menjabarkan beberapa substansi KUHP 2023 yang memerlukan penyesuaian dengan KUHAP seperti penghapusan kategori pelanggaran dan pidana ringan. KUHP 2023 tidak lagi membedakan antara kejahatan dan pelanggaran serta menghapus kategori pidana ringan. Hal ini, menurutnya, berdampak pada tata cara pemeriksaan, penahanan dan upaya hukum yang sebelumnya diatur berbeda dalam KUHAP lama.
Ia juga menyoroti perihal alternatif pidana penjara berupa pidana pengawasan dan pidana kerja sosial. Begitu pula dengan pemidanaan terhadap korporasi. KUHAP lama, ia menjelaskan, belum mengatur tata cara pemanggilan, pemeriksaan, penahanan, dan pemidanaan terhadap korporasi.
Substansi keempat yang memerlukan penyesuaian KUHAP, tambah Prim Haryadi, sistem pemidanaan double track berupa penjatuhan pidana dan tindakan. Selanjutnya, berkaitan dengan judicial pardon (permaafan hakim), yaitu konsep permaafan hakim yang dapat membebaskan terdakwa dari pidana meskipun terbukti bersalah dengan pertimbangan tertentu.
Prim Haryadi kemudian menjabarkan, perlu adanya pengaturan lebih lanjut mengenai pidana mati dengan percobaan, mengingat di KUHP yang baru mengatur pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan 10 tahun. Selain itu, pengakuan dan perlindungan hak korban perlu untuk diesesuaikan dengan KUHAP, sebab KUHP 2023 lebih menekankan perlindungan dan hak-hak korban, termasuk hak atas restitusi, kompensasi dan rehabilitasi.
“Selanjutnya, penyederhanaan dan percepatan proses persidangan. KUHP 2023 mengedepankan keadilan korektif, restoratit, dan rehabilitatif, sehingga proses persidangan perlu lebih sederhana, cepat, dan berbiaya ringan.” jelas pria yang pernah menjabat sebagai Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum itu.
Lebih lanjut, ia menjelaskan perihal penyesuaian terhadap subjek hukum baru dan pidana khusus. Menurutnya, dengan adanya subjek hukum baru (korporasi, anak, dan kelompok rentan) serta pengaturan pidana khusus, KUHAP perlu mengatur tata cara pemeriksaan, perlindungan, dan pelaksanaan pidana bagi subjek-subjek tersebut secara spesifik.
Beberapa Substansi yang Memerlukan Pembahasan Lebih Lanjut dalam RUU KUHAP
Dalam pemaparannya, Prim Haryadi turut menyebutkan beberapa susbtansi yang perlu pembahasan lebih lanjut yaitu, penjelasan dan batasan tentang pengertian tentang tertangkap tangan. Perlu juga penegasan sejauh mana penerapan prinsip Hakim Aktif yang diperbolehkan.
Selanjutnya, ia menuturkan, hukum acara praperadilan perlu disempurnakan khususnya mengenai tata cara pemanggilan para pihak, berapa kali panggilan dapat dilakukan dan apa konsekuensinya apabila pihak tidak hadir setelah dipanggil.
Kemudian dalam ketentuan mengenai pemeriksaan di sidang pengadilan, tambahnya, alat bukti petunjuk dihapuskan dan diganti menjadi tentang segala sesuatu yang dapat digunakan untuk kepentingan pembuktian pada pemeriksaan di sidang pengadilan sepanjang diperoleh secara tidak melawan hukum. Ia menyarankan, sebaiknya dimaknai sebagai "petunjuk" dan dimuat di dalam penjelasan pasal terkait.
Tak hanya itu, alasan peninjauan kembali karena terdapat kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata sebaiknya tetap dimuat dalam KUHAP, sebab RUU KUHAP menghilangkan alasan peninjauan kembali karena terdapat kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata tersebut.
Ia turut mengungkapkan, perlu diatur tentang hukum acara keberatan pihak ketiga atas penyitaan/perampasan barang bukti, sebagaimana selama ini diketahui dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Narkotika mengatur tentang adanya norma keberatan pihak ketiga yang beritikad baik terhadap penyitaan barang bukti.
Adapun selama ini, tambah Prim Haryadi, Mahkamah Agung menyikapi dengan mengatur tentang pedoman persidangan keberatan pihak ketiga yang beritikad baik terhadap sita pada perkara tindak pidana korupsi sebagaimana dalam PERMA Nomor 2 Tahun 2022.
“Kami juga meminta agar keberatan pihak ketiga yang beritikad baik atas penyitaan ini bukan hanya berlaku untuk perkara tindak pidana korupsi dan narkotika, tetapi juga untuk perkara-perkara lainnya.” ujarnya.
Substansi ketujuh yang memerlukan pembahasan lebih lanjut di dalam RUU KUHAP adalah, pengaturan lebih lanjut tentang penangguhan penahanan. Begitu pula mengenai penyitaan terhadap aset yang diduga merupakan hasil tindak pidana yang pelakunya tidak diketahui.
“Karena dalam perkara judi online, terdapat rekening-rekening yang tidak diketahui pemiliknya. Selama ini Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA Nomor 1 tahun 2013. Kami juga nanti meminta agar diakomodir dalam KUHAP yang baru.” tegas Prim Haryadi dalam webinar yang dihadiri lebih dari 5.000 peserta secara daring tersebut.
Selanjutnya, ia menjabarkan tiga hal penting terakhir yang perlu mendapatkan perhatian bersama yaitu, perlu adanya penegasan mengenai hubungan antara penyitaan dalam perkara pidana dan perdata, izin Ketua Pengadilan dalam penangkapan dan penahanan serta perihal batasan upaya hukum kasasi.
Kemudian di akhir pemaparannya, Prim Haryadi menuturkan, dengan diberlakukannya KUHP 2023 dan derasnya arus perkembangan hukum acara pidana di era modern, kehadiran RUU KUHAP mutlak diperlukan sebagal fondasi sistem peradilan yang lebih efisien, adil, dan adaptif terhadap kebutuhan zaman.
“Sudah saatnya hukum acara kita tidak hanya menjadi penjaga prosedur, tetapl juga menjadi penggerak keadilan yang hidup dan bermartabat bagi semua pihak.” ungkapnya penuh harap.
Ketua Kamar Pidana tersebut kemudian menutup pemaparannya dengan mengutip perkataan dari Prof. Satjipto Rahardjo, “Hukum yang tidak mampu melayani keadlian akan ditinggalkan oleh masyarakatnya.”, maka menyegerakan pengesahan RUU KUHAP, tambahnya, bukan hanya soal legislasi tetapi soal keberpihakan kepada masa depan hukum yang berkeadilan.