Hukum waris Islam merupakan ketentuan syariat yang mengatur mengenai peralihan harta yang diakibatkan adanya kematian yang mencakup pengaturan distribusi harta peninggalan, siapa-siapa yang berhak menerimanya, berapa bagian masing-masing, serta tata cara pembagiannya (Amir Syarifuddin, 2004).
Menurut mayoritas atau jumhur ulama’ terdapat tiga golongan yang berhak menerima warisan yaitu golongan karena kekerabatan, golongan karena perkawinan, dan golongan karena hubungan wala’ atau memerdekakan budak (Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy: 1997).
Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia diatur dalam pasal 174 terkait siapa-siapa yang berhak mendapat warisan yaitu mereka yang memiliki hubungan darah (kekerabatan) dan mereka yang memiliki hubungan perkawinan (duda atau janda).
Namun demikian, dalam hukum kewarisan Islam ada beberapa hal yang dapat menggugurkan seseorang untuk menerima warisan. Menurut mayoritas atau jumhur ulama’ terdapat tiga hal yang menyebabkan saling terhalangnya waris-mewarisi yaitu perbudakan, membunuh pewaris, dan perbedaan agama (Maimun Nawawi, 2016).
Dalam tulisan ini, penulis hanya fokus pada gugurnya ahli waris mendapatkan warisan karena perbedaan agama.
Mayoritas atau jumhur ulama’ telah bersepakat bahwa perbedaan agama menjadi penyebab seseorang gugur untuk mendapatkan harta warisan. Pendapat ini disandarkan pada Hadis Nabi Muhammad SAW yang menyatakan sebagai berikut:
“Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Ashim dari ibn Juraijdari Ibnu Syihab dari Ali bin Husain dari Amru bin Utsman dari Usamah bin Zaid RA, Nabi SAW bersabda: “Orang muslim tidak mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi orang muslim” (HR. Bukhari).
“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Rumh, telah memberitakan kepada kami Ibn Lahi’ah dari Khalid bin Yazid bahwa Mutsanna bin Ash Shabbah mengabarinya dari ‘Amru bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “Pemeluk dua agama (yang berlainan) tidak boleh saling mewarisi” (HR. Ibn Majah).
Dalam Pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam dinyatakan “Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris”. Kemudian dalam pasal 172 dinyatakan “Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari kartu identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya”.
Terobosan Hukum Mahkamah Agung
Berdasarkan pendapat mayoritas atau jumhur ulama’ serta ketentuan tertulis dalam Kompilasi Hukum Islam, seorang nonmuslim tidak dapat menerima harta warisan dari seorang pewaris yang beragama Islam.
Namun demikian, pada 2018 Mahkamah Agung membuat terobosan hukum baru melalui Putusan Nomor 331 K/Ag/2018 yang diputuskan pada tanggal 31 Mei 2018 yang memberikan ruang bagi duda atau janda yang murtad (nonmuslim) untuk tetap mendapatkan harta warisan melalui jalan wasiat wajibah.
Dalam putusan tersebut memuat kaidah hukum sebagai berikut “Bahwa suami-istri beda agama tetapi kehidupan rumah tangga mereka tetap harmonis sampai meninggal salah satu pasangannya maka bagi yang nonmuslim dapat diberikan bagian harta warisan melalui wasiat wajibah.”
Posisi Kasus
Kaidah hukum yang dikeluarkan Mahkamah Agung tersebut berdasarkan pada sebuah kasus perkara sebagai berikut dibawah ini:
Jenis/Klasifikasi perkara: Gugatan waris beda agama
Penggugat:
1. Arman Nasution bin H. Amir Husin Nasution (Penggugat I)
2. Irwani Nasution binti H. Amir Husin Nasution (Penggugat II)
3. Drs. H. Arlan Nasution bin H. Amir Husin Nasution (Penggugat III)
4. Iryani Nasution binti H. Amir Husin Nasution (Penggugat IV)
5. H. Arwin Nasution bin H. Amin Husin Nasution (Turut Tergugat)
Tergugat: Victor Sitorus bin L. Sitorus
Adapun posisi singkat kasus tersebut ialah sebagai berikut:
1. Telah terjadi pernikahan Dr. Anita Nasution binti H. Amir Husin Nasution dengn Victor Sitorus bin L. Sitorus sebagaimana Kutipan Akta Nikah No. 855/26/XII/1999 yang dikeluarkan KUA Kecamatan Pesanggrahan;
2. Dari pernikahan Dr. Anita Nasution binti H. Amir Husin Nasution dengan Victor Sitorus bin L. Sitorus (Tergugat) tidak dikaruniai anak;
3. Pada Senin (26/8/2008), Dr. Anita Nasution binti H. Amir Husin Nasution meninggal dunia di Guangzou, Cina;
4. Almarhumah Dr. Anita Nasution meninggalkan ahli waris seorang suami bernama Victor Sitorus (tergugat) dan empat orang saudara kandung:
a. Arman Nasution bin H. Amir Husin Nasution (Penggugat I)
b. Irwani Nasution binti H. Amir Husin Nasution (Penggugat II)
c. Drs. H. Arlan Nasution bin H. Amir Husin Nasution (Penggugat III)
d. Iryani Nasution binti H. Amir Husin Nasution (Penggugat IV)
e. H. Arwin Nasution bin H. Amin Husin Nasution (Turut Tergugat)
5. Tergugat Victor Sitorus telah berpindah/kembali ke agama nasrani sehingga karenanya menjadi penghalang bagi tergugat mendapatkan waris dari almarhumah;
6. Dalam perkawinan Dr. Anita Nasution dengan tergugat, memiliki harta bersama:
a. Sebidang tanah dan bangunan rumah tinggal di atasnya seluas + 1200 M2 yang terletak di Jl. Puyuh Timur IX 6/10 Bintaro V RT.008/RW.009, Kelurahan Jurang Mangu Timur Kecamatan Pondok Aren, Kota Tangerang Selatan.
b. Sebidang tanah kosong seluas + 415 M2 yang terletak di Kp. Jurang Mangu RT.005/RW.002 Kelurahan Jurang Mangu Barat, Kecamatan Pondok Aren, Kota Tangerang Selatan.
c.Dst.
7. Harta Waris dari almarhumah adalah setengah/separoh dari harta bersama di atas.
8. Para Penggugat berulangkali meminta tergugat agar harta-harta tersebut diselesaikan pembagiannya dengan musyawarah namun tergugat tidak bersedia;
9. Para Penggugat menuntut tergugat untuk mengadakan pembagian harta sesuai dengan ketentuan hukum waris yang didasarkan faraidh;
Pemeriksaan Tingkat Pertama
Kasus tersebut pada tingkat pertama diperiksa oleh Pengadilan Agama Tigaraksa, dalam pemeriksaannya, tergugat telah mengakui telah keluar dari agama Islam dan memeluk agama sebelumnya yang dianut sebelum menikah dengan almarhumah Dr. Anita Nasution, yaitu agama kristen.
Dalam putusan nomor 2886/Pdt.G/2014/PA.Tgrs pada pokoknya menyatakan, Victor Sitorus (suami dari Dr. Anita Nasution) tidak berhak menjadi ahli waris karena telah murtad dengan menggunakan dalil Hadis Nabi SAW yang berbunyi “tidaklah berhak seorang muslim mewarisi orang kafir, dan tidak pula orang kafir mewarisi muslim.” (H.R Bukhari dan Muslim) dan kemudian menetapkan ahli waris yang berhak mendapatkan harta warisan dari almarhumah Dr. Anita Nasution yaitu:
1. Arman Nasution bin H. Amir Husin Nasution (sebagai saudara kandung)
2. Irwani Nasution binti H. Amir Husin Nasution (sebagai saudara kandung)
3. Drs. H. Arlan Nasution bin H. Amir Husin Nasution (sebagai saudara kandung)
4. Iryani Nasution binti H. Amir Husin Nasution (sebagai saudara kandung)
5. H. Arwin Nasution bin H. Amin Husin Nasution (sebagai saudara kandung)
Pemeriksaan Tingkat Banding
Atas putusan nomor 2886/Pdt.G/2014/PA.Tgrs yang dijatuhkan oleh Pengadilan Tigaraksa, kemudian Victor Sitorus mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Agama Banten. Terhadap upaya banding tersebut Pengadilan Tinggi Agama Banten menjatuhkan putusan nomor 78/Pdt.G/2017/PTA.Btn yang pada pokoknya menguatkan putusan nomor 2886/Pdt.G/2014/PA.Tgrs yang dijatuhkan oleh Pengadilan Tigaraksa.
Pemeriksaan Tingkat Kasasi
Atas putusan nomor 78/Pdt.G/2017/PTA.Btn yang dijatuhkan oleh Pengadilan Tinggi Agama Banten kemudian Victor Sitorus mengajukan kasasi, adapun Majelis Hakim kasasi kemudian menjatuhkan putusan nomor 331 K/Ag/2018 dengan menyatakan “…putusan Pengadilan Agama Tigaraksa harus diperbaiki sepanjang mengenai hak pemohon kasasi sebagai duda dari pewaris terhadap harta warisan dengan pertimbangan sebagai berikut”
Adapun pertimbangan Majelis Hakim kasasi terkait hak pemohon atas harta warisan yaitu
“Menimbang, bahwa dengan memperhatikan hubungan antara pemohon kasasi dengan pewaris, semasa hidupnya yang cukup baik dan harmonis, bahkan pemohon kasasi telah mendampingi pewaris selaku istri dalam suka maupun duka. Bahkan pada saat pewaris sakit, pemohon kasasi tetap merawat pewaris dengan setia dan selalu mendampingi sampai berobat ke Cina, maka sepantasnya pemohon kasasi yang beragama nonmuslim diberi bagian dari harta warisan dalam bentuk wasiat wajibah sebesar ¼ (seper empat) dari harta peninggalan pewaris.”
Upaya Refinement of The Law
Refinement of the law merupakan penghalusan hukum yang dilakukan oleh seorang hakim, dalam bahasa Belanda disebut rechtsverfijning. Penghalusan hukum tersebut dilakukan karena adanya suatu kekosongan hukum atau terdapat suatu hukum namun dipandang tidak mampu memberikan suatu nilai keadilan jika diterapkan dalam kasus-kasus tertentu.
Menurut Sudikno Mertokusumo dalam melakukan penghalusan hukum, hakim dapat melakukan bentuk pengecualian-pengecualian atau penyimpangan baru dari peraturan yang bersifat umum (Sudikno Mertokusumo, 2007).
Putusan Majelis Kasasi yang memberikan ¼ bagian harta warisan almarhumah Dr. Anita Nasution kepada suaminya Victor Sitorus yang telah murtad atau kembali ke agama asalnya, merupakan bentuk penghalusan hukum yang dipertimbangkan melalui sisi kemanusiaan. Di mana, Majelis Hakim kasasi melihat hubungan rumah tangga yang harmonis antara Victor Sitorus dengan almarhum Dr. Anita Nasution semasa masih hidup.
Bahkan, Majelis Hakim mengambil peran Victor Sitorus yang telah mendampingi dan merawat almarhum Dr. Anita Nasution selama sakit dan bahkan membawanya berobat sampai ke Cina sebagai pertimbangan hukumnya.